Saudaraku,
Seharusnya pada
hari-hari ini, kita sudah terlatih dengan letih dan penat yang muncul karena
haus dan lapar menjalankan puasa sunnah. Seharusnya pada bulan ini, kita sudah
lebih dekat dan merekatkan munajat kepada Alloh swt di waktu malam lebih dari
bulan-bulan sebelumnya.
Kita berada di
bulan Sya’ban, Saudaraku.
Satu bulan yang
memisahkan kita hanya beberapa hari saja dari kehadiran bulan penuh rahmat,
bulan Romadhon. Satu bulan yang menurut banyak ulama, bahwa amal-amal sunnah di
bulan itu menjadi salah satu indikator keberhasilan seorang hamba dalam
menjalankan amal-amal ibadah di bulan Romadhon nantinya. Satu bulan yang
—menurut Rosululloh saw— banyak dilalaikan orang karena umumnya mereka sibuk memikirkan
bulan Romadhon atau bulan Rojab. Satu bulan yang —menurut Rosululloh saw—
menjadi waktu dilaporkannya amal-amal manusia selama satu tahun kepada Robbul
‘Izzah.
Itulah jawaban
Rosululloh saw saat ditanya oleh sahabatnya Usamah ibn Zaid, “Wahai Rosul, aku
tidak pernah melihat engkau berpuasa pada satu bulan sebagaimana engkau
berpuasa di bulan Sya’ban.” Rosululloh saw menjawab, “Itu adalah bulan yang
dilalaikan manusia, antara bulan Rojab dan Romadhon, dan itu juga merupakan
bulan diangkat di dalamnya amal-amal seorang hamba kepada Robbul alamiin. Aku
ingin amal-amalku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa.” (HR.
Bukhori-Muslim). Dalam hadits lainnya, Abu Dawud meriwayatkan bahwa puasa yang
paling disukai Rosululloh saw adalah puasa di bulan Sya’ban, kemudian
dilanjutkan dengan puasa di bulan Romadhon.
Saudaraku,
Perhatikanlah
kesimpulan yang disampaikan Ibnu Rojab tentang puasa di bulan ini. Ia
mengatakan, “Puasa di bulan Sya’ban lebih utama dari puasa di bulan-bulan
harom. Amal-amal sunnah yang dilakukan seorang hamba adalah yang paling dekat
dengan bulan Romadhon, sebelum atau sesudahnya.
Kedudukan puasa sunnah di bulan ini sama dengan kedudukan sunnah rowatib
yang mengiringi sholat wajib sebelum atau sesudahnya. Shoum di bulan ini adalah
untuk menyempurnakan kekurangan yang ada dalam amal-amal wajib.”
Apa saja yang
sudah kita tunaikan pada hari-hari di ulan ini, Saudaraku? Sesungguhnya,
meningkatkan amal sholih dan amal ibadah menjadi lebih baik, sulit dilakukan
secara tiba-tiba. Jika kita ingin meraih lebih banyak keridhoan Alloh dengan
meningkatkan amal-amal sholih di bulan Romadhon, keinginan itu sulit digapai
jika kita belum berlatih memperbanyak amal-amal sholih di bulan ini. Itulah
sebabnya para ulama tazkiyyatun nafs,
antara lain hujjatul Islam Imam
al-Ghozali rohimahulloh, menyebutkan istilah riyadhotun nufuus atau latihan jiwa sebagai proses seseorang
meningkatkan kualitas ruhani dan jiwanya. Karena jiwa kita memang memerlukan
tahap pelatihan, fase pemanasan, proses pembiasaan, untuk bisa menjadi lebih
baik. Sama saja dengan seseorang yang akan memasuki fase pertandingan fisik. Ia
juga harus melewati fase pelatihan, pemanasan, dan adaptasi dengan tuntutan
pertandingan yang akan dia hadapi.
Saudaraku,
Perhatikanlah
perkataan Rosululloh saw dalam hadits tadi. Ketia beliau mengatakan, “dzaaka syahrun yaghfulun naasu fiihi ‘anhu…”
Yang artinya, bulan Sya’ban adalah bulan yang dilalaikan oleh banyak orang.
Perkataan Rosululloh itu menunjukkan bahwa ia terdorong melakukan banyak
amal-amal sunnah di bulan ini, antara lain karena pada bulan ini orang banyak
yang lupa. Rosul lebih bersemangat melakukan amal-amal ibadah ketika banyak
orang disekitarnya yang justru tidak melakukan amal-amal sunnah.
Seperti itu
jugalah semangat yang dimiliki para salafush sholih. Mereka cenderung lebih
giat beramal di saat-saat banyak manusia lalai dan lupa untukmelakukan
amal-amal ibadah di saat tersebut. Lihatlah bagaimana sebagian mereka menyukai
aktifitas menghidupkan amal ibadah antara sholat maghrib dan isya. Itu karena
pada waktu itu, banyak manusia yang lalai mengisinya dengan amal ibadah.
Lihatlah lagi bagaimana Rosululloh saw menganjurkan kita untuk banyak berdzikir
di pasar-pasar. Itu karena pasar adalah tempat yang banyak melalaikan orang dan
dipenuhi orang-orang yang lalai.
Saudaraku,
Banyak
keistimewaan beribadah di waktu manusia lalai. Terlebih puasa yang jadi rahasia
antara seorang hamba dengan Alloh swt. Karena itu pada umumnya salafush sholih
selama hidupnya rajin berpuasa sunnah tanpa diketahui orang. Ada di antara
mereka yang keluar dari rumahnya ke pasar dengan membawa dua potong roti ke
pasar lalu ia sedekahkan roti itu kepada fakir miskin. Keluarganya mengira ia
membawa bekal makanan itu untuk dimakan di perjalanan, padahal ia tengah
berpuasa. Sementara orang-orang di pasar mengira ia sudah makan di rumahnya,
padahal ia tidak memakan apapun di rumahnya.
Begitulah.
Sampai-sampai sikap menyembunyikan amal-amal sunnah itu menjadi prinsip yang
mereka anjurkan. Seperti dikatakan Ibnu Mas’ud ra, “Jika di suatu pagi kalian
berpuasa, maka oleskanlah minyak di bibirmu.” Atau perkataan Qotadah ra yang
menegaskan hal serupa, “Seorang yang berpuasa dianjurkan untuk mengoleskan
minyak di bibirnya agar hilang darinya bekas-bekas puasa.” Rahasia lebih
disukainya waktu-waktu lalai itu adalah justeru karena pada waktu itu, banyak
orang yang berat melakukan amal-amal sholih. Dan keutamaan amal itu memang
dilihat dari sudut kesulitan dan keberatan jiwa melakukannya. Di saat jiwa
berat melakukan sesuatu karena banyak orang yang lalai dan lupa, dan amal itu
pun tidak diketahui oleh orang, di sanalah nilai amal-amal sunnah itu.
Saudaraku,
Mari kita
berlatih, Saudaraku. Berlatih untuk lebih banyak membaca lembar-lembar
al-Qur’an. Karena bulan ini —menurut salafush sholih— adalah syahrul qurro; bulan para pembaca
al-Qur’an. Mari berlatih mengekang dan mengendalikan hawa nafsu. Berlatih untuk
lebih tunduk dan khusyu’ dalam melakukan amal-amal sunnah di waktu sunyi, tanpa
ada orang yang tahu. Berlatih untuk lebih tenggelam dalam bermunajat kepada
Alloh di saat banyak orang-orang yang lalai bermunajat dan menghiba kepada-Nya.
Mari, Saudaraku.
Karena di bulan
inilah amal-amal kita akan diangkat oleh para malaikat ke langit…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar