Kami perhatikan, lebih banyak kalangan yang mengumbar opini negatif saat perhelatan pemilu dan pilkada ketimbang opini positif. Ada yang berbentuk kampanye negatif, ada juga yang kampanye hitam. Ada yang dilakukan oleh akun asli, ada juga yang digerakkan oleh akun klonengan atau palsu. Opini negatif yang kami maksud juga bukan sekedar mengumbar track record kandidat, tapi juga segala macam postingan yang menampakkan aura pesimisme. Seolah mereka tidak berpolitik, terlihat dalam posisi netral dan menempatkan diri untuk berdiri di tengah. Padahal, itu juga bagian dari ekspresi politik yang bisa menguntungkan atau merugikan salah satu kontestan, meski secara tidak langsung.
Ada banyak hal yang bisa diulas secara mendalam, karena pada prinsipnya "Kullu Bani Aadam, Khoththoo-un". Dan itu berlaku bukan hanya kepada kandidat petahana saja, tapi semua kandidat yang pernah berkiprah di lapangan. Objeknya bisa karakter personal, raport selama menjabat, kebijakan yang diambil hingga perilaku keluarganya sekalipun. Mendiskusikan hal itu memang menarik dan mengasyikkan, terlebih jika kita punya data, mengetahui informasi A1, paham perilaku birokrasi dan lihai bersilat lidah. Bisa berjam-jam kita terpaku di depan HP dan tablet. Hanya saja, kita perlu merenungi manfaat yang bisa kita ambil dari postingan negatif dan perdebatan turunannya itu? Manfaat tentu ada, tapi mudhorotnya pasti jauh lebih besar.
Di kalangan ahli hadits, dikenal ilmu "Jarh wa Ta'dil" yang berkonsentrasi untuk menilai kualitas perowi. Disini, seorang ahli hadits akan meneliti hingga detil tentang apa, siapa, dan bagaimana kapasitas orang yang menjadi perowi hadits. Hal yang cukup menarik adalah, para ahli hadits ternyata cukup hemat dalam berkomentar. Mereka hanya akan bilang, misalnya "tarokuuhu, fihii nazhor" atau "sakatuu 'anhu". Mereka hanya mau berbagi informasi detil tentang perawi yang dianggap bermasalah kepada sesama ahli ilmu dan menolak untuk membicarakannya kepada orang awam. Meskipun pembicaraan tentang para perowi termasuk kategori ghibah yang diperbolehkan, tapi mereka memilih untuk berhati-hati dan menjauhkannya dari pembicaraan kalangan awam.
Mungkin kita bisa mengikuti semangat mereka dalam konteks pemilu dan pilkada. Mendiskusikan "sisi gelap" dari kontestan mungkin menjadi bagian dari proses membangun kesadaran berpolitik. Tapi ambil porsi secukupnya saja, jangan terlalu banyak. Diskusikan dengan mereka yang paham, bukan dengan mereka yang awam. Berkacalah dari para ulama ahli hadits, dimana mereka tetap bisa menjadi manusia sholih dan santun meski mengetahui aib banyak orang. Betapa indah ungkapan dari shahabat Abu Darda ra "Laa khoira fil hayaati illa li-ahadi rojulaini: munshitin waa'in au mutakallimin 'aalim". Yakni "Tidak ada kebaikan didalam kehidupan ini kecuali untuk dua orang: orang pendiam yang paham atau pembicara yang berilmu."
Apa yang akan terjadi dengan kita pasca perhelatan pilkada? Kalau masalah materi, jabatan, dan hal-hal keduniaan lainnya, itu sangat relatif. Mungkin ada bonus, mungkin ada jabatan, atau mungkin malah jadi pelengkap penderita. Bahkan bisa juga terjadi calon kita menang tapi kita tidak dapat apa-apa. Tapi dalam pola hubungan sosial, jawabannya bisa banyak. Bisa jadi kita tambah musuh karena lidah kita yang tajam. Boleh jadi kita tambah teman karena sikap kita yang simpatik. Mungkin kita akan tambah guru, karena merasa mendapatkan arahan dan bimbingan. Atau, bisa jadi kita tambah murid karena banyak likers dan jempolers.
Bagaimana nasib kita di akhirat, bergantung dari amal kita di dunia. Bagaimana nasib kita pasca pemilu dan pilkada, bergantung dari bagaimana interaksi kita menjelang pilkada. Secara pribadi, kami mendoakan agar pasca pilkada kita bisa tambah teman dan saudara. Karena 1000 teman itu masih kurang, sedang 1 musuh sudah terlalu banyak. Dari 1000 teman yang kita miliki, belum tentu ada yang mau menjadi sandaran saat kita dilanda kesulitan. Tapi dari 1 orang musuh saja, semua rahasia dan aib yang kita tutup rapat bisa terbongkar. Ayo kita perbanyak postingan positif, ayo kita tebarkan aura opmitisme. Wallohu a'lam.
Eko Junianto, ST
Tidak ada komentar:
Posting Komentar