kita
semua, anak Adam, pernah melakukan kesalahan
dalam
dekapan ukhuwah, kelembutan nurani memberi kita
sekeping
mata uang yang paling mahal untuk membayarnya
di
keping uang itu, satu sisi bertuliskan “akuilah kesalahanmu”
sisi
lain berukir kalimat, “maafkanlah saudaramu yang bersalah”
MARI coba mengingat
kapan terakhir kali kita melakukan kesalahan fatal. Bukankah saat itu kita
sangat ingin ada seseorang yang tampil untuk mengatakan, “Ah, ini bukan hal
yang serius!”?
Ya. Itu memang
tidak menyelesaikan masalah. Ia tidak memberi jawab kepada persoalan. Tetapi
setidaknya kita terhibur dan merasa bahwa kita tak sendiri. Sungguh, perasaan
semacam itu akan menguatkan tekad kita untuk menebus kesalahan dengan hal yang
jauh lebih baik lagi.
Demikianlah
seharusnya dalam dekapan ukhuwah, kita berdamai dengan kesalahan sesama.
Tepuklah mereka dengan hangat di bahu dan pundaknya. Katakan, siapapun, bahkan
yang terbaik, bisa keliru. Sediakan hati kita untuk memakluminya. Yakinkan
bahwa kesalahan itu tak berarti kiamat.
“Barangsiapa yang
meringankan kesulitan seorang Mukmin di dunia,” begitu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda
dalam riwayat Imam Muslim, “Maka Alloh akan meringankan kesulitannya di
akhirat. Barangsiapa yang memudahkan urusan orang beriman, maka Alloh akan
memudahkan baginya dunia dan akhiratnya. Siapa saja yang menutupi aib saudara
Mukminnya, maka Alloh akan menjaga aibnya di dunia dan akhirat. Dan Alloh
senantiasa akan menjadi penolong bagi seorang hamba, selama hamba itu berupaya
menolong saudaranya.”
Lihatlah Rosululloh
ketika Kholid ibn al-Walid melakukan sebuah kesalahan fatal dengan membunuh
Bani Jadzimah yang telah menyerah. Beliau Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam begitu berduka. Apa yang dilakukan Kholid benar-benar
telah melampaui batas. Kini seluruh bangsa Arab membelalakkan mata mereka,
menyorot ke arah Madinah. Selama ini mereka telah menganggap kaum Muslimin
sebagai teladan tertinggi dalam segala perihidup dan etika perang. Dengan
kejadian ini, seolah mereka hilang harapan. Seolah mereka sadar dari lamunan
bahwa bagaimanapun orang-orang di sekitar Muhammad bukanlah malaikat.
Kholid tersalah.
Para shohabat menghardik dan menegurnya dengan keras. Tetapi betapa mulia
Nabinya, gurunya, dan kekasihnya itu. Rosululloh tak membiarkan Kholid menjadi
olok-olok dan sasaran cela setelah kesalahan fatalnya itu ditebus dengan diyat yang dibayarkan ‘Ali ibn Abi
Tholib atas nama beliau. Bahkan beliau menegaskan kembali bahwa peran dan
gelarnya sebagai Pedang Alloh tidaklah dicabut. “Jangan lagi kalian mencela
Kholid,” kata beliau, “Sesungguhnya dia adalah salah satu pedang dari
pedang-pedang Alloh yang dihunus-Nya kepada kaum musyrikin.”
***
Tiap pahlawan punya
kisahnya sendiri.
Di Perang Uhud,
ketika tubuhnya memerisai Rosululloh dan tujuh puluh luka berlomba menguras
darahnya, Tholhah ibn ‘Ubaidillah berdo’a sambil menggigit bibir. “Robbiy,”
begitu lirihnya, “Khudz bidaamii hadzal
yauum, hattaa tardhoo. Ya Alloh, ambil darahku hari ini sekehendak-Mu hingga
Engkau ridho.” Tombak, pedang, dan panah yang menyerpih tubuh dibiarkannya,
dipeluknya badan Sang Nabi seolah tak rela seujung bulu pun terpapas.
“Kalau ingin
melihat syahid yang masih berjalan di muka bumi,” begiru Sang Nabi bersabda,
“Lihatlah pada Tholhah”. Dan Tholhah, yang jalannya terpincang, yang jarinya
tak utuh, yang tubuhnya berlumur luka tersenyum malu dan menitikkan air mata.
Terlihatlah di pipinya bening luh itu, mengalir di atas darah yang mengering
merah.
Tetapi tiap
pahlawan punya kisahnya sendiri.
Satu hari ia
berbincang dengan ‘Aisyah, istri Sang Nabi, yang masih terhitung sepupunya.
Rosululloh datang, dan wajah beliau pias tak suka. Dengan isyarat, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meminta
‘Aisyah masuk ke dalam bilik. Wajah Tholhah memerah. Ia undur diri bersama
gumam dalam hati. “Beliau melarangku berbincang dengan ‘Aisyah. Tunggu saja,
jika beliau telah diwafatkan Alloh, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku
melamar ‘Aisyah.”
Satu saat
dibisikkannya maksud itu pada seorang kawan, “Ya, akan kunikahi ‘Aisyah jika
Nabi telah wafat.”
Gumam hati dan
ucapan Tholhah disambut wahyu. Alloh menurunkan firman-Nya kepada Sang Nabi
dalam ayat kelimapuluh tiga surat al-Ahzab, “Dan apabila kalian meminta suatu
hajat kepada istri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab.
Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh
menyakiti Rosululloh dan tidak boleh menikahi istri-istrinya sesudah wafatnya
selama-lamanya.”
Ketika ayat itu
dibacakan padanya, Tholhah menangis. Dia lalu memerdekakan budaknya,
menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Alloh, dan menunaikan umroh dengan
berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya. Kelak, tetap dengan penuh cinta
dinamainya putri kecil yang disayanginya dengan asma ‘Aisyah. ‘Aisyah binti
Tholhah. Wanita jelita yang kelak menjadi permata zamannya dengan kecantikan,
kecerdasan, dan kecemerlangannya. Persis seperti ‘Aisyah binti Abi Bakar.
Begitulah, tiap
pahlawan punya kisahnya sendiri.
Sesudah wafatnya
‘Utsman ibn ‘Affan di tangan para pemberontak, fitnah besar itu terjadilah.
Tholhah bersama az-Zubair ibn al-‘Awwam dan ‘Aisyah memerangi ‘Ali ibn Abi
Tholib untuk menuntut bela kematian ‘Utsman, meminta ditegakkannya keadilan
atas para pembunuhnya yang sebagiannya kini menjadi penyokong utama
kekholifahan ‘Ali ibn Abi Tholib. Keadaan sangat tidak mudah bagi ‘Ali.
Pilihan-pilihannya terbatas. Tholhah tahu itu. Tapi dia sendiri juga kesulitan
bersikap lain di tengah kedua kubu.
Satu hari, dalam
perang yang dikenal sebagai Waq’atul Jamal itu, ‘Ali mengirim utusan, memohon
agar bisa berjumpa dengan kedua sahabat yang dicintainya; Tholhah dan
az-Zubair. Mereka berdua datang. Mereka bertiga berpelukan. Tak terasa air mata
meleleh. Kenangan-kenangan ketika ketiganya bersipadu di sisi Rosululloh
berkelebatan dengan indah. Namun kini terasa menyesakkan. Menyakitkan. Dulu
pedang mereka seayun, langkah mereka sebaris, tangannya bergandengan. Kini
mereka harus berhadapan saling menghunus pedang, dengan mata saling menatap
tajam, tapi hati tersembilu.
Dan seolah tak ada
jalan selain itu.
Sesudah menyeka air
mata, ‘Ali menggenggam jemari tholhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan
menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau, hai Tholhah,
mengapa Alloh turunkan ayat tentang hijab bagi istri Nabi dan mengapa Dia
melarang kita untuk menikahi janda beliau?”
Tholhah terisak.
Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar.
‘Ali menepuk bahu
Tholhah. “Ya,” katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat
tercabiknya batin Tholhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan
kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan
hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”
‘Ali meraba reaksi
Tholhah. Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan
kini sesudah beliau Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar
dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?”
Tholhah menubruk
‘Ali, memeluk dan menangis di bahunya. Hari itu mereka sepakat berdamai dan
menyudahi perang saudara. Dan di hari itu pula, sepulang dari kemah ‘Ali,
Tholhah bersama az-Zubair sahabatnya dibunuh oleh orang-orang yang tak menghendaki
perdamaian. Dan ‘Ali ibn Abi Tholib dengan duka yang begitu dalam, sore itu,
menggali kubur untuk kedua cintanya.
Seusai pemakaman,
‘Ali menimang putra Tholhah yang masih kecil. Kepada bocah itu dia berbisik.
“Nak,” kata ‘Ali, “Aku sungguh berharap, aku dan ayahmu termasuk orang-orang
yang difirmankan oleh Alloh di Surat al-Hijr ayat keempatpuluh tujuh; ‘Dan Kami
lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka
merasa bersaudara duduk berhadapan di atas dipan-dipan.”
***
Beruntunglah
Tholhah yang telah berbuat salah, dan berani mengakuinya. Dialah pahlawan
sejati, dan keperwiraannya akan dikenang sepanjang masa. Kemampuan dan
keberanian untuk mengakui kesalahan adalah anugerah yang langka. “Mengakui
kesalahan,” begitu ditegaskan oleh tim The Dale Carnegie Training dalam The 5 Essential People Skills, “Adalah
salah satu tindakan paling terhormat dalam kehidupan, karena hanya sedikit
orang yang mau melakukannya.” Mari kita belajar sedikit demi sedikit untuk
memilikinya.
“Terlalu banyak
membuat alasan,” tulis Marshall Goldsmith dalam karya mumpuninya What Got You Here Won’t Get You There,
“Adalah salah satu kebiasaan yang akan membuat kita jalan di tempat.” Banyak
membuat alasan untuk tidak mengakui kesalahan kita takkan membawa kita ke
manapun. “Ada dua macam alasan di dunia ini,” lanjut Goldsmith, “Yang satu
bodoh, yang satu lagi licik.”
Alasan yang bodoh
itu semacam, “Anjing memakan PR saya.” Atau katakanlah, “Maaf saya lupa janjian
makan siang kita. Asisten saya salah menandai hari di kalender.” Tentu saja
pesan yang ingin disampaikan oleh alasan semacam ini adalah: ini bukan karena
saya lupa, ini bukan karena saya tak menghargai Anda. Ini semata karena asisten
saya tidak becus. Jangan salahkan saya, salahkanlah dia!
Maka kiat pertama
untuk menjadi seorang yang mampu mengakui kesalahan dalam dekapan ukhuwah
adalah berhenti membuat alasan untuk membenarkan diri. Begitulah yang diperbuat
Tholhah. Ketika ayat yang menegurnya turun, dia tak bersusah payah menyusun
alasan misalnya menyalahkan ‘Aisyah. Dia langsung memerdekakan budaknya,
menyumbangkan kesepuluh untanya untuk jalan Alloh, dan menunaikan umroh dengan
berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya.
Kedua, mari kita
ganti awal pembicaraan ‘Tidak’, ‘Tapi’, dan ‘Bagaimana pun juga’, dengan
‘Terima kasih’. Tentang ini, Marshall Goldsmith punya cerita. “Beberapa tahun
lalu,” ujarnya, “CEO sebuah perusahaan terkemuka meminta saya untuk meng-coach Chief Operational Officer
(COO)-nya. Orang ini sangat berbakat, tapi dia keras kepala dan banyak alasan.”
Pertama kali
bertemu, Goldsmith langsung mengajaknya untuk membahas sebuah masukan dan umpan
balik dari seorang bawahan. “Tapi Marshall,” ujar sang COO, “Saya tidak
melakukannya.”
“Yang itu gratis,”
kata Goldsmith, “Berikutnya jika saya mendengar kata ‘Tidak’, ‘Tapi’, atau
‘Bagaimana pun juga’, itu akan bernilai 20 dollar! OK?”
“Tapi,” dia
menjawab, “Itu bukan…”
“Itu 20 dollar!”
“Tidak,”
sangkalnya, “Saya tidak…”
“Itu 40 dollar!”
“Tidak, tidak,
tidak!”
“Itu 60, 80, dan 100
dollar!”
Dalam satu jam,
sang COO kehilangan 420 dollar. Dan masih perlu dua jam berikutnya agar dia
kemudian sadar untuk menggantinya dengan “Terima kasih!” Dia telah mengubah
kalimat-kalimat penyangkalannya menjadi kata termanis dalam bahasa kita.
Kata ini tidak
hanya menenteramkan dan menyenangkan saat terdengar di telinga, ia bahkan
membantu kita untuk menghindar dari banyak masalah lain. Terima kasih adalah
kata yang bisa kita ucapkan di saat ada begitu banyak hal yang tak
menyenangkan, dan syukurnya, takkan ada yang tersakiti oleh kata itu. Dan bagi
seorang Mukmin, kesempurnaan itu bisa kita lengkapi dengan sebuah do’a, “Jazaakumulloohu khoiron katsiiroo,
semoga Alloh membalas engkau dengan kebaikan yang banyak.”
Yang ketiga,
“Katakanlah ‘Maaf’,” kata Marshall Goldsmith, “Dan Anda akan merasa lebih
baik.” Mungkin terasa menyakitkan untuk mengakui bahwa kitalah yang salah. Jadi
kita tak meminta maaf agar merasa benar. Mungkin terlihat memalukan untuk
meminta maaf, karena kita akan tampak seperti sebagai pihak yang lebih rendah.
Mungkin meminta maaf membuat kita merasa menyerahkan kendali hidup kita pada
orang lain.
Tetapi sadarilah
bahwa ketaksediaan untuk meminta maaf sama saja dengan menulis kalimat “Aku
tidak peduli!” di dahi kita. “Maka sungguh suatu kebenaran yang ironis,” tulis
Goldsmith, “Bahwa semua ketakutan itu―takut kehilangan, takut mengakui kitalah
yang salah, takut terlihat lebih asor,
takut menyerahkan kendali―bisa dihapus dengan satu permintaan maaf.” Ketika
mengatakan, “Saya minta maaf”, simpati akan terhirup dan kebaikan-kebaikan akan
terserap.
Aturan keempat,
berhentilah untuk berusaha tampil sempurna. Kecenderungan untuk tampil sebagai
sosok tanpa kesalahan justru menjerumuskan kita ke dalam banyak kekeliruan.
“Kami menyebutnya menghindari kesalahan,” begitu tertulis dalam What Get You Here Won’t Get You There.
“Dan tragisnya adalah, menghindari kesalahan akan menuntun kita untuk
menghindari resiko atas hal-hal yang sebenarnya menjadi tanggung jawab kita.
Atau yang lebih buruk, kita dibiasakannya untuk melempar kesalahan kepada orang
lain.” Maka jadilah ia kesalahan yang berlipat pangkat.
***
Dalam dekapan
ukhuwah, kelembutan nurani menuntun kita untuk menjadi anak Adam sejati;
memiliki kesalahan, mengakuinya, memperbaikinya, dan memaafkan sesama yang juga
tak luput dari khilaf dan lupa.
Credit: “Dalam
Dekapan Ukhuwah”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar