Selasa, 02 Juni 2015

Menenteramkan Jiwa dengan Harta

Kalau engkau merasa hidupmu semakin penuh kegelisahan, justru di saat harta kian bertambah, maka periksalah jalan yang engkau tempuh untuk memperolehnya. Barangkali ada yang keliru dalam melangkah, sehingga menghalangi datangnya barokah hidup kepadamu. Periksalah. Barangkali ada pintu-pintu rezeki yang meragukan kehalalannya (syubhat), atau seakan-akan rezeki itu halal dan thoyyib, padahal ada hak orang lain yang terzholimi.

Terkadang, pekerjaan yang kita lakukan tidak menyalahi agama. Ia merupakan pekerjaan yang baik. Tetapi, jalan untuk memperoleh pekerjaan itu yang tidak bersih, sehingga mendorong kita pada keburukan atau setidaknya kegelisahan hidup. Harta kita bertambah, tetapi hati kita semakin gelisah. Penghasilan kita bertambah besar, tetapi bertambah pula ketidakbahagiaan kita dalam menjalani hidup.

Kadang, kita lupa bahwa banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan harta. Bertambahnya harta kita memang membuat kita punya kesempatan lebih besar untuk membeli apa saja. Tetapi, jika kita tidak berhati-hati menempatkannya, dan tidak memperhatikan cara kita memperoleh, kita justru bisa kehilangan makna hidup kita, diri kita, ketulusan orang-orang yang dekat maupun yang jauh, dan bahkan bisa jadi kita kehilangan diri sendiri. Kita merasa asing terhadap suara nurani kita karena kita sudah tidak mengenalinya.

Sangat banyak hal yang bisa dibeli dengan harta. Tetapi lebih banyak lagi yang tidak. Uang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi tidak untuk menikmati tidur di atasnya. Uang bisa membeli rumah besar dan lapang, tetapi tidak untuk melapangkan jiwa dan ketenteraman hati orang-orang yang tinggal di dalamnya. Uang bisa membeli hiburan apa saja, tetapi bukan ketenangan bathin mereka yang menikmatinya. Uang juga bisa membeli tepuk tangan yang meriah, tetapi bukan ketulusan. Dengan uang, kita bisa membeli berbagai bentuk kesenangan, tetapi tak ada sedikit pun jaminan bahwa kita bahagia.

Betapa banyak orang yang sanggup membelikan apa saja untuk keluarga dan dirinya sendiri, bahkan sampai kepada hal-hal yang paling tidak dibutuhkan. Mereka bisa membeli gelak tawa dan kesediaan untuk mengerumuni kita, tetapi bukan ketulusan hati untuk menemani dan mencintai kita dengan tulus. Kita dapat mereguk kemeriahan orang-orang yang mengangguk, kapan saja kita minta mereka mengangguk, tetapi kita justru merasa kesepian.

Sungguh, harta yang buruk akan membawa kita pada sempitnya dada, sumpeknya kehidupan, gelisahnya hati, dan dekatnya kita pada keburukan. Kita mudah merasakan kehilangan yang besar pada harta kita. Kita hidup, tetapi kosong dari makna. Kita terhibur, tetapi jiwa kita letih dan hati kita sakit.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana jika kita mengalami itu semua atau sebagian di antaranya, sedangkan jalan kita memperoleh harta telah lurus dan bersih? Masih ada lagi yang perlu kita periksa. Sesungguhnya atas harta yang kita miliki, ada yang harus kita keluarkan agar benar-benar bersih apabila jumlahnya telah mencukupi. Sebagian dari harta yang kita peroleh adalah milik orang lain yang berhak, sejumlah yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Maka, menahannya karena menganggap milik kita―sama artinya mencampur harta yang baik dengan harta yang kotor.

Tak ada jalan yang lebih baik untuk mensucikan harta kita, kecuali dengan mengeluarkan kotoran tersebut. Kita mengeluarkan kepada yang berhak karena sesungguhnya harta itu milik mereka. Hanya saja, Alloh berikan hak kepada kita untuk memilih kepada siapa kita berikan harta itu di antara orang-orang yang berhak. Karenanya, keluarkanlah kotoran harta yang bernama zakat itu dengan sebaik-baiknya.

Selebihnya, ada lagi yang perlu kita perhatikan. Sesungguhnya di luar zakat, ada hak orang lain pada harta kita. Belum berbuat kebajikan orang yang membayarkan zakat, tetapi menahan hak orang lain yang ada pada hartanya.

Semoga ada yang bisa kita renungkan.


Credit: “Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan”; Mohammad Fauzil Adhim; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar