Tahun 1900-an, perdagangan di Indonesia dimonopoli oleh para pedagang
Cina karena banyak mendapatkan bantuan dari pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya,
pedagang pribumi banyak mendapat tekanan. Karena ketidakadilan itu, pedagang
Indonesia tidak dapat mengembangkan usahanya. Perlakuan yang tidak adil dan
cenderung merendahkan kaum pribumi itu membuat seorang pedagang batik, KH.
Samanhudi, tergerak untuk membela kaumnya, para pedagang batik pribumi.
Samanhudi yang juga dikenal dengan nama Wiryowikoro dan atau Sudarno
Nadi dilahirkan di Solo pada tahun 1868. Terbatasnya kesempatan untuk sekolah,
membuatnya hanya sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Itu pun tidak
tamat. Sesudah itu, ia memutuskan untuk belajar agama di Surabaya sambil
berdagang batik.
Usahanya dalam memperjuangkan nasib pedagang pribumi dilakukannya dengan
menyusun kekuatan di bidang perdagangan dan agama. Ia merasa bahwa oedagang
batik pribumi perlu memiliki organisasi tersendiri untuk membela kepentingan
mereka. Maka pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo.
Adapun alasan mendasar yang melatarbelakangi pendirian organisasi
tersebut, yakni pertama, persaingan yang meningkat dalam bidang perdagangan
batik terutama dari orang-orang Cina yang memiliki sifat superior terhadap
orang pribumi. Kedua, adanya tekanan yang datang dari kaum bangsawan.
Keberadaan SDI mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Terbukti dengan
menjamurnya cabang-cabang SDI dalam waktu yang terbilang singkat di luar kota
Solo. Kenyataan tersebut membuat pemerintah Belanda khawatir. Atas dorongan
beberapa pengurus dan anggota, SDI pun berubah menjadi sebuah partai politik
yang ditandai dengan perubahan nama dari SDI menjadi SI (Sarekat Islam) pada tanggal
10 September 1912.
Anggota SI setiap tahun bertambah terus. Menjelang kongres pertamanya
pada tanggal 25-26 Januari 1913 di Surabaya, anggota SI sekitar 80.000 orang. Lalu
meningkat menjadi 360.000 orang, tiga tahun kemudian. Pada tahun 1918, jumlah
anggotanya semakin bertambah lagi menjadi 450.000 orang. Sementara itu,
penyusunan Anggaran Dasar (AD), mencari pimpinan, dan mengatur hubungan antara
organisasi pusat dan daerah diselesaikan pada periode tahun 1916-1921.
Tujuan organisasi SI sendiri dirumuskan sebagai berikut: “Akan
berikhtiar supaya anggota-anggotanya satu sama lain bergaul seperti saudara,
dan supaya timbullah kerukunan dan tolong menolong satu sama lain antara sekalian
kaum muslimin, dan lagi dengan segala daya upaya yang halal dan tidak menyalahi
wet-wet (undang-undang, hukum-pent.) negeri (Surakarta) dan wet-wet
Gouvernemen, …berikhtiar mengangkat derajat, agar menimbulkan kemakmuran,
kesejahteraan, dan kebesaran negeri.”
Melihat perkembangan partai SI yang pesat ke daerah-daerah di jawa dan
setelah kegiatan-kegiatan para anggotanya di Solo meningkat tanpa dapat diawasi
oleh penguasa kolonial, Residen Surakarta membekukan SI. Pembekuan itu
menimbulkan berbagai kerusuhan dan pergolakan rakyat. Untuk mengatasi hal
tersebut, pemerintah Belanda akhirnya mencabutnya pada tanggal 26 Agustus 1912
dengan beberapa catatan bahwa wilayah organisasi SI hanya terbatas di
Surakarta.
Samanhudi menyadari bahwa untuk membenahi organisasi dan menghadapi
pemerintah kolonial Belanda diperlukan seorang pemimpin yang handal. Haji OemarSaid Tjokroaminoto yang bergabung dengan SI pada Mei 1912 kemudian ditugaskan
untuk menyusun Anggaran Dasar. Tanpa menghiraukan persyaratan Residen
Surakarta, Tjokroaminoto pun kemudian menyusun Anggaran dasar baru untuk SI di
seluruh Indonesia sekaligus meminta pengakuan pemerintah untuk menghindari “pengawasan
preventif dan represif secara administratif”.
Dalam pertemuan SI di Yogyakarta pada tanggal 18 Februari 1914
diputuskan untuk membentuk pengurus pusat yang terdiri dari Haji Samanhudi
sebagai Ketua Kehormatan, Tjokroaminoto sebagai Ketua, dan Gunawan sebagai
Wakil Ketua. Pengurus Central (Pusat-pent.) Sarekat Islam itu diakui pemerintah
Belanda pada tanggal 18 Maret 1916. Pilihannya tak salah. SI pun semakin
mengalami kemajuan pesat dan menjadi partai massa di bawah kepemimpinan Haji
Oemar Said Tjokroaminoto. SI tidak hanya memperjuangkan kepentingan dagang
saja, tetapi juga politik bangsanya.
Baca juga: Peran Pahlawan Muslim dalam Kemerdekaan Indonesia
Berhubung kesehatannya mulai terganggu, maka terhitung sejak tahun 1920,
Haji Samanhudi tidak aktif lagi dalam kepengurusan partai. Usaha dagang
batiknya pun mengalami kemerosotan. Namun, hal tersebut tak dapat memadamkan
kepeduliannya terhadap pergerakan nasional. Sesudah kemerdekaan berhasil
direngkuh republik ini, ia kembali melibatkan diri dalam misi mempertahankan
kedaulatan negara. Ia mendirikan Barisan Pemberontak Indonesia Cabang Solo dan
Gerakan Persatuan Pancasila untuk membela RI yang sedang menghadapi ancaman
serangan Belanda. Ketika terjadi Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda, ia
membentuk laskar Gerakan Kesatuan Alap-alap yang bertugas menyediakan
perlengkapan, khususnya bahan makanan untuk para prajurit yang tengah berjuang.
KH. Samanhudi tutup usia pada
tanggal 28 Desember 1956 di Klaten dan dikebumikan di Desa Banaran, Kecamatan
Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Ia adalah seorang perintis dan pemimpin yang baik. Organisasi yang
dirintusnya memberikan sumbangan yang besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Satu
hal yang menarik dalam diri tokoh SI ini adalah ketika dia memilih
Tjokroaminoto sebagai penggantinya memimpin SI. Ia bersikap rendah hati dengan
mengakui bahwa organisasi yang dibentuknya memerlukan orang yang terpelajar. Dan
pilihannya memang tepat. Kebesaran seorang pemimpin memang dapat dilihat dari
cara mempersiapkan pengganti yang meneruskan cita-cita dan perjuangannya.
Atas jasa-jasanya pada negara, KH. Samanhudi dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 590 tahun 1961,
tanggal 9 November 1961.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar