Tamino,
lihatlah…
Air
mata ini mengalir, kekasihku…
Hanya
untukmu, hanya untukmu…
(Mozart,
Die Zauberflöte)
BAYANGKAN suatu saat kita
mendekat ke padang tempat Qois menyendiri. Atau ke dekat kubur yang menyatukan
jasad Romeo dan Juliet. Jika kau sudah di sana, dengarlah gerum desau,
sentuhlah rumputan yang basah, dan hiruplah embun yang sedang memelangikan
cahaya pagi. Agak siang sedikit, bagi tiap mata yang menatap ada debu yang
hinggap. Dan bila malam tiba, mungkin kaki di sapa duri. Lalu apa lagi yang
akan kita lakukan di sana? Seharusnya kita merenung. Tentang Romeo dan Qois.
Tentang cinta. Dan tentang kita.
Apakah jalan cinta
memang ekstrim? Di satu sisi ada yang ditulis kisahnya dengan penutup ‘Mereka
hidup bahagia selama-lamanya’. Kini, hampir tak ada yang percaya hal itu bisa
nyata. Di sisi lain, di padang itu, masih terbayang Qois menangis di gurun
nestapa, meratap sambil memanggil burung-burung. Dan di kubur itu, Romeo dan
Juliet membusuk berkawan cacing. Betapa lemah beberapa jiwa di hadapan cinta.
Mengapa?
Meletakkan
Kebahagiaan
Dalam cinta, “Kita
lemah karena posisi jiwa kita salah,” tulis Anis Matta di serial cintanya.
“Seperti ini,” jelasnya, “Kita mencintai seseorang lalu kita menggantungkan
kebahagiaan kita pada sebuah kehidupan bersamanya. Maka ketika ia menolak,
—atau tak beroleh kesempatan—, untk hidup bersama kita, itu menjadi sebuah
sumber kesengsaraan.” Kita menderita, bukan karena kita mencintai. Dan mungkin
juga bukan karena cinta itu sendiri. Tapi karena kita meletakkan kebahagiaan
kita pada cinta yang diterjemahkan sebagai kebersamaan.
Qois menerjemahkan
cintanya sebagai keharusan hidup bersama dengan Layla. Romeo pun sama. Baginya
kehidupan bersama yang penuh romansa dengan Juliet adalah harga mati. Maka saat
melihat sang kekasih ‘mati’, ia pun tanpa ragu menenggak racun itu. Kalau tak
bisa hidup bersama, mati bersama pun cukuplah. Qois menjadi lemah jiwa melihat
kekasihnya hidup bersama lelaki lain. Mereka menderita, bukan karena mencintai.
Dan mungkin juga bukan karena cinta itu sendiri. Tapi karena mereka meletakkan
kebahagiaan pada cinta yang diterjemahkan secara salah. Kalau saja ‘mencintai’
itu sudah cukup membahagiakan, tentu mereka takkan risau bahkan jikapun ‘tak
dicintai’. Di zaman Romeo dan Qois mungkin memang belum ada syair pencinta
sejati untuk dihayati, “Mencintai tak harus memiliki.”
Yah, dalam impian
kita mungkin memang begitu. Kita saling mencintai lalu kita hidup bersama dalam
cinta itu. Lalu adakah rumusan cinta yang sederhana, yang membersamakan, yang
seimbang? Ada. Banyak yang mencoba merumuskannya. Kita ambil satu contoh. Pada
tahun 1988, Robert J. Sternberg mempublikasikan teorinya yang terkenal hingga
kini, A Triangular Theory of Love.
Sebuah teori segitiga cinta. Segitiga cinta Sternberg itu mengandung komponen:
1. Keintiman (Intimacy)
2. Gairah (Passion)
3. Komitmen (Commitment)
Keintiman (intimacy) adalah elemen emosi yang di
dalamnya terdapat kehangatan, keakraban, dan hasrat menjalin hubungan. Gejala
yang tampak dari keintiman bisa berujud perasaan bahagia ketika dekat dengan
seseorang, menikmati cakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu
bila lama tidak bertemu, dan keinginan untuk bergandengan tangan atau saling
merangkul bahu. Gairah (passion)
adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang
bersifat seksual. Sementara komitmen (commitment)
adalah elemen kognitif, berupa keputusan dan tekad untuk secara tetap dan
sinambung menjalankan suatu kehidupan bersama.
Segitiga cinta
Sternberg mungkin memberi kita beberapa gambaran menarik. Jika ketiga unsur
menyusun sempurna, Sternberg menyebutnya consummate
love. Sebaliknya, sebuah hubungan yang tak memiliki ketiganya adalah non-love. Jika kita akrab dan intim
tanpa gairah dan komitmen, ia menyebutkan liking,
menyukai. Jika kita bergairah saja, —kata Sternberg inilah yang terjadi jika
Anda mengalami love at the first sight—,
maka itu sebuah infatuation,
ketergila-gilaan. Sementara empty love
(cinta kosong) adalah istilah Sternberg untuk yang sepenuhnya berupa komitmen,
tanpa gairah, tanpa keintiman.
Jika keintiman dan
gairah menyatu tanpa komitmen, jadilah romantic
love. Indah, kata Sternberg, namun sementara. Jika yang ditanggalkan adalah
gairah, yang terbentuk adalah sebuah hubungan akrab yang penuh komitmen.
Sebutlah ia companionate love, sebuah
persahabatan. Kata khullah dalam
bahasa Arab, sepertinya semakna. Maknanya perkasihan. Maka Alloh mengambil
Ibrohim sebagai kholiil, kekasih-Nya.
Terakhir, Sternberg menyebut istilah fatuous
love, cinta buta. Ini adalah paduan komitmen dan gairah. Tapi tiada
keintiman di sana.
“Dalam hubungan
lelaki dan perempuan,” begitu Sternberg menjelaskan, “Cinta yang ideal adalah
apabila ketiga komponen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu
tertentu.” Tentu saja Sternberg berbicara sesuai latar budaya Amerika: Pada
tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen keintiman. Setelah
keintiman, berlanjut pada gairah yang lebih besar disertai dengan komitmen yang
lebih besar. Misalnya melalui perkawinan.
Sebuah
Sudut Kunci dalam Segitiga
Shohih-kah semua penjelasan Sternberg? Dari sisi
kelengkapan teori, tentu saja teori segitiga cinta sulit digunakan untuk
menjelaskan cinta ibunda kepada putranya, misalnya. Ini salah satu
kelemahannya. Lebih mendasar dari itu, benarkah sebuah cinta ideal harus
dimulai dari keintiman, lalu gairah, dan terakhir baru ada komitmen?
Agar tidak bias,
mari kita tinjau dari latar budaya yang sama dengan Sternberg: Amerika. Masih
dari majalah National Geographic
edisi Februari 2006 dengan tema utama ‘Love,
The Chemical Reaction’. Lauren Slater memulai artikelnya dengan abstraksi
yang menarik. “Para ilmuwan mengungkap bahwa,” begitu tulisnya dalam halaman
berilustrasi adegan di Tango Bar
Argentina, “Susunan kimia otak yang memicu romantika sepenuhnya sangat berbeda
dengan kecocokan yang memupuk kelekatan jangka panjang.” Artinya, ini dua hal
yang berbeda. ‘Gairah dan keintiman’ ala Sternberg yang identik dengan
‘romantika’ dalam diksi Slater, tidak ada kaitannya dengan komitmen yang
melahirkan hubungan jangka panjang. Tidak ada yang berantai urut di sini.
Setelah memaparkan
berbagai riset tentang kelekatan dan kerja hormon oksitosin, Lauren Slater
menampilkan kisah pasangan Emily Grillot dan isterinya, Marion. Sebuah foto
yang memenuhi dua halaman majalah itu menggambarkan Emily dan Marion duduk
bersebelahan agak berjauhan dengan latar foto-foto anak cucu.
“Apa yang menjaga
pernikahan mereka bertahan selama 58 tahun lamanya?” tanya Slater dalam kalimat
di samping foto. “Mungkin,” tulis Slater, “Ini adalah sebuah pertalian yang
ditempa oleh keberadaan anak cucu mereka.” Ada 20 anak dalam pernikahan
Grillot, yang dari mereka terbiak 77 orang cucu. Tetapi Mbah Grillot yang seorang petani menjelaskan rahasia cintanya dalam
kalimat pendek, “Ini adalah komitmen dan perhatian di antara kami kepada yang
lain. Beberapa orang menyebutnya cinta.”
Jadi, dari situ
memulainya? Ya. Empty love. Inilah
sudut kunci dalam segitiga cinta Sternberg. Membangun komitmen. Jalan cinta
para pejuang adalah jalan kesetiaan dan pengorbanan. Komitmen adalah ikrar
kerelaan berkorban; memberi bukan meminta, berinisiatif tanpa menunggu,
memahami dan bukan menuntut. Komitmen adalah ikatan kesetiaan.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara
kamu yang melepas ikatan kesetiaan (murtad) dari agamanya, maka kelak Alloh
akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya…” (QS. Al-Maa’idah [5]:
54)
Di jalan cinta para
pejuang, komitmen-lah yang akan
menjadi tapak langkah pertama cinta kita.
Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim
A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar