Jumat, 13 Januari 2017

KH. Samanhudi; Pedagang Sekaligus Politikus

Tahun 1900-an, perdagangan di Indonesia dimonopoli oleh para pedagang Cina karena banyak mendapatkan bantuan dari pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya, pedagang pribumi banyak mendapat tekanan. Karena ketidakadilan itu, pedagang Indonesia tidak dapat mengembangkan usahanya. Perlakuan yang tidak adil dan cenderung merendahkan kaum pribumi itu membuat seorang pedagang batik, KH. Samanhudi, tergerak untuk membela kaumnya, para pedagang batik pribumi.

Samanhudi yang juga dikenal dengan nama Wiryowikoro dan atau Sudarno Nadi dilahirkan di Solo pada tahun 1868. Terbatasnya kesempatan untuk sekolah, membuatnya hanya sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat. Itu pun tidak tamat. Sesudah itu, ia memutuskan untuk belajar agama di Surabaya sambil berdagang batik.

Usahanya dalam memperjuangkan nasib pedagang pribumi dilakukannya dengan menyusun kekuatan di bidang perdagangan dan agama. Ia merasa bahwa oedagang batik pribumi perlu memiliki organisasi tersendiri untuk membela kepentingan mereka. Maka pada tahun 1911, ia mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo.

Adapun alasan mendasar yang melatarbelakangi pendirian organisasi tersebut, yakni pertama, persaingan yang meningkat dalam bidang perdagangan batik terutama dari orang-orang Cina yang memiliki sifat superior terhadap orang pribumi. Kedua, adanya tekanan yang datang dari kaum bangsawan.

Keberadaan SDI mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Terbukti dengan menjamurnya cabang-cabang SDI dalam waktu yang terbilang singkat di luar kota Solo. Kenyataan tersebut membuat pemerintah Belanda khawatir. Atas dorongan beberapa pengurus dan anggota, SDI pun berubah menjadi sebuah partai politik yang ditandai dengan perubahan nama dari SDI menjadi SI (Sarekat Islam) pada tanggal 10 September 1912.

Anggota SI setiap tahun bertambah terus. Menjelang kongres pertamanya pada tanggal 25-26 Januari 1913 di Surabaya, anggota SI sekitar 80.000 orang. Lalu meningkat menjadi 360.000 orang, tiga tahun kemudian. Pada tahun 1918, jumlah anggotanya semakin bertambah lagi menjadi 450.000 orang. Sementara itu, penyusunan Anggaran Dasar (AD), mencari pimpinan, dan mengatur hubungan antara organisasi pusat dan daerah diselesaikan pada periode tahun 1916-1921.

Tujuan organisasi SI sendiri dirumuskan sebagai berikut: “Akan berikhtiar supaya anggota-anggotanya satu sama lain bergaul seperti saudara, dan supaya timbullah kerukunan dan tolong menolong satu sama lain antara sekalian kaum muslimin, dan lagi dengan segala daya upaya yang halal dan tidak menyalahi wet-wet (undang-undang, hukum-pent.) negeri (Surakarta) dan wet-wet Gouvernemen, …berikhtiar mengangkat derajat, agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebesaran negeri.”

Melihat perkembangan partai SI yang pesat ke daerah-daerah di jawa dan setelah kegiatan-kegiatan para anggotanya di Solo meningkat tanpa dapat diawasi oleh penguasa kolonial, Residen Surakarta membekukan SI. Pembekuan itu menimbulkan berbagai kerusuhan dan pergolakan rakyat. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Belanda akhirnya mencabutnya pada tanggal 26 Agustus 1912 dengan beberapa catatan bahwa wilayah organisasi SI hanya terbatas di Surakarta.

Samanhudi menyadari bahwa untuk membenahi organisasi dan menghadapi pemerintah kolonial Belanda diperlukan seorang pemimpin yang handal. Haji OemarSaid Tjokroaminoto yang bergabung dengan SI pada Mei 1912 kemudian ditugaskan untuk menyusun Anggaran Dasar. Tanpa menghiraukan persyaratan Residen Surakarta, Tjokroaminoto pun kemudian menyusun Anggaran dasar baru untuk SI di seluruh Indonesia sekaligus meminta pengakuan pemerintah untuk menghindari “pengawasan preventif dan represif secara administratif”.

Dalam pertemuan SI di Yogyakarta pada tanggal 18 Februari 1914 diputuskan untuk membentuk pengurus pusat yang terdiri dari Haji Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan, Tjokroaminoto sebagai Ketua, dan Gunawan sebagai Wakil Ketua. Pengurus Central (Pusat-pent.) Sarekat Islam itu diakui pemerintah Belanda pada tanggal 18 Maret 1916. Pilihannya tak salah. SI pun semakin mengalami kemajuan pesat dan menjadi partai massa di bawah kepemimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. SI tidak hanya memperjuangkan kepentingan dagang saja, tetapi juga politik bangsanya.
Baca juga: Peran Pahlawan Muslim dalam Kemerdekaan Indonesia
Berhubung kesehatannya mulai terganggu, maka terhitung sejak tahun 1920, Haji Samanhudi tidak aktif lagi dalam kepengurusan partai. Usaha dagang batiknya pun mengalami kemerosotan. Namun, hal tersebut tak dapat memadamkan kepeduliannya terhadap pergerakan nasional. Sesudah kemerdekaan berhasil direngkuh republik ini, ia kembali melibatkan diri dalam misi mempertahankan kedaulatan negara. Ia mendirikan Barisan Pemberontak Indonesia Cabang Solo dan Gerakan Persatuan Pancasila untuk membela RI yang sedang menghadapi ancaman serangan Belanda. Ketika terjadi Agresi Militer II yang dilancarkan Belanda, ia membentuk laskar Gerakan Kesatuan Alap-alap yang bertugas menyediakan perlengkapan, khususnya bahan makanan untuk para prajurit yang tengah berjuang.

KH. Samanhudi  tutup usia pada tanggal 28 Desember 1956 di Klaten dan dikebumikan di Desa Banaran, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Ia adalah seorang perintis dan pemimpin yang baik. Organisasi yang dirintusnya memberikan sumbangan yang besar bagi perjuangan bangsa Indonesia. Satu hal yang menarik dalam diri tokoh SI ini adalah ketika dia memilih Tjokroaminoto sebagai penggantinya memimpin SI. Ia bersikap rendah hati dengan mengakui bahwa organisasi yang dibentuknya memerlukan orang yang terpelajar. Dan pilihannya memang tepat. Kebesaran seorang pemimpin memang dapat dilihat dari cara mempersiapkan pengganti yang meneruskan cita-cita dan perjuangannya.

Atas jasa-jasanya pada negara, KH. Samanhudi dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 590 tahun 1961, tanggal 9 November 1961.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar