Rahmah El-Yunusiyah seorang mujahidah. Dia aktif di pergerakan nasional,
sebelum dan setelah kemerdekaan. Mulai di zaman penjajahan, dia aktif memajukan
pendidikan terutama untuk meningkatkan derajat kaum wanita yang sesuai dengan
tuntunan Islam. Muridnya banyak yang sukses dan model sekolahnya diadopsi
Al-Azhar Mesir.
Tak Pernah Diam
Rahmah El-Yunusiyah lahir pada 20 Desember 1900 di Padang Panjang,
Sumatera Barat. Dia berasal dari keluarga terpelajar dan religius. Ayah Rahmah,
Muhammad Yunus bin Imanuddin, adalah seorang hakim agama dan ahli Ilmu Falak.
Kakeknya adalah seorang ulama.
Rahmah belajar formal tak lama, hanya tiga tahun. Saat berusia 15 tahun
dia belajar bahasa Arab dan pelajaran lainnya di Diniyyah School dan dari kedua kakaknya, Zaenuddin Labai dan
Muhammad Rasyid.
Di usia remaja itu, di sore hari dia rutin mengaji kepada Haji Abdul
Karim Amrullah (ayah HAMKA) di surau Jembatan Besi, Padang Panjang. Dia belajar
berbagai hal seperti bahasa Arab, fikih, ushul fikih, dan kedudukan wanita.
Dia pun belajar ke sejumlah ulama terkemuka lainnya seperti Tuanku Muda
Abdul Hamid Hakim (pimpinan Sekolah Thawalib Padang Panjang), Syaikh Muhammad
Jamil Jambek, Syaikh Abdul Latif Rasjidi, dan Syaikh Daud Rasjidi.
Tak hanya ilmu agama, Rahmah juga mempelajari sejumlah ilmu atau
keterampilan. Dia pernah belajar kebidanan, olahraga (termasuk senam), cara
bertenun tradisional, dan jahit-menjahit.
Seluruh ilmu dan pengalaman Rahmah turut memengaruhi metode pendidikan di
Diniyyah Puteri School, sekolah yang
didirikannya pada 1 November 1923. Sekolah khusus perempuan itu berdiri antara
lain berkat dukungan Zaenuddin Labai -sang kakak- dan teman-teman perempuannya
di Persatuan Murid-murid Diniyyah School
(PMDS).
Rahmah mendirikan Diniyyah Puteri
School karena gelisah melihat perempuan di daerahnya belum mendapatkan
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Bagi Rahmah, pendidikan untuk
perempuan harus bisa menjadi media agar mereka bisa berperan dengan baik di
keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat.
Di saat awal, muridnya berjumlah 71 orang dan terdiri dari ibu-ibu muda.
Pelajaran yang disampaikan adalah ilmu agama dan tata bahasa Arab. Belakangan,
sekolah itu menerapkan penggabungan pendidikan agama, pelajaran umum, dan
keterampilan. Misal, bertenun dan jahit-menjahit ada juga di kurikulumnya.
Diniyyah Puteri School,
berdiri sejak 1923, eksis hingga sekarang
|
“Diniyyah Puteri School ini
selalu akan mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada
perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam
dengan secukupnya dibanding kaum lelaki... Inilah yang menyebabkan terjauhnya
perempuan Islam dari penerangan agamanya sehingga menjadikan kaum perempuan itu
rendam karam ke dalam kejahilan,”
kata Rahmah (Mantovani, thisisgender.com: diakses 05/02/2015).
Tampaknya, pendirian Diniyyah
Puteri School sesuai dengan cita-cita Rahmah. Bahwa, wanita Indonesia harus
memiliki kesempatan penuh untuk menuntut ilmu yang sesuai dengan kodratnya
sehingga bisa diamalkan sehari-hari. Maka, tujuan pendidikan yang dirumuskan
Rahmah adalah agar wanita sanggup menjadi ibu dan pendidik yang cakap, aktif,
dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa.
Rahmah adalah pelopor bagi pendidikan Muslimah di Indonesia (dan bukan
tak mungkin di dunia). Langkahnya sangat maju karena tak hanya memberikan
pelajaran agama maupun umum, tetapi juga mengajarkan berbagai keterampilan yang
diperlukan oleh Muslimah sebagai ibu yang mandiri.
Pada 1926, gempa hebat melanda Sumatera Barat. Sekolah yang baru
dirintis Rahmah hancur. Tapi, Rahmah tegar dan langsung bangkit. Dengan bahan
bambu, tegak lagi bangunan dua lantai berukuran 12x7 m2.
Usaha di atas dirasa belum cukup. Maka, bersama pamannya dia jelajahi
Sumatera ULara, Aceh, dan menyeberangi Selat Malaka menuju Malaysia untuk mengumpulkan
dana. Upaya itu berbuah, terkumpul sekitar 1569 gulden.
Sekolah Rahmah terus berkembang. Pada 1955, Rektor Universitas Al-Azhar
Kairo, Syaikh Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah
Puteri School. Dia tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang ada di
sekolah tersebut. Tak lama setelah itu, Al-Azhar lalu membuka pendidikan khusus
perempuan bernama Kulliyyat al-Banat
yang memang belum dimilikinya.
Mengapresiasi perjuangan Rahmah, pada 1957 Al-Azhar menganugerahinya
gelar Syaikhah (Guru Besar Wanita).
Gelar ini istimewa karena hanya diberikan kepada orang-orang yang memiliki
keahlian dalam bidang tertentu dan menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Sekadar menyebut contoh, dua di antara banyak anak didiknya yang
berhasil adalah Aisyah Aminy dan Aisyah Gani. Aisyah Aminy adalah politikus
dari salah satu partai Islam di Indonesia dan sangat terkenal di zamannya.
Sementara, Aisyah Gani pernah menjabat sebagai Menteri Kebajikan Masyarakat di
Malaysia.
Rahmah tak hanya berkonsentrasi di aspek pendidikan. Di kancah politik
(baca: pergerakan nasional), dia aktif menentang penjajah Belanda atau Jepang.
Dia dan teman-temannya pernah menentang pengerahan perempuan Indonesia,
terutama di Sumatera Tengah, yang diperlakukan sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang.
Pada 12 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya TKR (Tentara
Keamanan Rakyat). Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR
yang rata-rata anggotanya berasal dari Laskar Rakyat dan berusia muda. Rahmah
juga mengayomi barisan pejuang lainnya seperti Laskar Sabilillah dan Laskar
Hizbullah.
Rahmah pernah dipenjarakan Belanda dan baru dibebaskan pada 1949 setelah
pengakuan kedaulatan Indonesia. Pada 1952-1954, Rahmah menjadi anggota Pimpinan
Pusat Masyumi dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
untuk periode tahun 1955-1958. Dia pernah menentang Soekarno saat Sang Presiden
dekat dengan Komunis.
Menanti “Rahmah”
Rahmah telah berjuang di bidang pendidikan. Rahmah telah berperan dalam
usaha merebut dan mengisi kemerdekaan. Setelah Rahmah El-Yunusiyah wafat pada
26 Februari 1969, maka kehadiran “Rahmah”-”Rahmah” berikutnya sangat ditunggu
umat.[]
Kredit: 50 Pendakwah Pengubah Sejarah; M. Anwar Djaelani; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar