Senin, 02 Januari 2017

Segitiga Cinta

Tamino, lihatlah…
Air mata ini mengalir, kekasihku…
Hanya untukmu, hanya untukmu…

(Mozart, Die Zauberflöte)

BAYANGKAN suatu saat kita mendekat ke padang tempat Qois menyendiri. Atau ke dekat kubur yang menyatukan jasad Romeo dan Juliet. Jika kau sudah di sana, dengarlah gerum desau, sentuhlah rumputan yang basah, dan hiruplah embun yang sedang memelangikan cahaya pagi. Agak siang sedikit, bagi tiap mata yang menatap ada debu yang hinggap. Dan bila malam tiba, mungkin kaki di sapa duri. Lalu apa lagi yang akan kita lakukan di sana? Seharusnya kita merenung. Tentang Romeo dan Qois. Tentang cinta. Dan tentang kita.

Apakah jalan cinta memang ekstrim? Di satu sisi ada yang ditulis kisahnya dengan penutup ‘Mereka hidup bahagia selama-lamanya’. Kini, hampir tak ada yang percaya hal itu bisa nyata. Di sisi lain, di padang itu, masih terbayang Qois menangis di gurun nestapa, meratap sambil memanggil burung-burung. Dan di kubur itu, Romeo dan Juliet membusuk berkawan cacing. Betapa lemah beberapa jiwa di hadapan cinta. Mengapa?

Meletakkan Kebahagiaan
Dalam cinta, “Kita lemah karena posisi jiwa kita salah,” tulis Anis Matta di serial cintanya. “Seperti ini,” jelasnya, “Kita mencintai seseorang lalu kita menggantungkan kebahagiaan kita pada sebuah kehidupan bersamanya. Maka ketika ia menolak, —atau tak beroleh kesempatan—, untk hidup bersama kita, itu menjadi sebuah sumber kesengsaraan.” Kita menderita, bukan karena kita mencintai. Dan mungkin juga bukan karena cinta itu sendiri. Tapi karena kita meletakkan kebahagiaan kita pada cinta yang diterjemahkan sebagai kebersamaan.

Qois menerjemahkan cintanya sebagai keharusan hidup bersama dengan Layla. Romeo pun sama. Baginya kehidupan bersama yang penuh romansa dengan Juliet adalah harga mati. Maka saat melihat sang kekasih ‘mati’, ia pun tanpa ragu menenggak racun itu. Kalau tak bisa hidup bersama, mati bersama pun cukuplah. Qois menjadi lemah jiwa melihat kekasihnya hidup bersama lelaki lain. Mereka menderita, bukan karena mencintai. Dan mungkin juga bukan karena cinta itu sendiri. Tapi karena mereka meletakkan kebahagiaan pada cinta yang diterjemahkan secara salah. Kalau saja ‘mencintai’ itu sudah cukup membahagiakan, tentu mereka takkan risau bahkan jikapun ‘tak dicintai’. Di zaman Romeo dan Qois mungkin memang belum ada syair pencinta sejati untuk dihayati, “Mencintai tak harus memiliki.”

Yah, dalam impian kita mungkin memang begitu. Kita saling mencintai lalu kita hidup bersama dalam cinta itu. Lalu adakah rumusan cinta yang sederhana, yang membersamakan, yang seimbang? Ada. Banyak yang mencoba merumuskannya. Kita ambil satu contoh. Pada tahun 1988, Robert J. Sternberg mempublikasikan teorinya yang terkenal hingga kini, A Triangular Theory of Love. Sebuah teori segitiga cinta. Segitiga cinta Sternberg itu mengandung komponen:
1.   Keintiman (Intimacy)
2.   Gairah (Passion)
3.   Komitmen (Commitment)

Keintiman (intimacy) adalah elemen emosi yang di dalamnya terdapat kehangatan, keakraban, dan hasrat menjalin hubungan. Gejala yang tampak dari keintiman bisa berujud perasaan bahagia ketika dekat dengan seseorang, menikmati cakap-cakap dengannya sampai waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu, dan keinginan untuk bergandengan tangan atau saling merangkul bahu. Gairah (passion) adalah elemen motivasional yang didasari oleh dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual. Sementara komitmen (commitment) adalah elemen kognitif, berupa keputusan dan tekad untuk secara tetap dan sinambung menjalankan suatu kehidupan bersama.

Segitiga cinta Sternberg mungkin memberi kita beberapa gambaran menarik. Jika ketiga unsur menyusun sempurna, Sternberg menyebutnya consummate love. Sebaliknya, sebuah hubungan yang tak memiliki ketiganya adalah non-love. Jika kita akrab dan intim tanpa gairah dan komitmen, ia menyebutkan liking, menyukai. Jika kita bergairah saja, —kata Sternberg inilah yang terjadi jika Anda mengalami love at the first sight—, maka itu sebuah infatuation, ketergila-gilaan. Sementara empty love (cinta kosong) adalah istilah Sternberg untuk yang sepenuhnya berupa komitmen, tanpa gairah, tanpa keintiman.

Jika keintiman dan gairah menyatu tanpa komitmen, jadilah romantic love. Indah, kata Sternberg, namun sementara. Jika yang ditanggalkan adalah gairah, yang terbentuk adalah sebuah hubungan akrab yang penuh komitmen. Sebutlah ia companionate love, sebuah persahabatan. Kata khullah dalam bahasa Arab, sepertinya semakna. Maknanya perkasihan. Maka Alloh mengambil Ibrohim sebagai kholiil, kekasih-Nya. Terakhir, Sternberg menyebut istilah fatuous love, cinta buta. Ini adalah paduan komitmen dan gairah. Tapi tiada keintiman di sana.

“Dalam hubungan lelaki dan perempuan,” begitu Sternberg menjelaskan, “Cinta yang ideal adalah apabila ketiga komponen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu tertentu.” Tentu saja Sternberg berbicara sesuai latar budaya Amerika: Pada tahap awal hubungan, yang paling besar adalah komponen keintiman. Setelah keintiman, berlanjut pada gairah yang lebih besar disertai dengan komitmen yang lebih besar. Misalnya melalui perkawinan.

Sebuah Sudut Kunci dalam Segitiga
Shohih-kah semua penjelasan Sternberg? Dari sisi kelengkapan teori, tentu saja teori segitiga cinta sulit digunakan untuk menjelaskan cinta ibunda kepada putranya, misalnya. Ini salah satu kelemahannya. Lebih mendasar dari itu, benarkah sebuah cinta ideal harus dimulai dari keintiman, lalu gairah, dan terakhir baru ada komitmen?

Agar tidak bias, mari kita tinjau dari latar budaya yang sama dengan Sternberg: Amerika. Masih dari majalah National Geographic edisi Februari 2006 dengan tema utama ‘Love, The Chemical Reaction’. Lauren Slater memulai artikelnya dengan abstraksi yang menarik. “Para ilmuwan mengungkap bahwa,” begitu tulisnya dalam halaman berilustrasi adegan di Tango Bar Argentina, “Susunan kimia otak yang memicu romantika sepenuhnya sangat berbeda dengan kecocokan yang memupuk kelekatan jangka panjang.” Artinya, ini dua hal yang berbeda. ‘Gairah dan keintiman’ ala Sternberg yang identik dengan ‘romantika’ dalam diksi Slater, tidak ada kaitannya dengan komitmen yang melahirkan hubungan jangka panjang. Tidak ada yang berantai urut di sini.

Setelah memaparkan berbagai riset tentang kelekatan dan kerja hormon oksitosin, Lauren Slater menampilkan kisah pasangan Emily Grillot dan isterinya, Marion. Sebuah foto yang memenuhi dua halaman majalah itu menggambarkan Emily dan Marion duduk bersebelahan agak berjauhan dengan latar foto-foto anak cucu.

“Apa yang menjaga pernikahan mereka bertahan selama 58 tahun lamanya?” tanya Slater dalam kalimat di samping foto. “Mungkin,” tulis Slater, “Ini adalah sebuah pertalian yang ditempa oleh keberadaan anak cucu mereka.” Ada 20 anak dalam pernikahan Grillot, yang dari mereka terbiak 77 orang cucu. Tetapi Mbah Grillot yang seorang petani menjelaskan rahasia cintanya dalam kalimat pendek, “Ini adalah komitmen dan perhatian di antara kami kepada yang lain. Beberapa orang menyebutnya cinta.”

Jadi, dari situ memulainya? Ya. Empty love. Inilah sudut kunci dalam segitiga cinta Sternberg. Membangun komitmen. Jalan cinta para pejuang adalah jalan kesetiaan dan pengorbanan. Komitmen adalah ikrar kerelaan berkorban; memberi bukan meminta, berinisiatif tanpa menunggu, memahami dan bukan menuntut. Komitmen adalah ikatan kesetiaan.

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang melepas ikatan kesetiaan (murtad) dari agamanya, maka kelak Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…” (QS. Al-Maa’idah [5]: 54)

Di jalan cinta para pejuang, komitmen-lah yang akan menjadi tapak langkah pertama cinta kita.

Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar