Senin, 02 Januari 2017

ABC

Di hutan, kulihat dua cabang jalan terbentang
Kuambil jalan yang jarang dilalui orang
Dan itulah yang membuat segala perbedaan

-Robert Frost, The Road Not Taken-

DI perbincangan sebelumnya kita memahami bahwa kebangkitan spiritual tak ada hubungannya dengan agama apapun. Setidaknya, demikianlah yang ditegaskan oleh para pelopornya. Ya. Kebangkitan spiritual mengejar hanya makna. Sedangkan agama adalah makna sekaligus norma. Dua hal berbeda ini akan coba kita perjelas dalam cerita dari Universitas Islam Indonesia berikut. Suatu waktu saya diundang oleh FPISB UII untuk berbicara dalam sarasehan jilbab syar’i. Acara ini dimaksudkan untuk mencari masukan dan curah gagasan bagi perumusan ketentuan busana muslimah mahasiswinya.

Narasumber yang lain adalah seorang dosen dari internal fakultas. Beliau seorang ibu yang rendah hati, psikolog lulusan sebuah perguruan tinggi terkemuka di AS. Dalam sarasehan ini, beliau menyampaikan pengalamannya dalam berbusana muslimah dan tantangannya —baik di Indonesia dahulu maupun di Barat kini— serta berbagai nuansa jilbab yang ditemuinya di beberapa negara yang pernah dikunjungi. Beliau menampilkan puisi The Way not Taken karya Robert Frost di atas dalam slide pertama presentasinya. Itulah ekspresi rasa pejuang jilbab seangkatan beliau.

Tugas Liberal adalah Bertanya
Agar tak bertele-tele, izinkan saya melompatkan kisah ini ke sesi diskusi dengan audiens. Salah seorang peserta —pria—, tampaknya sangat serius mempersiapkan pertanyaannya. Yang bersangkutan membawa rujukan lengkap dari kitab —wallohu a’lam, seingat saya— Lubaabun Nuqul fii Asbaabin Nuzuul karya Imam as-Suyuthi. Pertanyaannya juga canggih. “Kalau kita baca latar belakang turunnya surat al-Ahzab 59, maka kita akan menemukan konteksnya. Dan saya kira pemahaman terhadap konteks, akan membuat kita lebih jernih dalam mengimplementasikan ayat ini.”

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab [33]: 59)

“Pada waktu itu,” katanya melanjutkan, “Ada seorang muslimah yang diganggu oleh beberapa pemuda. Maka dia mengadu pada Rosululloh hingga beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam pun memanggil mereka. Ketika ditanya mengapa mengganggu, mereka menjawab bahwa muslimah itu tidak menunjukkan ciri muslimah, tak dikenali entah merdeka atau budak. Maka turunlah ayat ini yang konteksnya adalah identitas dan perlindungan. Jadi, intinya bukan jilbabnya tapi agar ia tidak diganggu. Nah, di masa sekarang ketika para muslimah tak diganggu, masih relevankah jilbab?”

Tentu saja ini tanya yang tak dinyana. Dan saya memahami mengapa Ibu narasumber kita menjadi emosional menjawabnya. Kalimat yang dibawakan mahasiswa itu terlalu perih menyembilu untuk hati seorang muslimah yang memperjuangkan jilbabnya ketika hampir semua wanita tiarap terhadap represi penguasa di tahun 80-an hingga 90-an. “Kita ini sudah selangkah maju! Jangan dimundurkan lagi dengan ini konteks lah, ini apa lah! Hargailah mereka yang punya semangat untuk menjalankan perintah Alloh. Jangan direcoki dengan pemahaman yang neko-neko!”

Ah… Ibu. Sepertinya kita kurang memahami bahwa tugas kaum liberal memang bertanya dan berwacana. Kitalah, para peniti jalan cinta para pejuang yang harus memberi jawab pada dunia. Karena Alloh telah menjadikan Rosululloh dan kita sebagai para saksi yang menjawab, bukan para jaksa yaqng bertanya.

Memijakkan Pemahaman
Ternyata, saya juga diberi kesempatan untuk menjawab. Karena pertanyaan ini tak sekedar soal, tapi menyertakan paradigma fiqh liberal, saya merasa harus memijakkan pemahaman. Bukan sekedar menjawab. Paradigma fiqh liberal, menurut Prof. Ibrahim Hosen, terutama memandang sebuah nash atau teks al-Qur’an dan hadits bukan dalam harfiah teksnya, tapi menggali untuk menemukan ‘ruh’ atau semangatnya. Dalam paradigma ilmiah sederhana tentu hal ini selesai terbantai. Mengapa? Menggeser pemahaman dari harfiah lafazh ke arah ‘semangat’-nya berarti menggeser objektivitas teks kepada subjektivitas penafsir. Nah, ini berarti paradigma fiqh liberal tak berdiri di atas objektivitas ilmiah sejak detik pertama.

Awal-awal saya fikir membantah paradigma fiqh iberal akan sulit dan rumit. Tapi ternyata, masya Alloh, bahkan ketika kita mengambil paradigma fiqh yang paling sederhana dari para ‘ulama ushul fiqh, semua paradigma liberal itu sudah habis bagaikan gelap terusir rekah fajar. Dalam kasus penanya kita yang terhormat ini, saya sampaikan bahwa, pertama, kaidah fiqh-nya mengatakan “Hukum diambil dari keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab.” Jadi, kalau lafazh umumnya menyeru kepada isteri Nabi, putri-putrinya, dan wanita-wanita mukmin untuk berjilbab, maka demikianlah hukumnya.

Yang kedua, bahwa para ‘ulama kita membedakan antara ‘illat (alasan hukum) dengan hikmah dalam suatu hukum. ‘Illat wajibnya jilbab adalah adanya ayat yang tadi dibacakan. Sedangkan hikmahnya, di antaranya disebutkan yaitu agar lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu, karena hukum bertalian dengan ‘illat, bukan dengan hikmah.

Yang ketiga, saya sampaikan bahwa toh sampai sekarang pun hikmahnya tidak hilang; ada perasaan lebih aman pada para wanita muslimah ketika memakai jilbab. Ketika mereka menyempurnakan perintah Alloh dalam jilbab, Alloh pun melindungi mereka dari berbagai-bagai gangguan.

Sepertinya jawaban ini cukup. Sekaligus melanjutkan perbincangan kita di bagian lalu, saya ingin menyampaikan bahwa kebangkitan spiritual hanya akan memperhatikan satu sisi masalah seperti saudara kita mahasiswa tadi; hikmah, alias konteks yang mengikat makna. Sementara Diin ini, agama Alloh ini, adalah ‘illat sekaligus hikmah. Ada norma, ada makna. ‘Illat menjadi lebih bermakna dengan hikmah, sedangkan hikmah bernilai karena ‘illat. Yang satu sempurna oleh yang lain.

***

Untuk lebih memahami apa perbedaan antara ‘illat dan hikmah, kita persilakan Syaikh Muhammad Abu Zahroh dalam kitab Ushul Fiqh menjelaskannya. “Hikmah ialah,” tulis beliau, “Manfaat yang tampak ketika Alloh memerintahkan sesuatu, atau terhindarnya kerusakan ketika Ia melarangnya.” Jadi, hikmah berkaitan dengan aspek kemanfaatan yang dikaruniakan oleh Alloh pada manusia di balik perintah dan larangan-Nya. Sifatnya pragmatis, memang. Dan ilmu pengetahuan serta teknologi sungguh telah banyak membantu kita menyingkap berbagai hikmah yang ada dalam syari’at-Nya.

“Sedangkan yang dimaksud dengan ‘illat,” lanjut Syaikh Muhammad Abu Zahroh, “Adalah sifat zhohir yang tepat (mundhobith) berkenaan dengan hukum itu sendiri. Nash-nash hukum, demikian jumhur ‘ulama berpendapat, pasti memiliki ‘illat. Nah, sumber hukum asal dalam suatu nash (teks) al-Qur’an ataupun hadits adalah ‘illat hukum itu sendiri sampai adanya petunjuk dalil yang menentukan lain.” Ringkasnya, ‘illat adalah alasan, sedangkan hikmah adalah dampak. Masya Alloh, beliau menjelaskan dengan jernih dan gamblang.

Jadi, bisa kita fahami bahwa, haramnya daging babi adalah karena Alloh menyatakan demikian. Hikmahnya, mungkin karena babi adalah vektor penyebaran berbagai penyakit, dan dalam dagingnya terkandung berbagai bakteri, cacing pita, dan parasit lainnya. Nah, seperti disampaikan di awal, hilangnya hikmah tidak meniadakan hukum. Jikapun suatu saat ditemukan suatu cara pengolahan yang mampu membinasakan semua potensi negatif yang terkandung dalam daging babi, hukum daging babi takkan pernah berubah. Mengapa? Karena bahkan sampai kiamat pun, takkan ada perubahan sedikit pun dalam ayat Alloh yang mengharamkannya.

Juga tentang zina, misalnya. Mengapa zina —bahkan sekedar mendekatinya— dilarang? Apakah karena zina mengakibatkan berbagai macam kerusakan; kerusakan sosial, pranata keluarga, serta menyuburjebahkan berbagai penyakit menular seksual semacam sipilis, gonorrhoe, dan —yang paling ditakuti— AIDS? Bukan. Kerusakan maupun penyakit-penyakit itu adalah hikmah diharamkannya zina. Sekedar hikmah. Bukan ‘illat. Zina tak diperkenankan karena adanya ayat ini.

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isroo’ [17]: 32)

Nah, betapapun harus kita syukuri bahwa Alloh meletakkan suatu hikmah yang sangat kuat berkenaan dengan larangan zina ini. Manusia masih sangat takut akan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual yang lain. Sayang, pemahamannya kemudian alih-alih ‘Bagaimana menjauhi zina?’, melainkan ‘Bagaimana mencegah penularan PMS?’. Menyedihkannya, di negara kita tersayang yang banyak hutang ini, logika itu mengalami reduksi. Yakni disederhanakan lagi menjadi ‘Pakailah kondom!’ Dan pemerintah pun tak kalah memasygulkan dengan programnya ‘ATM Kondom’.

Mengapa saya katakan bahwa di Indonesia logika pencegahan PMS mengalami reduksi? Karena bahkan di AS dan Eropa pun, logika itu masih teterjemahkan menjadi ABC. ABC adalah Abstinence, Be Faithful, and Condom. Tiga hal ini bermakna berpantang seks, setia kepada pasangan, dan menggunakan kondom. Masih mending bukan? Minimal, secara konsep, prioritas pertama mereka mencegah penularan PMS adalah adalah tidak berzina. “Safe sex? No sex!,” kata para pejuangnya.

Oh ya, izinkan saya menyebut mereka pejuang. Karena aktivitas mereka kini telah menjadi sebuah gerakan. Gerakan Abstinence, sebutlah begitu. Harian Republika secara sekilas pernah melaporkan tentangnya.

Para gadis Amerika kini keranjingan tren baru untuk bergabung dalam gerakan Abstinence. Mungkin para penggagasnya mengerti konsep pemasaran ala Oreo: diputer, dijilat, terus dicelupin. Pasarkan produk Anda dengan ritual, kata Hermawan Kartajaya. Ritual adalah pengikat yang paling kuat antara produk dengan konsumen. Itulah yang terjadi pada Oreo. Dan itulah yang terjadi pada gerakan Abstinence. Mereka punya ritual. Dimulai dari berdansa dengan ayah dan alunan musik romantis, lalu mengucapkan sumpah dalam remang cahaya lilin untuk tak melakukan hubungan seks kecuali dengan suami mereka kelak.

Para pejuangku yang sedang meniti jalan cinta. Lihatlah bahwa dunia berubah. Sebagian dunia yang dulu menjadi kiblat bebas nilai, kini semakin menghargai nilai. Dan mereka mendapat pelajaran karena pengalaman pribadi. Barat sudah mulai merasakan getirnya seks bebas yang didengung-dengungkan sebagai kemajuan 50 tahun lalu. Swedia, pelopor seks bebas dari Eropa itu kini berbenah untuk membantu karakter masyarakatnya, karakter yang penuh nilai kemanusiaan universal. Dan dengan masyarakat berkarakter itu, pendapatan per kapitanya kini mencatatkan nilai tertinggi di dunia.

Ketika dunia berubah, di jalan cinta para pejuang kita harus semakin berbenah.

Ah-Bay-Say
Oh iya, saya masih punya cerita tentang ABC. Sembari mengantar ke bahasan berikut, saya akan bercerita tentang ABC lagi. Tetapi yang ini berbeda. Saya mengambilnya dari salah satu bagian yang paling saya suka dalam novel Les Miserables karya Victor Hugo, master Romantisme Perancis itu. Bagian itu bertajuk Kawan-kawan ABC.

Ini kisah tentang sebuah klub pejuang muda menjelang revolusi yang gagal, 1830. ABC, yang dalam bahasa Perancis dilafalkan ah-bay-say, tepat mirip dengan kata abaissé, artinya ‘yang direndahkan’. Kata itu adalah tentang rakyat, pelanduk di tengah gajah dalam berbagai pergolakan di Perancis selama setengah abad sejak penyerbuan ke Bastille. Mereka terus berkorban dan terkorbankan. Kawan-kawan ABC, para pemuda yang penuh idealisme itu hendak berjuang untuk mengangkat harkat abaissé.

Di kelompok ini ada Enjolras, sang pemimpin. Ia pemuda yang memesona, tampan, dan suci bak malaikat. Tapi di ekstrim lain Enjolras liar, garang dengan kilauan di matanya yang penuh pemikiran. Lisannya yang meyakinkan bertabur detail pemahaman tentang revolusi dan semua peristiwa pentingnya, seolah dialah satu-satunya saksi mata.
Di samping Enjolras yang mewakili logika revolusi, ada seorang filosof revolusi. Combeferre menaungi julangan-julangan gunung idealisme dengan langit biru kebijaksanaan. Bagi Enjolras, revolusi adalah perang. Bagi Combeferre, perdamaian dan peradaban. Ia melengkapi dan meluruskan Enjolras. Ia rendah hati dan lebih berpengetahuan. Combeferre adalah sang pembimbing.

Orang ketiga, Jean Prouvaire menanami pot dengan bebungaan, bermain flute, menciptakan syair, mengungkapkan cinta pada semua orang, meratapi nasib para wanita, menangis bak anak kecil, serta membaurkan Tuhan dan masa depan dengan keyakinan yang sama. Kata-katanya lembut, wajahnya tersipu tanpa sebab, kepala dan pandangannya menunduk sangat pemalu. Tetapi ia juga pemberani. Sepanjang hari ia merenungkan masalah-masalah sosial; upah, modal, kredit, pernikahan, keyakinan, kebebasan, pendidikan, hukum, penderitaan, perhimpunan, produksi, dan distribusi. Lalu di malam hari ia memandangi bintang-bintang, menghitung yang tak terbilang.

Begitulah. Sebenarnya, masih ada beberapa sosok lagi dengan karakter-karakter uniknya masing-masing. Tetapi bercerita lebih panjang belum tentu bermanfaat. Yang jelas, satu hal menyatukan para pemuda tampan ini: kepedulian pada nasib orang banyak. Mereka mencurahkan segenap dirinya untuk cita-cita besar perubahan bagi yang tertindas. Nah, pria-pria muda ini adalah contoh gejala awal dari apa yang ingin saya bicarakan berikutnya tentang dunia kita yang berubah. Pernah dengar tentang pria metroseksual? Setelah beberapa saat para pria gandrung berdandan karena tren metroseksual, kini mereka harus segera menyambut tren baru yang berciri besar kepedulian kepada nasib dunia: Uberseksual!

Dunia berubah. Dan di jalan cinta para pejuang, kita harus semakin berbenah…

Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar