Senin, 08 Juni 2015

Tholhah, Sebuah Kenangan Atas Cinta

kita semua, anak Adam, pernah melakukan kesalahan
dalam dekapan ukhuwah, kelembutan nurani memberi kita
sekeping mata uang yang paling mahal untuk membayarnya
di keping uang itu, satu sisi bertuliskan “akuilah kesalahanmu”
sisi lain berukir kalimat, “maafkanlah saudaramu yang bersalah”




MARI coba mengingat kapan terakhir kali kita melakukan kesalahan fatal. Bukankah saat itu kita sangat ingin ada seseorang yang tampil untuk mengatakan, “Ah, ini bukan hal yang serius!”?

Ya. Itu memang tidak menyelesaikan masalah. Ia tidak memberi jawab kepada persoalan. Tetapi setidaknya kita terhibur dan merasa bahwa kita tak sendiri. Sungguh, perasaan semacam itu akan menguatkan tekad kita untuk menebus kesalahan dengan hal yang jauh lebih baik lagi.

Demikianlah seharusnya dalam dekapan ukhuwah, kita berdamai dengan kesalahan sesama. Tepuklah mereka dengan hangat di bahu dan pundaknya. Katakan, siapapun, bahkan yang terbaik, bisa keliru. Sediakan hati kita untuk memakluminya. Yakinkan bahwa kesalahan itu tak berarti kiamat.

“Barangsiapa yang meringankan kesulitan seorang Mukmin di dunia,” begitu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam riwayat Imam Muslim, “Maka Alloh akan meringankan kesulitannya di akhirat. Barangsiapa yang memudahkan urusan orang beriman, maka Alloh akan memudahkan baginya dunia dan akhiratnya. Siapa saja yang menutupi aib saudara Mukminnya, maka Alloh akan menjaga aibnya di dunia dan akhirat. Dan Alloh senantiasa akan menjadi penolong bagi seorang hamba, selama hamba itu berupaya menolong saudaranya.”

Lihatlah Rosululloh ketika Kholid ibn al-Walid melakukan sebuah kesalahan fatal dengan membunuh Bani Jadzimah yang telah menyerah. Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam begitu berduka. Apa yang dilakukan Kholid benar-benar telah melampaui batas. Kini seluruh bangsa Arab membelalakkan mata mereka, menyorot ke arah Madinah. Selama ini mereka telah menganggap kaum Muslimin sebagai teladan tertinggi dalam segala perihidup dan etika perang. Dengan kejadian ini, seolah mereka hilang harapan. Seolah mereka sadar dari lamunan bahwa bagaimanapun orang-orang di sekitar Muhammad bukanlah malaikat.

Kholid tersalah. Para shohabat menghardik dan menegurnya dengan keras. Tetapi betapa mulia Nabinya, gurunya, dan kekasihnya itu. Rosululloh tak membiarkan Kholid menjadi olok-olok dan sasaran cela setelah kesalahan fatalnya itu ditebus dengan diyat yang dibayarkan ‘Ali ibn Abi Tholib atas nama beliau. Bahkan beliau menegaskan kembali bahwa peran dan gelarnya sebagai Pedang Alloh tidaklah dicabut. “Jangan lagi kalian mencela Kholid,” kata beliau, “Sesungguhnya dia adalah salah satu pedang dari pedang-pedang Alloh yang dihunus-Nya kepada kaum musyrikin.”

***

Tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Di Perang Uhud, ketika tubuhnya memerisai Rosululloh dan tujuh puluh luka berlomba menguras darahnya, Tholhah ibn ‘Ubaidillah berdo’a sambil menggigit bibir. “Robbiy,” begitu lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal yauum, hattaa tardhoo. Ya Alloh, ambil darahku hari ini sekehendak-Mu hingga Engkau ridho.” Tombak, pedang, dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya, dipeluknya badan Sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas.

“Kalau ingin melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi,” begiru Sang Nabi bersabda, “Lihatlah pada Tholhah”. Dan Tholhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya tak utuh, yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata. Terlihatlah di pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering merah.

Tetapi tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Satu hari ia berbincang dengan ‘Aisyah, istri Sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya. Rosululloh datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meminta ‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Tholhah memerah. Ia undur diri bersama gumam dalam hati. “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah diwafatkan Alloh, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar ‘Aisyah.”
Satu saat dibisikkannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika Nabi telah wafat.”

Gumam hati dan ucapan Tholhah disambut wahyu. Alloh menurunkan firman-Nya kepada Sang Nabi dalam ayat kelimapuluh tiga surat al-Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada istri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rosululloh dan tidak boleh menikahi istri-istrinya sesudah wafatnya selama-lamanya.”

Ketika ayat itu dibacakan padanya, Tholhah menangis. Dia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Alloh, dan menunaikan umroh dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti Tholhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakar.

Begitulah, tiap pahlawan punya kisahnya sendiri.

Sesudah wafatnya ‘Utsman ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah. Tholhah bersama az-Zubair ibn al-‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi Tholib untuk menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan atas para pembunuhnya yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama kekholifahan ‘Ali ibn Abi Tholib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali. Pilihan-pilihannya terbatas. Tholhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan bersikap lain di tengah kedua kubu.

Satu hari, dalam perang yang dikenal sebagai Waq’atul Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Tholhah dan az-Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rosululloh berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap tajam, tapi hati tersembilu.

Dan seolah tak ada jalan selain itu.

Sesudah menyeka air mata, ‘Ali menggenggam jemari tholhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau, hai Tholhah, mengapa Alloh turunkan ayat tentang hijab bagi istri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?”

Tholhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.

‘Ali menepuk bahu Tholhah. “Ya,” katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Tholhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”

‘Ali meraba reaksi Tholhah. Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?”

Tholhah menubruk ‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali, Tholhah bersama az-Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Tholib dengan duka yang begitu dalam, sore itu, menggali kubur untuk kedua cintanya.

Seusai pemakaman, ‘Ali menimang putra Tholhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia berbisik. “Nak,” kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan oleh Alloh di Surat al-Hijr ayat keempatpuluh tujuh; ‘Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.”

***

Beruntunglah Tholhah yang telah berbuat salah, dan berani mengakuinya. Dialah pahlawan sejati, dan keperwiraannya akan dikenang sepanjang masa. Kemampuan dan keberanian untuk mengakui kesalahan adalah anugerah yang langka. “Mengakui kesalahan,” begitu ditegaskan oleh tim The Dale Carnegie Training dalam The 5 Essential People Skills, “Adalah salah satu tindakan paling terhormat dalam kehidupan, karena hanya sedikit orang yang mau melakukannya.” Mari kita belajar sedikit demi sedikit untuk memilikinya.

“Terlalu banyak membuat alasan,” tulis Marshall Goldsmith dalam karya mumpuninya What Got You Here Won’t Get You There, “Adalah salah satu kebiasaan yang akan membuat kita jalan di tempat.” Banyak membuat alasan untuk tidak mengakui kesalahan kita takkan membawa kita ke manapun. “Ada dua macam alasan di dunia ini,” lanjut Goldsmith, “Yang satu bodoh, yang satu lagi licik.”

Alasan yang bodoh itu semacam, “Anjing memakan PR saya.” Atau katakanlah, “Maaf saya lupa janjian makan siang kita. Asisten saya salah menandai hari di kalender.” Tentu saja pesan yang ingin disampaikan oleh alasan semacam ini adalah: ini bukan karena saya lupa, ini bukan karena saya tak menghargai Anda. Ini semata karena asisten saya tidak becus. Jangan salahkan saya, salahkanlah dia!

Maka kiat pertama untuk menjadi seorang yang mampu mengakui kesalahan dalam dekapan ukhuwah adalah berhenti membuat alasan untuk membenarkan diri. Begitulah yang diperbuat Tholhah. Ketika ayat yang menegurnya turun, dia tak bersusah payah menyusun alasan misalnya menyalahkan ‘Aisyah. Dia langsung memerdekakan budaknya, menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Alloh, dan menunaikan umroh dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya.

Kedua, mari kita ganti awal pembicaraan ‘Tidak’, ‘Tapi’, dan ‘Bagaimana pun juga’, dengan ‘Terima kasih’. Tentang ini, Marshall Goldsmith punya cerita. “Beberapa tahun lalu,” ujarnya, “CEO sebuah perusahaan terkemuka meminta saya untuk meng-coach Chief Operational Officer (COO)-nya. Orang ini sangat berbakat, tapi dia keras kepala dan banyak alasan.”

Pertama kali bertemu, Goldsmith langsung mengajaknya untuk membahas sebuah masukan dan umpan balik dari seorang bawahan. “Tapi Marshall,” ujar sang COO, “Saya tidak melakukannya.”

“Yang itu gratis,” kata Goldsmith, “Berikutnya jika saya mendengar kata ‘Tidak’, ‘Tapi’, atau ‘Bagaimana pun juga’, itu akan bernilai 20 dollar! OK?”

“Tapi,” dia menjawab, “Itu bukan…”

“Itu 20 dollar!”

“Tidak,” sangkalnya, “Saya tidak…”

“Itu 40 dollar!”

“Tidak, tidak, tidak!”

“Itu 60, 80, dan 100 dollar!”

Dalam satu jam, sang COO kehilangan 420 dollar. Dan masih perlu dua jam berikutnya agar dia kemudian sadar untuk menggantinya dengan “Terima kasih!” Dia telah mengubah kalimat-kalimat penyangkalannya menjadi kata termanis dalam bahasa kita.

Kata ini tidak hanya menenteramkan dan menyenangkan saat terdengar di telinga, ia bahkan membantu kita untuk menghindar dari banyak masalah lain. Terima kasih adalah kata yang bisa kita ucapkan di saat ada begitu banyak hal yang tak menyenangkan, dan syukurnya, takkan ada yang tersakiti oleh kata itu. Dan bagi seorang Mukmin, kesempurnaan itu bisa kita lengkapi dengan sebuah do’a, “Jazaakumulloohu khoiron katsiiroo, semoga Alloh membalas engkau dengan kebaikan yang banyak.”

Yang ketiga, “Katakanlah ‘Maaf’,” kata Marshall Goldsmith, “Dan Anda akan merasa lebih baik.” Mungkin terasa menyakitkan untuk mengakui bahwa kitalah yang salah. Jadi kita tak meminta maaf agar merasa benar. Mungkin terlihat memalukan untuk meminta maaf, karena kita akan tampak seperti sebagai pihak yang lebih rendah. Mungkin meminta maaf membuat kita merasa menyerahkan kendali hidup kita pada orang lain.

Tetapi sadarilah bahwa ketaksediaan untuk meminta maaf sama saja dengan menulis kalimat “Aku tidak peduli!” di dahi kita. “Maka sungguh suatu kebenaran yang ironis,” tulis Goldsmith, “Bahwa semua ketakutan itu―takut kehilangan, takut mengakui kitalah yang salah, takut terlihat lebih asor, takut menyerahkan kendali―bisa dihapus dengan satu permintaan maaf.” Ketika mengatakan, “Saya minta maaf”, simpati akan terhirup dan kebaikan-kebaikan akan terserap.

Aturan keempat, berhentilah untuk berusaha tampil sempurna. Kecenderungan untuk tampil sebagai sosok tanpa kesalahan justru menjerumuskan kita ke dalam banyak kekeliruan. “Kami menyebutnya menghindari kesalahan,” begitu tertulis dalam What Get You Here Won’t Get You There. “Dan tragisnya adalah, menghindari kesalahan akan menuntun kita untuk menghindari resiko atas hal-hal yang sebenarnya menjadi tanggung jawab kita. Atau yang lebih buruk, kita dibiasakannya untuk melempar kesalahan kepada orang lain.” Maka jadilah ia kesalahan yang berlipat pangkat.

***

Dalam dekapan ukhuwah, kelembutan nurani menuntun kita untuk menjadi anak Adam sejati; memiliki kesalahan, mengakuinya, memperbaikinya, dan memaafkan sesama yang juga tak luput dari khilaf dan lupa.


Credit: “Dalam Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar