Di
hutan, kulihat dua cabang jalan terbentang
Kuambil
jalan yang jarang dilalui orang
Dan
itulah yang membuat segala perbedaan
-Robert
Frost, The Road Not Taken-
DI perbincangan
sebelumnya kita memahami bahwa kebangkitan spiritual tak ada hubungannya dengan
agama apapun. Setidaknya, demikianlah yang ditegaskan oleh para pelopornya. Ya.
Kebangkitan spiritual mengejar hanya makna. Sedangkan agama adalah makna
sekaligus norma. Dua hal berbeda ini akan coba kita perjelas dalam cerita dari
Universitas Islam Indonesia berikut. Suatu waktu saya diundang oleh FPISB UII
untuk berbicara dalam sarasehan jilbab syar’i. Acara ini dimaksudkan untuk
mencari masukan dan curah gagasan bagi perumusan ketentuan busana muslimah
mahasiswinya.
Narasumber yang
lain adalah seorang dosen dari internal fakultas. Beliau seorang ibu yang
rendah hati, psikolog lulusan sebuah perguruan tinggi terkemuka di AS. Dalam
sarasehan ini, beliau menyampaikan pengalamannya dalam berbusana muslimah dan
tantangannya —baik di Indonesia dahulu maupun di Barat kini— serta berbagai
nuansa jilbab yang ditemuinya di beberapa negara yang pernah dikunjungi. Beliau
menampilkan puisi The Way not Taken
karya Robert Frost di atas dalam slide
pertama presentasinya. Itulah ekspresi rasa pejuang jilbab seangkatan beliau.
Tugas
Liberal adalah Bertanya
Agar tak
bertele-tele, izinkan saya melompatkan kisah ini ke sesi diskusi dengan
audiens. Salah seorang peserta —pria—, tampaknya sangat serius mempersiapkan
pertanyaannya. Yang bersangkutan membawa rujukan lengkap dari kitab —wallohu a’lam, seingat saya— Lubaabun Nuqul fii Asbaabin Nuzuul karya
Imam as-Suyuthi. Pertanyaannya juga canggih. “Kalau kita baca latar belakang
turunnya surat al-Ahzab 59, maka kita akan menemukan konteksnya. Dan saya kira
pemahaman terhadap konteks, akan membuat kita lebih jernih dalam
mengimplementasikan ayat ini.”
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Alloh adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
Al-Ahzab [33]: 59)
“Pada waktu itu,”
katanya melanjutkan, “Ada seorang muslimah yang diganggu oleh beberapa pemuda.
Maka dia mengadu pada Rosululloh hingga beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam pun memanggil mereka. Ketika ditanya
mengapa mengganggu, mereka menjawab bahwa muslimah itu tidak menunjukkan ciri
muslimah, tak dikenali entah merdeka atau budak. Maka turunlah ayat ini yang
konteksnya adalah identitas dan perlindungan. Jadi, intinya bukan jilbabnya
tapi agar ia tidak diganggu. Nah, di masa sekarang ketika para muslimah tak
diganggu, masih relevankah jilbab?”
Tentu saja ini
tanya yang tak dinyana. Dan saya memahami mengapa Ibu narasumber kita menjadi
emosional menjawabnya. Kalimat yang dibawakan mahasiswa itu terlalu perih
menyembilu untuk hati seorang muslimah yang memperjuangkan jilbabnya ketika
hampir semua wanita tiarap terhadap represi penguasa di tahun 80-an hingga
90-an. “Kita ini sudah selangkah maju! Jangan dimundurkan lagi dengan ini
konteks lah, ini apa lah! Hargailah mereka yang punya
semangat untuk menjalankan perintah Alloh. Jangan direcoki dengan pemahaman
yang neko-neko!”
Ah… Ibu. Sepertinya
kita kurang memahami bahwa tugas kaum liberal memang bertanya dan berwacana.
Kitalah, para peniti jalan cinta para pejuang yang harus memberi jawab pada
dunia. Karena Alloh telah menjadikan Rosululloh dan kita sebagai para saksi
yang menjawab, bukan para jaksa yaqng bertanya.
Memijakkan
Pemahaman
Ternyata, saya juga
diberi kesempatan untuk menjawab. Karena pertanyaan ini tak sekedar soal, tapi
menyertakan paradigma fiqh liberal, saya merasa harus memijakkan pemahaman.
Bukan sekedar menjawab. Paradigma fiqh liberal, menurut Prof. Ibrahim Hosen,
terutama memandang sebuah nash atau teks al-Qur’an dan hadits bukan dalam
harfiah teksnya, tapi menggali untuk menemukan ‘ruh’ atau semangatnya. Dalam
paradigma ilmiah sederhana tentu hal ini selesai terbantai. Mengapa? Menggeser
pemahaman dari harfiah lafazh ke arah ‘semangat’-nya berarti menggeser
objektivitas teks kepada subjektivitas penafsir. Nah, ini berarti paradigma
fiqh liberal tak berdiri di atas objektivitas ilmiah sejak detik pertama.
Awal-awal saya
fikir membantah paradigma fiqh iberal akan sulit dan rumit. Tapi ternyata, masya Alloh, bahkan ketika kita
mengambil paradigma fiqh yang paling sederhana dari para ‘ulama ushul fiqh,
semua paradigma liberal itu sudah habis bagaikan gelap terusir rekah fajar. Dalam
kasus penanya kita yang terhormat ini, saya sampaikan bahwa, pertama, kaidah
fiqh-nya mengatakan “Hukum diambil dari keumuman lafazh, bukan kekhususan
sebab.” Jadi, kalau lafazh umumnya menyeru kepada isteri Nabi, putri-putrinya,
dan wanita-wanita mukmin untuk berjilbab, maka demikianlah hukumnya.
Yang kedua, bahwa
para ‘ulama kita membedakan antara ‘illat
(alasan hukum) dengan hikmah dalam suatu hukum. ‘Illat wajibnya jilbab adalah adanya ayat yang tadi dibacakan.
Sedangkan hikmahnya, di antaranya disebutkan yaitu agar lebih mudah dikenal
sehingga tidak diganggu, karena hukum bertalian dengan ‘illat, bukan dengan hikmah.
Yang ketiga, saya
sampaikan bahwa toh sampai sekarang pun hikmahnya tidak hilang; ada perasaan
lebih aman pada para wanita muslimah ketika memakai jilbab. Ketika mereka
menyempurnakan perintah Alloh dalam jilbab, Alloh pun melindungi mereka dari
berbagai-bagai gangguan.
Sepertinya jawaban
ini cukup. Sekaligus melanjutkan perbincangan kita di bagian lalu, saya ingin
menyampaikan bahwa kebangkitan spiritual hanya akan memperhatikan satu sisi
masalah seperti saudara kita mahasiswa tadi; hikmah, alias konteks yang
mengikat makna. Sementara Diin ini,
agama Alloh ini, adalah ‘illat
sekaligus hikmah. Ada norma, ada
makna. ‘Illat menjadi lebih bermakna
dengan hikmah, sedangkan hikmah bernilai karena ‘illat. Yang satu sempurna oleh yang lain.
***
Untuk lebih
memahami apa perbedaan antara ‘illat
dan hikmah, kita persilakan Syaikh Muhammad Abu Zahroh dalam kitab Ushul Fiqh menjelaskannya. “Hikmah
ialah,” tulis beliau, “Manfaat yang tampak ketika Alloh memerintahkan sesuatu,
atau terhindarnya kerusakan ketika Ia melarangnya.” Jadi, hikmah berkaitan
dengan aspek kemanfaatan yang dikaruniakan oleh Alloh pada manusia di balik
perintah dan larangan-Nya. Sifatnya pragmatis, memang. Dan ilmu pengetahuan
serta teknologi sungguh telah banyak membantu kita menyingkap berbagai hikmah
yang ada dalam syari’at-Nya.
“Sedangkan yang
dimaksud dengan ‘illat,” lanjut
Syaikh Muhammad Abu Zahroh, “Adalah sifat zhohir yang tepat (mundhobith) berkenaan dengan hukum itu
sendiri. Nash-nash hukum, demikian jumhur ‘ulama berpendapat, pasti memiliki ‘illat. Nah, sumber hukum asal dalam
suatu nash (teks) al-Qur’an ataupun
hadits adalah ‘illat hukum itu
sendiri sampai adanya petunjuk dalil yang menentukan lain.” Ringkasnya, ‘illat adalah alasan, sedangkan hikmah
adalah dampak. Masya Alloh, beliau
menjelaskan dengan jernih dan gamblang.
Jadi, bisa kita
fahami bahwa, haramnya daging babi adalah karena Alloh menyatakan demikian. Hikmahnya,
mungkin karena babi adalah vektor penyebaran berbagai penyakit, dan dalam
dagingnya terkandung berbagai bakteri, cacing pita, dan parasit lainnya. Nah,
seperti disampaikan di awal, hilangnya hikmah tidak meniadakan hukum. Jikapun
suatu saat ditemukan suatu cara pengolahan yang mampu membinasakan semua
potensi negatif yang terkandung dalam daging babi, hukum daging babi takkan
pernah berubah. Mengapa? Karena bahkan sampai kiamat pun, takkan ada perubahan
sedikit pun dalam ayat Alloh yang mengharamkannya.
Juga tentang zina,
misalnya. Mengapa zina —bahkan sekedar mendekatinya— dilarang? Apakah karena
zina mengakibatkan berbagai macam kerusakan; kerusakan sosial, pranata
keluarga, serta menyuburjebahkan berbagai penyakit menular seksual semacam
sipilis, gonorrhoe, dan —yang paling ditakuti— AIDS? Bukan. Kerusakan maupun
penyakit-penyakit itu adalah hikmah diharamkannya zina. Sekedar hikmah. Bukan ‘illat. Zina tak diperkenankan karena
adanya ayat ini.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina
itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isroo’ [17]: 32)
Nah, betapapun
harus kita syukuri bahwa Alloh meletakkan suatu hikmah yang sangat kuat
berkenaan dengan larangan zina ini. Manusia masih sangat takut akan HIV/AIDS
dan penyakit menular seksual yang lain. Sayang, pemahamannya kemudian alih-alih
‘Bagaimana menjauhi zina?’, melainkan ‘Bagaimana mencegah penularan PMS?’.
Menyedihkannya, di negara kita tersayang yang banyak hutang ini, logika itu
mengalami reduksi. Yakni disederhanakan lagi menjadi ‘Pakailah kondom!’ Dan
pemerintah pun tak kalah memasygulkan dengan programnya ‘ATM Kondom’.
Mengapa saya
katakan bahwa di Indonesia logika pencegahan PMS mengalami reduksi? Karena
bahkan di AS dan Eropa pun, logika itu masih teterjemahkan menjadi ABC. ABC adalah Abstinence, Be Faithful, and Condom. Tiga hal ini bermakna
berpantang seks, setia kepada pasangan, dan menggunakan kondom. Masih mending
bukan? Minimal, secara konsep, prioritas pertama mereka mencegah penularan PMS
adalah adalah tidak berzina. “Safe sex?
No sex!,” kata para pejuangnya.
Oh ya, izinkan saya
menyebut mereka pejuang. Karena aktivitas mereka kini telah menjadi sebuah
gerakan. Gerakan Abstinence, sebutlah
begitu. Harian Republika secara
sekilas pernah melaporkan tentangnya.
Para gadis Amerika
kini keranjingan tren baru untuk bergabung dalam gerakan Abstinence. Mungkin para penggagasnya mengerti konsep pemasaran ala
Oreo: diputer, dijilat, terus dicelupin.
Pasarkan produk Anda dengan ritual, kata Hermawan Kartajaya. Ritual adalah
pengikat yang paling kuat antara produk dengan konsumen. Itulah yang terjadi
pada Oreo. Dan itulah yang terjadi pada gerakan Abstinence. Mereka punya
ritual. Dimulai dari berdansa dengan ayah dan alunan musik romantis, lalu mengucapkan
sumpah dalam remang cahaya lilin untuk tak melakukan hubungan seks kecuali
dengan suami mereka kelak.
Para pejuangku yang
sedang meniti jalan cinta. Lihatlah bahwa dunia berubah. Sebagian dunia yang
dulu menjadi kiblat bebas nilai, kini semakin menghargai nilai. Dan mereka
mendapat pelajaran karena pengalaman pribadi. Barat sudah mulai merasakan
getirnya seks bebas yang didengung-dengungkan sebagai kemajuan 50 tahun lalu.
Swedia, pelopor seks bebas dari Eropa itu kini berbenah untuk membantu karakter
masyarakatnya, karakter yang penuh nilai kemanusiaan universal. Dan dengan
masyarakat berkarakter itu, pendapatan per kapitanya kini mencatatkan nilai
tertinggi di dunia.
Ketika dunia
berubah, di jalan cinta para pejuang kita harus semakin berbenah.
Ah-Bay-Say
Oh iya, saya masih
punya cerita tentang ABC. Sembari mengantar ke bahasan berikut, saya akan
bercerita tentang ABC lagi. Tetapi yang ini berbeda. Saya mengambilnya dari
salah satu bagian yang paling saya suka dalam novel Les Miserables karya Victor Hugo, master Romantisme Perancis itu.
Bagian itu bertajuk Kawan-kawan ABC.
Ini kisah tentang
sebuah klub pejuang muda menjelang revolusi yang gagal, 1830. ABC, yang dalam
bahasa Perancis dilafalkan ah-bay-say,
tepat mirip dengan kata abaissé,
artinya ‘yang direndahkan’. Kata itu adalah tentang rakyat, pelanduk di tengah
gajah dalam berbagai pergolakan di Perancis selama setengah abad sejak
penyerbuan ke Bastille. Mereka terus berkorban dan terkorbankan. Kawan-kawan
ABC, para pemuda yang penuh idealisme itu hendak berjuang untuk mengangkat
harkat abaissé.
Di kelompok ini ada
Enjolras, sang pemimpin. Ia pemuda yang memesona, tampan, dan suci bak
malaikat. Tapi di ekstrim lain Enjolras liar, garang dengan kilauan di matanya
yang penuh pemikiran. Lisannya yang meyakinkan bertabur detail pemahaman
tentang revolusi dan semua peristiwa pentingnya, seolah dialah satu-satunya
saksi mata.
Di samping Enjolras
yang mewakili logika revolusi, ada seorang filosof revolusi. Combeferre
menaungi julangan-julangan gunung idealisme dengan langit biru kebijaksanaan.
Bagi Enjolras, revolusi adalah perang. Bagi Combeferre, perdamaian dan
peradaban. Ia melengkapi dan meluruskan Enjolras. Ia rendah hati dan lebih
berpengetahuan. Combeferre adalah sang pembimbing.
Orang ketiga, Jean
Prouvaire menanami pot dengan bebungaan, bermain flute, menciptakan syair,
mengungkapkan cinta pada semua orang, meratapi nasib para wanita, menangis bak
anak kecil, serta membaurkan Tuhan dan masa depan dengan keyakinan yang sama.
Kata-katanya lembut, wajahnya tersipu tanpa sebab, kepala dan pandangannya
menunduk sangat pemalu. Tetapi ia juga pemberani. Sepanjang hari ia merenungkan
masalah-masalah sosial; upah, modal, kredit, pernikahan, keyakinan, kebebasan,
pendidikan, hukum, penderitaan, perhimpunan, produksi, dan distribusi. Lalu di
malam hari ia memandangi bintang-bintang, menghitung yang tak terbilang.
Begitulah.
Sebenarnya, masih ada beberapa sosok lagi dengan karakter-karakter uniknya
masing-masing. Tetapi bercerita lebih panjang belum tentu bermanfaat. Yang
jelas, satu hal menyatukan para pemuda tampan ini: kepedulian pada nasib orang
banyak. Mereka mencurahkan segenap dirinya untuk cita-cita besar perubahan bagi
yang tertindas. Nah, pria-pria muda ini adalah contoh gejala awal dari apa yang
ingin saya bicarakan berikutnya tentang dunia kita yang berubah. Pernah dengar
tentang pria metroseksual? Setelah beberapa saat para pria gandrung berdandan
karena tren metroseksual, kini mereka harus segera menyambut tren baru yang
berciri besar kepedulian kepada nasib dunia: Uberseksual!
Dunia berubah. Dan
di jalan cinta para pejuang, kita harus semakin berbenah…
Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim
A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar