Mengikuti riwayat Agus Salim, kita akan semakin memahami bahwa hidup itu
bisa saja “berkelok”. Bahwa, seseorang bisa berkelok dari “jauh” ke “dekat”
dalam hal pemahaman dan praktik keagamaan. Seseorang dapat “berkelok” dari “warga
biasa” ke “aktivis pergerakan Islam”.
Berkah Penugasan
Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Kotagadang, Bukittinggi,
Sumatera Barat. Dia berasal dari keluarga priyayi. Ayahnya, Sutan Muhammad
Salim, seorang Jaksa Tinggi di Pengadilan Tinggi Riau. Jabatan si ayah
tergolong prestisius bagi pribumi di ketika itu. Maka, atas dasar status sosial
ini Agus Salim diterima di “SD Belanda”, sesuatu yang mestinya hanya
diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa.
Sejak di SD dia menunjukkan kecerdasan di atas rara-rata, baik untuk
pelajaran berhitung maupun sejarah dan bahasa. Setelah lulus SD pada 1897, dia
ke Jakarta untuk belajar di HBS, suatu sekolah yang mestinya juga untuk
anak-anak keturunan Eropa.
Ketika di SMP -pada 1903- dia menjadi juara umum ringkat HBS se-Hindia
Belanda. Ketika itu di seluruh Hindia Belanda hanya terdapat tiga buah HBS,
masing-masing di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. (Catatan: HBS singkatan dari Hogere Burger School, sekolah menengah
orang Belanda, Eropa, dan elit pribumi. HBS itu gabungan SMP+SMA dengan masa
belajar 5 tahun).
Ada cataran “menarik” semasa di HBS. Kala itu, Agus Salim kos di rumah
orang Belanda. Di saat-saat itulah Agus Salim terpengaruh dengan gaya hidup si
Tuan Rumah. Bisa dibilang, ketika itu dia jauh dari Islam.
Setelah lulus HBS dia ingin meneruskan ke Perguruan Tinggi di Belanda
untuk jurusan kedokteran. Tapi, dia sadar bahwa biaya untuk itu terlalu tinggi.
Sementara, si ayah tak cukup mampu. Sebagai jalan keluar, dia mengajukan
permohonan untuk mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda. Namun,
permohonan itu ditolak karena adanya diskriminasi, bahwa tak ada beasiswa untuk
keturunan pribumi.
Setelah itu, pada Oktober 1906 -di usia 22 tahun- Agus Salim menerima
tawaran untuk menjadi pegawai Konsulat Belanda di Jeddah Saudi Arabia.
Keberangkatannya ke Jeddah sebagai pegawai Konsulat Belanda sesungguhnya lebih
didasarkan kepada pertimbangan menuruti usulan keluarga. Dia sendiri sebenarnya
berkeberatan. Sikap itu ditunjukkannya karena di samping kecewa terhadap
cita-citanya (menjadi dokter) yang terjegal, juga karena dalam dirinya telah
tumbuh benih sikap anti-Belanda.
Sementara, keluarga Agus Salim mempunyai pertimbangan lain. Bagi mereka,
menerima tawaran kerja sebagai pegawai Konsulat Belanda di Jeddah punya prestise
yang cukup tinggi. Kecuali itu, ada alasan lain yaitu amaliyah keagamaan Agus Salim
dinilai kendur. Hal itu mulai terjadi saat dia belajar di HBS. Maka, dengan
bekerja di Saudi Arabia, diharapkan Agus Salim dapat menambah pelajaran
agamanya kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang mukim di Mekkah. Di sana,
Ahmad Khatib al-Minangkabawi -yang masih kerabat dekat Agus Salim- menduduki
jabatan sebagai Imam dan Guru besar di Masjid Al-Haram.
Selama bekerja di Konsulat Belanda, 1906-1911, Agus Salim selain banyak
membantu Jamaah Haji Indonesia, juga bisa memperdalam agama terutama kepada
Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Kecerdasan yang telah diperlihatkannya sejak kecil
sangat membantunya dalam memahami pengetahuan agama. Akibatnya, dalam waktu
relatif singkat, tidak hanya pengetahuan agamanya saja yang mulai mendalam,
tetapi juga penghayatannya.
Pada Desember 1911, tugasnya di Jeddah berakhir dan dia lalu kembali ke
Tanah Air. Pada 1915 Agus Salim mukim di Jakarta. Dia bekerja pada pemerintah
Hindia Belanda sebagai penyelidik. Agus Salim pun ditugasi untuk menyelidiki
apakah Syarikat Islam (SI) yang dipimpin HOS Tjokroaminoto -yang kala itu
mengadakan muktamar- akan melakukan pemberontakan kepada Pemerintah Hindia
Belanda.
Saat itu, memang hanya Syarikat lslam-lah yang potensial untuk melakukan
pemberontakan. Maka, Salim pun dikirim untuk memata-matai. Tapi, setelah dia
bertemu HOS Tjokroaminoto dan mendalami apa itu Syarikat Islam, Agus Salim
malah terpikat hatinya kepada organisasi itu.
Agus Salim mengirim pemberitahuan resmi kepada atasannya, bahwa dia
mengundurkan diri dari jabatannya. Dengar terus terang dia katakan bahwa
hatinya terpikat dengan visi dan misi Syarikat Islam.
Sejak itu, 1915, Agus Salim mulai masuk ke dunia pergerakan nasional
melalui Syarikat Islam. Di lembaga ini, dia bersama HOS Tjokroaminoto dan kawan-kawan
memperjuangkan nasib bangsa yang mayoritas beragama Islam. Melalui Syarikat
Islam pula dia memulai “karier” di bidang politik, intelektual, dan keagamaan.
Pasca-kemerdekaan, Agus Salim masuk Partai Masyumi. Sejumlah jabatan
pernah diamanahkan kepadanya, seperti Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet
Syahrir II dan III, 1946-1947. Lalu, Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Amir
Syarifuddin,1947. Kemudian, Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta I dan II,
1948 dan 1949. Sementara, dalam bidang intelektual dan keagamaan, pada
Januari-Juni 1953 dia menjadi dosen tamu di Cornell University di AS untuk
kajian tentang Pergerakan dan Cita Islam Indonesia”.
Bagaimana keluarga Agus Salim? Pada 12 Agustus 1912 dia menikah.
Putranya sepuluh, tiga di antaranya meninggal. Sisanya, dia didik sendiri tanpa
disekolahkan secara formal. Hal itu menunjukkan sebuah sikap anti-Belanda yang
kuat melekat pada diri Agus Salim sejak mengerti arti diskriminasi yang
dipraktikkan Belanda.
Untuk itu, dia tak mau melihat anak-anaknya yang sebagai keturunan
pribumi diperlakukan diskriminatif di sekolah-sekolah Belanda. Cukup dia saja
yang menelan kepahitan seperti itu. Di kemudian hari, ternyata, kemampuan
anak-anak Agus Salim sama sekali tak tertinggal jika dibandingkan dengan meereka
yang belajar di sekolah.
Agus Salim wafat pada 4 November 1954. Rasanya, masih banyak orang yang akan
sering mengenangnya. Bahwa, Agus Salim itu hidup secara sangat sederhana. Bahwa,
dia menguasai tujuh bahasa (bahkan ada yang menyebut sembilan bahasa). Bahwa,
rumahnya tak pernah sepi dari tamu-tamu yang berasal dari kalangan aktivis
pergerakan Islam. Sekadar menyebut contoh, M. Natsir, Muhammad Roem, dan Kasman
Singodimedjo adalah sebagian tamunya yang berasal dari kalangan aktivis muda
Islam. []
Kredit: 50 Pendakwah Pengubah
Sejarah; M. Anwar Djaelani; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar