Kalau engkau merasa hidupmu semakin
penuh kegelisahan, justru di saat harta kian bertambah, maka periksalah jalan
yang engkau tempuh untuk memperolehnya. Barangkali ada yang keliru dalam
melangkah, sehingga menghalangi datangnya barokah hidup kepadamu. Periksalah.
Barangkali ada pintu-pintu rezeki yang meragukan kehalalannya (syubhat), atau seakan-akan rezeki itu
halal dan thoyyib, padahal ada hak
orang lain yang terzholimi.
Terkadang, pekerjaan yang kita
lakukan tidak menyalahi agama. Ia merupakan pekerjaan yang baik. Tetapi, jalan
untuk memperoleh pekerjaan itu yang tidak bersih, sehingga mendorong kita pada
keburukan atau setidaknya kegelisahan hidup. Harta kita bertambah, tetapi hati
kita semakin gelisah. Penghasilan kita bertambah besar, tetapi bertambah pula
ketidakbahagiaan kita dalam menjalani hidup.
Kadang, kita lupa bahwa banyak hal
yang tidak bisa dibeli dengan harta. Bertambahnya harta kita memang membuat
kita punya kesempatan lebih besar untuk membeli apa saja. Tetapi, jika kita
tidak berhati-hati menempatkannya, dan tidak memperhatikan cara kita
memperoleh, kita justru bisa kehilangan makna hidup kita, diri kita, ketulusan
orang-orang yang dekat maupun yang jauh, dan bahkan bisa jadi kita kehilangan
diri sendiri. Kita merasa asing terhadap suara nurani kita karena kita sudah
tidak mengenalinya.
Sangat banyak hal yang bisa dibeli
dengan harta. Tetapi lebih banyak lagi yang tidak. Uang bisa membeli tempat
tidur yang mewah, tetapi tidak untuk menikmati tidur di atasnya. Uang bisa
membeli rumah besar dan lapang, tetapi tidak untuk melapangkan jiwa dan
ketenteraman hati orang-orang yang tinggal di dalamnya. Uang bisa membeli
hiburan apa saja, tetapi bukan ketenangan bathin mereka yang menikmatinya. Uang
juga bisa membeli tepuk tangan yang meriah, tetapi bukan ketulusan. Dengan
uang, kita bisa membeli berbagai bentuk kesenangan, tetapi tak ada sedikit pun
jaminan bahwa kita bahagia.
Betapa banyak orang yang sanggup
membelikan apa saja untuk keluarga dan dirinya sendiri, bahkan sampai kepada
hal-hal yang paling tidak dibutuhkan. Mereka bisa membeli gelak tawa dan
kesediaan untuk mengerumuni kita, tetapi bukan ketulusan hati untuk menemani
dan mencintai kita dengan tulus. Kita dapat mereguk kemeriahan orang-orang yang
mengangguk, kapan saja kita minta mereka mengangguk, tetapi kita justru merasa
kesepian.
Sungguh, harta yang buruk akan
membawa kita pada sempitnya dada, sumpeknya kehidupan, gelisahnya hati, dan
dekatnya kita pada keburukan. Kita mudah merasakan kehilangan yang besar pada
harta kita. Kita hidup, tetapi kosong dari makna. Kita terhibur, tetapi jiwa
kita letih dan hati kita sakit.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana
jika kita mengalami itu semua atau sebagian di antaranya, sedangkan jalan kita
memperoleh harta telah lurus dan bersih? Masih ada lagi yang perlu kita
periksa. Sesungguhnya atas harta yang kita miliki, ada yang harus kita
keluarkan agar benar-benar bersih apabila jumlahnya telah mencukupi. Sebagian
dari harta yang kita peroleh adalah milik orang lain yang berhak, sejumlah yang
telah ditetapkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Maka, menahannya karena menganggap
milik kita―sama artinya mencampur harta yang baik dengan harta yang kotor.
Tak ada jalan yang lebih baik untuk
mensucikan harta kita, kecuali dengan mengeluarkan kotoran tersebut. Kita
mengeluarkan kepada yang berhak karena sesungguhnya harta itu milik mereka.
Hanya saja, Alloh berikan hak kepada kita untuk memilih kepada siapa kita
berikan harta itu di antara orang-orang yang berhak. Karenanya, keluarkanlah
kotoran harta yang bernama zakat itu dengan sebaik-baiknya.
Selebihnya, ada lagi yang perlu
kita perhatikan. Sesungguhnya di luar zakat, ada hak orang lain pada harta
kita. Belum berbuat kebajikan orang yang membayarkan zakat, tetapi menahan hak
orang lain yang ada pada hartanya.
Semoga ada yang bisa kita
renungkan.
Credit:
“Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar