Senin, 02 Januari 2017

Filosofi Batik Wahyu Tumurun

Motif batik “Wahyu Tumurun” ada sejak Panembahan Senopati di Kotagede; disempurnakan oleh Sultan Agung di Karta kemudian dikukuhkan sebagai pakaian i’tikaf pada 10 malam terakhir Ramadhan oleh Sultan Hamengkubuwana I di Yogyakarta.

Batik Wahyu Tumurun Latar Pethak Gagrak Ngayogyakarta mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

1. Redi: Gunung bercahaya dengan gua di tengahnya, Jabal Nur dan Gua Hira’; tempat wahyu pertama turun.

2. Elar: Sayap malaikat.

3. Sawung: Ayam jago. Pertanda waktu fajar.

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr [97]: 4-5)

4. Ketopong (mahkota terbang). Karena penghafal Al Qur’an dipakaikan mahkota yang bersinar melebihi cahaya mentari.

5. Lung-lungan (cabang-cabang tumbuhan). Sebab, yang “akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim [14]: 24)

6. Kusuma (bunga) dan buah Sawo Kecik (sarwo becik; serba baik). Sebab, akhlak pembaca Al Qur’an harus harum mewangi dan manis rasanya (Surah Ibrahim [14] ayat 25).


7. Isen-isen Keras (susunan batuan granit di pegunungan), sebagai pengingat bahwa gunung pun akan hancur karena takut pada Allah jika Al Qur’an diturunkan padanya (Surah Al Hasyr [59] ayat 21). Dan jangan sampai hati kita mengeras bagai batu, padahal di antara batu pun ada yang di selanya mengalir sungai; ada yang terbelah kemudian memancarkan air; dan ada yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah (Surah Al Baqarah [2] ayat 74).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar