“Demi
Alloh, cintaku pada Layla tulus, jiwaku selalu merindu, pikiranku selalu
mengenang, dan lidahku tak pernah kelu menyebut namanya. Layla laksana minuman
yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga kalbuku. Cintaku pada Layla adalah
cinta suci, tidak tercampur dengan nafsu walau sebutir debu. Meskipun
orang-orang mencela kami, mengusir, dan menyia-nyiakan diriku.”
-Nizami,
Layla Majnun-
ROMANTIS bukan? Selama
ribuan tahun Layla Majnun menyebar dalam tuturan dari mulut ke telinga menjadi
kisah indah dan syahdu dalam bahasa yang meliuk-liuk sendu. Ia konon
menginspirasi banyak kisah dari penjuru lain. Tristan und Isolde yang ditulis oleh Gottfried von Strassburg dari
Jerman, dongeng Perancis; Aucassin et
Nicolette, dan bahkan Romeo and
Juliet-nya William Shakespeare kabarnya sulit mengelak dari anggapan
terinspirasi oleh Layla Majnun.
Di negeri kita, tak
kurang dari Buya Hamka pun menuliskan sebuah gubahan dengan tajuk Laila Madjnoen, Tjeritera dari Tanah Arab
yang diterbitkan oleh Balai Poestaka pada tahun 1932. Kutipan melankolis di
atas bukan saya ambil beliau, tapi dari versi Nizami yang diterbitkan ulang Navila pada 2005. Nizami Ganjavi adalah
penyair Azerbaijan di abad XII yang pertama kali menuliskan Layla Majnun dari
cerita tutur. Versi Nizami yang berbentuk syair berbunga-bunga ini kemudian
menjadi yang paling masyhur.
Buya Hamka menyebut
kisah ini sebagai ceritera dari tanah Arab, menurut saya semata-mata karena
latarnya adalah tanah Hijjaz dan Najd
serta kehidupan suku-suku penggembala. Itu saja. Dan tentu tak semua yang Arab
itu Islami.
Nizami sendiri
memberi ending kisahnya dengan mimpi
seorang kawan bernama Zayd setelah kematian kedua kekasih, bahwa Majnun dan
Layla sedang bergandeng mesra di atas singgasana surga. “Permadani surga,”
tulisnya, “Terhampar di dekat sungai kecil yang mengalir di bawah singgasana
itu, dilengkapi dengan hidangan nikmat dan cahaya berkilauan.” Alangkah
indahnya, betapa manisnya. Surga yang mereka huni, digambarkan oleh Nizami
sebagaimana al-Qur’an melukiskan.
Masalahnya, jika
kita baca keseluruhan kisah, amat terasa kesan ‘tempel-menempel’ yang dilakukan
Nizami —atau mungkin juga pencerita sebelumnya— terhadap cerita dengan
unsur-unsur keislaman. Jika kita seksamai lebih dalam, nilai Islami-nya sangat
dipaksakan. Dan ternyata memang, Layla
Majnun aslinya adalah kisah percintaan zaman pagan. Ia muncul sezaman
dengan kisah-kisah legendaris Kisra Persia, Anusyirwan.
Jadi, semisal kita
mengisahkan Layla Majnun yang sudah ‘dibumbui’ pernik Islami ini pada Abu Jahl
dan kawan-kawan musyrik Quroisy-nya, mereka akan sangat gesit memotong, “Asaathiirul awwaliin…; Huh, dongengan
orang-orang dahulu!”
Gilalova
Majnun, artinya si
gila. Ia tentu belum dipanggil begitu sebelum ketergila-gilaannya pada Layla
menyempurna menjadi penyakit gila. Nama aslinya adalah Qois ibn Syed Omri.
Cintanya adalah korban gengsi. Ayah Layla merasa terhina ketika Syed Omri mengajukan
lamarannya dengan berpanjang lebar membanggakan sukunya. Apalagi kalimat
penutupnya berbunyi, “Kami yakin Tuan adalah orang yang arif dan bijak. Dan
orang arif tentu takkan membuang tawaran yang sangat berharga.”
Ayah Layla membalas
tak kalah sengit dengan menyinggung tanda-tanda gila yang telah nampak pada
Qois. “Demi Alloh,” katanya, “Saya tidak menginginkan orang-orang Arab
berbicara bahwa saya menikahkan puteriku dengan pemuda gila.” Ketersinggungan
masing-masing pun menguadrat tak terelakkan. Lamaran itu gagal. Dan Qois
semakin gila. Apalagi setelah Layla dinikahkan dengan lelaki lain. Kegilaan
Qois berlipat pangkat. Gilalova. Gila karena cinta.
Apa hubungan antara
cinta dengan kegilaan? Majalan National
Geographic edisi Februari 2006 mengangkat tema utama ‘Love, The Chemical Reaction’. Saya tidak menyarankan membaca edisi
bahasa Indonesia karena penerjemahannya tak begitu akurat. Artikel utama yang
disajikan oleh Lauren Slater diberi satu kutipan mencolok, “Love and obsessive compulsive disorder could
have a similar chemical profile.” Artinya, demikian Slater menjelaskan
setengah bercanda, mungkin sulit untuk membicarakan cinta dan penyakit mental
secara terpisah. Tentang kimia cinta, insya Alloh akan kita bicarakan di bagian
mendatang.
Secara khusus kita
singgung, apa itu gangguan absesif-kompulsif. James P. Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi-nya memberikan
lema obsessive-compulsive neurosis
dengen jelentreh cukup panjang.
Chaplin menjelaskan, “Satu psiko-neurosa dengan ciri khas adanya ide (obsesi)
yang tegar melekat dan sering tidak dikehendaki, serta impuls untuk melakukan
kompulsi, atau perbuatan yang tidak rasional, stereotipis, dan ritualistis.
Diyakini bahwa pola tingkah laku yang obsesif-kompulsif itu merupakan upaya
untuk mengatasi rasa takut, atau meredakan dan menghilangkan rasa bersalah.
Kompulsi dalam bentuk mencuci tangan terus menerus misalnya, bisa mencerminkan
ketakutan dan rasa bersalah seseorang akibat melakukan —maaf— masturbasi.”
Tambah bingung kah, saudaraku? Sama. Hehehe… Begitulah
konon model penjelasan para pakar,
akronim dari ‘apa-apa dibikin sukar’. Intinya seperti yang dikatakan Lauren
Slater saja lah, “Mungkin sulit untuk
membicarakan cinta dan penyakit mental secara terpisah.” Nah, kita sudah punya
contoh. Cinta ala Qois yang menjadikannya gila. Cinta ala Romeo dan Juliet yang
membuat mereka bunuh diri. Cinta San Pek yang putus asa. Cinta Roro Mendut dan
Pronocitro. Semua itu sulit untuk dikatakan bukan penyakit mental. Kesemuanya
menggambarkan kegilaan, sesat pikir, dan keputusasaan dari kasih sayang yang
lebih agung; kasih sayang Alloh.
Tentu saja
terkadang kita bisa berkata bahwa kegilaan dalam cinta seperti yang mereka
alami terasa agung dan indah. Ouw,
bukankah menyenangkan dikenang sepanjang masa sebagai para pejuang cinta? —Tapi
ups, tentu saja jika sekarang Anda
mengikuti langkah Qois, Anda tetaplah seorang pengekor dan pengekor takkan
pernah dikenang—.
Ya, keindahan cinta
Qois memang terlukis di atas kanvas terhalus. Tapi keindahan tak bisa menjadi
pilar yang berdiri sendiri untuk menyangga kesempurnaan manusia. Dalam
bincangan tentang aksiologi atau filsafat nilai, ada tiga nilai kesempurnaan
universal. Ada nilai kebenaran (logika), ada nilai kebaikan (etika), dan ada
nilai keindahan (estetika). Logika, menempati tertib pertama karena kebaikan
dan keindahan menjadi absurd, atau
setidaknya pincang dan tak utuh tanpa menapak di atas nilai kebenaran.
Nah, ada banyak hal
‘tidak benar’ dan ‘tidak etis’ di balik indahnya ‘kesetiaan’ cinta ala Layla
dan Majnun. Berlebihan dalam mencintai hingga menunjukkan tanda kegilaan.
Menggelandang putus asa karena lamaran ditolak dan kekasih menikah dengan lain
lelaki. Tetap berhubungan dengan kekasih lama di belakang suami. Lebih bersedih
atas kehilangan kekasih dibanding kematian ayah dan ibu. Dan seterusnya. Apapun
alasannya, semua itu —meski disajikan dengan begitu indah dan menyentuh oleh
Nizami— ‘tidak benar’ dan ‘tidak etis’.
Kisah
Klasik, Bukan Masa Depan
Ada satu sisi lagi
yang perlu saya sampaikan. Kisah Qois dan Romeo adalah kisah klasik yang bukan
untuk masa depan. Sebagaimana umumnya karya sastra masa itu, bias sosial ekonomi
masih ada di sini. Qois adalah putera pemimpin Bani Amir, kabilah paling
disegani di Hijjaz dan wibawanya terasa hingga ke padang pasir Najd. Romeo
adalah putera Tuan besar Montague yang bermusuhan dengan Tuan besar Capulet,
ayah Juliet. Ketika Romeo berkata, “What’s in a name?” bagi Juliet nama
Montague di belakang Romeo sangat merisaukan. Nama musuh yang nyata bagi
keluarganya.
Ya, kisah semacam
Layla Majnun dan Romeo Juliet juga lahir ketika tokoh-tokoh kisah selalu adalah
‘Pangeran’ dan ‘Puteri’. Tapi dua adikarya ini menjadi istimewa, mungkin
lantaran kebanyakan cerita di masa itu ditutup dengan kalimat ‘Mereka hidup
bahagia selama-lamanya’, sedangkan keduanya ditutup dengan tragedi yang
menyembilu hati. Ah, mungkin memang hanya para bangsawan yang berhak punya
kisah cinta legendaris.
Cinta mereka…
Semacam pemujaan dari kejauhan
Sebuah renungan dalam kebisuan
Sebentuk pendewaan oleh seorang pemuja rahasia
-Victor Hugo, Les
Miserables-
Saya ingin menutup
bahasan kita dengan menjawab tanya Qois si Majnun dalam salah satu syairnya. Di
sini, Qois mengakui bahwa cintanya adalah penyakit. Mari simak betapa
lamat-lamatnya ia yang compang-camping tak terurus berkata dalam kesendirian,
kelaparan, kesedihan, dan derita cinta.
Cinta bagai ilham dari langit yang menerobos dada dan
bersemanyam dalam jiwa
Dan kini kami akan mati karena asmara yang telah
melilit seluruh nurani
Katakanlah padaku: pemuda mana yang bebas dari
penyakit cinta?
Ada berjuta pemuda,
duhai Qois, yang akan menjawabmu dengan kepala tegak, “Inilah kami yang bebas
dari penyakit cinta. Karena kamilah majikannya. Kami bukan budak cinta!” mereka
yakin, jalan cinta ala Qois dan Romeo sungguh tak cukup dan tak mendaya untuk
menghadapi zaman ini sebagai manusia utuh. Mereka yakin, ada jalan cinta lain
yang lebih layak diikuti. Kalau saja engkau, duhai Qois, bertanya padaku, di
mana pemuda-pemuda itu. Maka aku akan jawab, “Mereka kini sedang menyimak
halaman-halaman buku ini. Karena mereka sedang meniti jalan cinta para
pejuang!”
Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim
A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar