Senin, 02 Januari 2017

Romeo Majnun

“Demi Alloh, cintaku pada Layla tulus, jiwaku selalu merindu, pikiranku selalu mengenang, dan lidahku tak pernah kelu menyebut namanya. Layla laksana minuman yang menyegarkan dan menghilangkan dahaga kalbuku. Cintaku pada Layla adalah cinta suci, tidak tercampur dengan nafsu walau sebutir debu. Meskipun orang-orang mencela kami, mengusir, dan menyia-nyiakan diriku.”

-Nizami, Layla Majnun-

ROMANTIS bukan? Selama ribuan tahun Layla Majnun menyebar dalam tuturan dari mulut ke telinga menjadi kisah indah dan syahdu dalam bahasa yang meliuk-liuk sendu. Ia konon menginspirasi banyak kisah dari penjuru lain. Tristan und Isolde yang ditulis oleh Gottfried von Strassburg dari Jerman, dongeng Perancis; Aucassin et Nicolette, dan bahkan Romeo and Juliet-nya William Shakespeare kabarnya sulit mengelak dari anggapan terinspirasi oleh Layla Majnun.

Di negeri kita, tak kurang dari Buya Hamka pun menuliskan sebuah gubahan dengan tajuk Laila Madjnoen, Tjeritera dari Tanah Arab yang diterbitkan oleh Balai Poestaka pada tahun 1932. Kutipan melankolis di atas bukan saya ambil beliau, tapi dari versi Nizami yang diterbitkan ulang Navila pada 2005. Nizami Ganjavi adalah penyair Azerbaijan di abad XII yang pertama kali menuliskan Layla Majnun dari cerita tutur. Versi Nizami yang berbentuk syair berbunga-bunga ini kemudian menjadi yang paling masyhur.

Buya Hamka menyebut kisah ini sebagai ceritera dari tanah Arab, menurut saya semata-mata karena latarnya adalah tanah Hijjaz dan Najd serta kehidupan suku-suku penggembala. Itu saja. Dan tentu tak semua yang Arab itu Islami.

Nizami sendiri memberi ending kisahnya dengan mimpi seorang kawan bernama Zayd setelah kematian kedua kekasih, bahwa Majnun dan Layla sedang bergandeng mesra di atas singgasana surga. “Permadani surga,” tulisnya, “Terhampar di dekat sungai kecil yang mengalir di bawah singgasana itu, dilengkapi dengan hidangan nikmat dan cahaya berkilauan.” Alangkah indahnya, betapa manisnya. Surga yang mereka huni, digambarkan oleh Nizami sebagaimana al-Qur’an melukiskan.

Masalahnya, jika kita baca keseluruhan kisah, amat terasa kesan ‘tempel-menempel’ yang dilakukan Nizami —atau mungkin juga pencerita sebelumnya— terhadap cerita dengan unsur-unsur keislaman. Jika kita seksamai lebih dalam, nilai Islami-nya sangat dipaksakan. Dan ternyata memang, Layla Majnun aslinya adalah kisah percintaan zaman pagan. Ia muncul sezaman dengan kisah-kisah legendaris Kisra Persia, Anusyirwan.

Jadi, semisal kita mengisahkan Layla Majnun yang sudah ‘dibumbui’ pernik Islami ini pada Abu Jahl dan kawan-kawan musyrik Quroisy-nya, mereka akan sangat gesit memotong, “Asaathiirul awwaliin…; Huh, dongengan orang-orang dahulu!”

Gilalova
Majnun, artinya si gila. Ia tentu belum dipanggil begitu sebelum ketergila-gilaannya pada Layla menyempurna menjadi penyakit gila. Nama aslinya adalah Qois ibn Syed Omri. Cintanya adalah korban gengsi. Ayah Layla merasa terhina ketika Syed Omri mengajukan lamarannya dengan berpanjang lebar membanggakan sukunya. Apalagi kalimat penutupnya berbunyi, “Kami yakin Tuan adalah orang yang arif dan bijak. Dan orang arif tentu takkan membuang tawaran yang sangat berharga.”

Ayah Layla membalas tak kalah sengit dengan menyinggung tanda-tanda gila yang telah nampak pada Qois. “Demi Alloh,” katanya, “Saya tidak menginginkan orang-orang Arab berbicara bahwa saya menikahkan puteriku dengan pemuda gila.” Ketersinggungan masing-masing pun menguadrat tak terelakkan. Lamaran itu gagal. Dan Qois semakin gila. Apalagi setelah Layla dinikahkan dengan lelaki lain. Kegilaan Qois berlipat pangkat. Gilalova. Gila karena cinta.

Apa hubungan antara cinta dengan kegilaan? Majalan National Geographic edisi Februari 2006 mengangkat tema utama ‘Love, The Chemical Reaction’. Saya tidak menyarankan membaca edisi bahasa Indonesia karena penerjemahannya tak begitu akurat. Artikel utama yang disajikan oleh Lauren Slater diberi satu kutipan mencolok, “Love and obsessive compulsive disorder could have a similar chemical profile.” Artinya, demikian Slater menjelaskan setengah bercanda, mungkin sulit untuk membicarakan cinta dan penyakit mental secara terpisah. Tentang kimia cinta, insya Alloh akan kita bicarakan di bagian mendatang.

Secara khusus kita singgung, apa itu gangguan absesif-kompulsif. James P. Chaplin dalam Kamus Lengkap Psikologi-nya memberikan lema obsessive-compulsive neurosis dengen jelentreh cukup panjang. Chaplin menjelaskan, “Satu psiko-neurosa dengan ciri khas adanya ide (obsesi) yang tegar melekat dan sering tidak dikehendaki, serta impuls untuk melakukan kompulsi, atau perbuatan yang tidak rasional, stereotipis, dan ritualistis. Diyakini bahwa pola tingkah laku yang obsesif-kompulsif itu merupakan upaya untuk mengatasi rasa takut, atau meredakan dan menghilangkan rasa bersalah. Kompulsi dalam bentuk mencuci tangan terus menerus misalnya, bisa mencerminkan ketakutan dan rasa bersalah seseorang akibat melakukan —maaf— masturbasi.”

Tambah bingung kah, saudaraku? Sama. Hehehe… Begitulah konon model penjelasan para pakar, akronim dari ‘apa-apa dibikin sukar’. Intinya seperti yang dikatakan Lauren Slater saja lah, “Mungkin sulit untuk membicarakan cinta dan penyakit mental secara terpisah.” Nah, kita sudah punya contoh. Cinta ala Qois yang menjadikannya gila. Cinta ala Romeo dan Juliet yang membuat mereka bunuh diri. Cinta San Pek yang putus asa. Cinta Roro Mendut dan Pronocitro. Semua itu sulit untuk dikatakan bukan penyakit mental. Kesemuanya menggambarkan kegilaan, sesat pikir, dan keputusasaan dari kasih sayang yang lebih agung; kasih sayang Alloh.

Tentu saja terkadang kita bisa berkata bahwa kegilaan dalam cinta seperti yang mereka alami terasa agung dan indah. Ouw, bukankah menyenangkan dikenang sepanjang masa sebagai para pejuang cinta? —Tapi ups, tentu saja jika sekarang Anda mengikuti langkah Qois, Anda tetaplah seorang pengekor dan pengekor takkan pernah dikenang—.

Ya, keindahan cinta Qois memang terlukis di atas kanvas terhalus. Tapi keindahan tak bisa menjadi pilar yang berdiri sendiri untuk menyangga kesempurnaan manusia. Dalam bincangan tentang aksiologi atau filsafat nilai, ada tiga nilai kesempurnaan universal. Ada nilai kebenaran (logika), ada nilai kebaikan (etika), dan ada nilai keindahan (estetika). Logika, menempati tertib pertama karena kebaikan dan keindahan menjadi absurd, atau setidaknya pincang dan tak utuh tanpa menapak di atas nilai kebenaran.

Nah, ada banyak hal ‘tidak benar’ dan ‘tidak etis’ di balik indahnya ‘kesetiaan’ cinta ala Layla dan Majnun. Berlebihan dalam mencintai hingga menunjukkan tanda kegilaan. Menggelandang putus asa karena lamaran ditolak dan kekasih menikah dengan lain lelaki. Tetap berhubungan dengan kekasih lama di belakang suami. Lebih bersedih atas kehilangan kekasih dibanding kematian ayah dan ibu. Dan seterusnya. Apapun alasannya, semua itu —meski disajikan dengan begitu indah dan menyentuh oleh Nizami— ‘tidak benar’ dan ‘tidak etis’.

Kisah Klasik, Bukan Masa Depan
Ada satu sisi lagi yang perlu saya sampaikan. Kisah Qois dan Romeo adalah kisah klasik yang bukan untuk masa depan. Sebagaimana umumnya karya sastra masa itu, bias sosial ekonomi masih ada di sini. Qois adalah putera pemimpin Bani Amir, kabilah paling disegani di Hijjaz dan wibawanya terasa hingga ke padang pasir Najd. Romeo adalah putera Tuan besar Montague yang bermusuhan dengan Tuan besar Capulet, ayah Juliet. Ketika Romeo berkata, “What’s in a name?” bagi Juliet nama Montague di belakang Romeo sangat merisaukan. Nama musuh yang nyata bagi keluarganya.

Ya, kisah semacam Layla Majnun dan Romeo Juliet juga lahir ketika tokoh-tokoh kisah selalu adalah ‘Pangeran’ dan ‘Puteri’. Tapi dua adikarya ini menjadi istimewa, mungkin lantaran kebanyakan cerita di masa itu ditutup dengan kalimat ‘Mereka hidup bahagia selama-lamanya’, sedangkan keduanya ditutup dengan tragedi yang menyembilu hati. Ah, mungkin memang hanya para bangsawan yang berhak punya kisah cinta legendaris.

Cinta mereka…
Semacam pemujaan dari kejauhan
Sebuah renungan dalam kebisuan
Sebentuk pendewaan oleh seorang pemuja rahasia

-Victor Hugo, Les Miserables-

Saya ingin menutup bahasan kita dengan menjawab tanya Qois si Majnun dalam salah satu syairnya. Di sini, Qois mengakui bahwa cintanya adalah penyakit. Mari simak betapa lamat-lamatnya ia yang compang-camping tak terurus berkata dalam kesendirian, kelaparan, kesedihan, dan derita cinta.

Cinta bagai ilham dari langit yang menerobos dada dan bersemanyam dalam jiwa
Dan kini kami akan mati karena asmara yang telah melilit seluruh nurani
Katakanlah padaku: pemuda mana yang bebas dari penyakit cinta?

Ada berjuta pemuda, duhai Qois, yang akan menjawabmu dengan kepala tegak, “Inilah kami yang bebas dari penyakit cinta. Karena kamilah majikannya. Kami bukan budak cinta!” mereka yakin, jalan cinta ala Qois dan Romeo sungguh tak cukup dan tak mendaya untuk menghadapi zaman ini sebagai manusia utuh. Mereka yakin, ada jalan cinta lain yang lebih layak diikuti. Kalau saja engkau, duhai Qois, bertanya padaku, di mana pemuda-pemuda itu. Maka aku akan jawab, “Mereka kini sedang menyimak halaman-halaman buku ini. Karena mereka sedang meniti jalan cinta para pejuang!”


Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar