Motif batik “Wahyu Tumurun” ada
sejak Panembahan Senopati di Kotagede; disempurnakan oleh Sultan Agung di Karta
kemudian dikukuhkan sebagai pakaian i’tikaf pada 10 malam terakhir Ramadhan
oleh Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta.
Batik Wahyu Tumurun Latar Pethak
Gagrak Ngayogyakarta mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Redi: Gunung bercahaya dengan gua di tengahnya, Jabal Nur dan Gua
Hira’; tempat wahyu pertama turun.
2. Elar: Sayap malaikat.
3. Sawung: Ayam jago. Pertanda waktu fajar.
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr [97]: 4-5)
4. Ketopong (mahkota terbang). Karena penghafal Al Qur’an dipakaikan
mahkota yang bersinar melebihi cahaya mentari.
5. Lung-lungan (cabang-cabang tumbuhan). Sebab, yang “akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim [14]: 24)
6. Kusuma (bunga) dan buah Sawo
Kecik (sarwo becik; serba baik). Sebab, akhlak pembaca Al Qur’an harus harum mewangi
dan manis rasanya (Surah Ibrahim [14] ayat 25).
7. Isen-isen Keras (susunan batuan granit di pegunungan), sebagai
pengingat bahwa gunung pun akan hancur karena takut pada Allah jika Al Qur’an
diturunkan padanya (Surah Al Hasyr [59] ayat 21). Dan jangan sampai hati kita
mengeras bagai batu, padahal di antara batu pun ada yang di selanya mengalir
sungai; ada yang terbelah kemudian memancarkan air; dan ada yang meluncur jatuh
karena takut kepada Allah (Surah Al Baqarah [2] ayat 74).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar