Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas
membaca dan menulis. Namun, Deklarasi Praha pada tahun 2003 menyebutkan bahwa
literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat.
Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan
pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).
Deklarasi UNESCO itu juga menyebutkan bahwa literasi
informasi terkait pula dengan kemampuan untuk mengidentifikasi, menentukan,
menemukan, mengevaluasi, menciptakan secara efektif dan terorganisasi,
menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi berbagai persoalan.
Kemampuan-kemampuan itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk
berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu bagian dari hak dasar
manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.
Gerakan Literasi Sekolah merupakan merupakan suatu usaha
atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah
(peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah,
Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media
massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan,
dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Gerakan Literasi Sekolah adalah gerakan sosial dengan
dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya
berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan
kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam
hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan
membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan
pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan
dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif.
Dalam pelaksanaannya, pada periode tertentu yang terjadwal,
dilakukan asesmen agar dampak keberadaan Gerakan Literasi Sekolah dapat
diketahui dan terus-menerus dikembangkan. Gerakan Literasi Sekolah diharapkan
mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk
bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian
penting dalam kehidupan.
Literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis, namun
mencakup keterampilan berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan dalam
bentuk cetak, visual, digital, dan auditori. Di abad 21 ini, kemampuan ini
disebut sebagai literasi informasi.
Clay (2001) dan Ferguson
(www.bibliotech.us/pdfs/InfoLit.pdf) menjabarkan bahwa komponen literasi
informasi terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan,
literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Dalam konteks
Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar pemerolehan berliterasi tahap
selanjutnya. Komponen literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Literasi Dini [Early Literacy (Clay, 2001)], yaitu
kemampuan untuk menyimak, memahami bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui
gambar dan lisan yang dibentuk oleh pengalamannya berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya di rumah. Pengalaman peserta didik dalam berkomunikasi
dengan bahasa ibu menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.
2. Literasi Dasar (Basic
Literacy), yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara, membaca, menulis,
dan menghitung (counting) berkaitan
dengan kemampuan analisis untuk memperhitungkan (calculating), mempersepsikan informasi (perceiving), mengomunikasikan, serta menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan pemahaman dan
pengambilan kesimpulan pribadi.
3. Literasi Perpustakaan (Library Literacy), antara
lain, memberikan pemahaman cara membedakan bacaan fiksi dan nonfiksi,
memanfaatkan koleksi referensi dan periodikal, memahami Dewey Decimal System
sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan dalam menggunakan perpustakaan,
memahami penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga memiliki pengetahuan dalam
memahami informasi ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan, penelitian,
pekerjaan, atau mengatasi masalah.
4. Literasi Media (Media
Literacy), yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai bentuk media yang
berbeda, seperti media cetak, media elektronik (media radio, media televisi),
media digital (media internet), dan memahami tujuan penggunaannya.
5. Literasi Teknologi (Technology
Literacy), yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang mengikuti teknologi
seperti peranti keras (hardware),
peranti lunak (software), serta etika
dan etiket dalam memanfaatkan teknologi. Berikutnya, kemampuan dalam memahami
teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan mengakses internet. Dalam praktiknya,
juga pemahaman menggunakan komputer (Computer
Literacy) yang di dalamnya mencakup menghidupkan dan mematikan komputer,
menyimpan dan mengelola data, serta mengoperasikan program perangkat lunak.
Sejalan dengan membanjirnya informasi karena perkembangan teknologi saat ini,
diperlukan pemahaman yang baik dalam mengelola informasi yang dibutuhkan
masyarakat.
6. Literasi Visual (Visual
Literacy), adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi media dan
literasi teknologi, yang mengembangkan kemampuan dan kebutuhan belajar dengan
memanfaatkan materi visual dan audiovisual secara kritis dan bermartabat.
Tafsir terhadap materi visual yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak,
auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut teks multimodal), perlu
dikelola dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya banyak manipulasi dan hiburan
yang benarbenar perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.
Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam
gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan
yang dapat diprediksi. Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan
menulis saling beririsan antartahap perkembangan. Memahami tahap perkembangan
literasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan
dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan mereka.
b. Program literasi yang baik bersifat berimbang Sekolah
yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap peserta didik
memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, strategi membaca dan jenis
teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan.
Program literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan
kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak dan remaja.
c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum Pembiasaan
dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru di semua
mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa,
terutama membaca dan menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional guru
dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.
d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun Misalnya,
‘menulis surat kepada presiden’ atau ‘membaca untuk ibu’ merupakan
contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.
e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan Kelas
berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan lisan
berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini
juga perlu membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir
kritis dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk menyampaikan perasaan
dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan.
f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap
keberagaman Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan literasi
di sekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu merefleksikan kekayaan
budaya Indonesia agar mereka dapat terpajan pada pengalaman multikultural.
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam pengembangan
budaya literasi, Beers, dkk. (2009) dalam buku A Principal’s Guide to Literacy Instruction, menyampaikan beberapa
strategi untuk menciptakan budaya literasi yang positif di sekolah.
a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi Lingkungan
fisik adalah hal pertama yang dilihat dan dirasakan warga sekolah. Oleh karena
itu, lingkungan fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk pembelajaran.
Sekolah yang mendukung pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang karya
peserta didik dipajang di seluruh area sekolah, termasuk koridor, kantor kepala
sekolah dan guru. Selain itu, karyakarya peserta didik diganti secara rutin
untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik. Selain itu, peserta
didik dapat mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut Baca di semua kelas,
kantor, dan area lain di sekolah. Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta
didik akan memberikan kesan positif tentang komitmen sekolah terhadap
pengembangan budaya literasi.
b. Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif sebagai model
komunikasi dan interaksi yang literat Lingkungan sosial dan afektif dibangun
melalui model komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah. Hal itu dapat
dikembangkan dengan pengakuan atas capaian peserta didik sepanjang tahun.
Pemberian penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera setiap minggu untuk
menghargai kemajuan peserta didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan
hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta didik. Dengan demikian,
setiap peserta didik mempunyai kesempatan untuk memperoleh penghargaan sekolah.
Selain itu, literasi diharapkan dapat mewarnai semua perayaan penting di
sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan dalam bentuk festival buku,
lomba poster, mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan sebagainya. Pimpinan
sekolah selayaknya berperan aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain
dengan membangun budaya kolaboratif antarguru dan tenaga kependidikan. Dengan
demikian, setiap orang dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing. Peran
orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan semakin memperkuat komitmen
sekolah dalam pengembangan budaya literasi.
c. Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademik yang
literat Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat dengan lingkungan
akademik. Ini dapat dilihat dari perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi
di sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk
pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam
hati dan guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran
berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru dan staf, mereka perlu diberikan
kesempatan untuk mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan untuk
peningkatan pemahaman tentang program literasi, pelaksanaan, dan
keterlaksanaannya.
Program Gerakan Literasi Sekolah dilaksanakan secara
bertahap dengan mempertimbangkan kesiapan sekolah di seluruh Indonesia.
Kesiapan ini mencakup kesiapan kapasitas sekolah (ketersediaan fasilitas, bahan
bacaan, sarana, prasarana literasi), kesiapan warga sekolah, dan kesiapan
sistem pendukung lainnya (partisipasi publik, dukungan kelembagaan, dan
perangkat kebijakan yang relevan).
Berikut ini tahapan Gerakan Literasi Sekolah
1. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang menyenangkan
di ekosistem sekolah Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat terhadap
bacaan dan terhadap kegiatan membaca dalam diri warga sekolah. Penumbuhan minat
baca merupakan hal fundamental bagi pengembangan kemampuan literasi peserta
didik.
2. Tahap ke-2: Pengembangan minat
baca untuk meningkatkan kemampuan literasi Kegiatan literasi pada tahap ini
bertujuan mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan mengaitkannya dengan
pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara
kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan pengayaan (Anderson & Krathwol,
2001).
3. Tahap ke-3: Pelaksanaan
pembelajaran berbasis literasi Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran
bertujuan mengembangkan kemampuan memahami teks dan mengaitkannya dengan
pengalaman pribadi, berpikir kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara
kreatif melalui kegiatan menanggapi teks buku bacaan pengayaan dan buku
pelajaran (cf. Anderson & Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada tagihan yang
sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran). Kegiatan membaca pada tahap
ini untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan peserta didik
membaca buku nonteks pelajaran yang dapat berupa buku tentang pengetahuan umum,
kegemaran, minat khusus, atau teks multimodal, dan juga dapat dikaitkan dengan
mata pelajaran tertentu sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa SMP,
dan 18 buku bagi siswa SMA/SMK. Buku laporan kegiatan membaca pada tahap
pembelajaran ini disediakan oleh wali kelas.
Sumber buku: Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar