Senin, 02 Januari 2017

Lelaki Warna-warni

Dia sangat bersih, wajahnya berseri-seri, bagus perawakannya, tidak merasa berat karena gemuk, tidak bisa dicela karena kepalanya kecil, elok, dan tampan, di matanya ada warna hitam, bulu matanya panjang, lehernya jenjang, matanya jelita, memakai celak mata, alisnya tipis, memanjang dan bersambung, rambutnya hitam, jika diam dia tampak berwibawa, jika berbicara dia tampak menarik, dia adalah orang yang paling elok dan menawan jika dilihat dari kejauhan, tampan dan manis setelah mendekat…

-Ummu Ma’bad al-Khuza’iyyah, tentang Rosululloh-

SAYA penasaran, adakah di antara Anda yang pernah ditengarai para sahabat Anda sendiri sebagai ‘ikhwan pesolek’? Berpenampilan menarik, mungkin. Dan apa salahnya, karena Sang Nabi pun berpenampilan sangat menarik? Tapi adakah yang seekstrim deskripsi ini: seorang pria dengan tas kerja Alfred Dunhill di tangan, memasuki sebuah salon kecantikan. Sekitar satu jam berselang, keluarlah dia setelah mendapat layanan creambath, facial, manicure, dan pedicure. Pria itu tampak lebih segar di balik Kenzo dan Hugo Boss yang membungkus tubuhnya. Aroma mewah parfum Bvlgari merebak dari tubuhnya.

Seperti Anda, saya juga berpikir, “Wah, ini sih keterlaluan”. Tapi beberapa waktu lalu tren ini mendunia. “Mark Simpson di pertengahan dekade 90-an lah,” tulis Michael Flocker dalam buku The Metrosexual Guide to Style, “Yang membuat istilah untuk tren pria yang revolusioner ini; metroseksual. Saya katakan revolusioner karena beberapa tahun sebelumnya perawatan kulit, perawatan kuku serta rambut, dan narsisme serta perhatian terhadap mode busana pada pria identik dengan homoseksualitas.”

Kode Maskulin yang Berubah
Persolekan dan homoseksualitas, sedekat apa hubungannya sebelum itu? Wallohu a’lam. Sementara mufassir berpendapat, kemakmuran kaum Luth memang telah menggiring mereka menjadi bangsa pesolek. Di saat itulah penduduk kota Sodom dan Gomorah mengalami gangguan perkaguman. Apa itu? Karena seringnya berdandan, para lelaki jadi mengagumi ketampanan. Dan dari sanalah bencana keji itu dimulai.

Lepas dari pendapat Michael Flocker yang menyatakan bahwa tren metroseksual ini revolusioner karena mengubah pandangan umum dengan menggemakan ‘yang berdandan itu tak selalu gay’, saya melihat ada sebuah gejala bahwa masyarakat dunia semakin longgar terhadap ketabuan perbuatan kaum Luth ini. Ini tentu keprihatinan. Dan setiap hal yang kita prihatinkan agaknya selalu membola salju ketika berada ditangan kepentingan bisnis para pemilik modal. Dari sinilah kode maskulin berubah —atau diubah. Mungkin memang bukan untuk kepentingan kaum Luth, tapi dekat-dekat lah.

Tren metroseksual ini digulirkan membersamai kepentingan para pebisnis gaya hidup sejak beberapa tahun lalu. Seperti kejadian suatu hari dalam tahun 2003, di Tokyo Beauty Center. Publik berebut memelototi seorang lelaki yang duduk di bawah poster Gone with The Wind. Sang isteri duduk di sebelahnya. Mereka berbicara dan tersenyum di depan kamera yang menyorot. Mereka sedang menjajakan sebuah produk perawatan wajah. Dan orang beramai-ramai antre untuk membeli produk tersebut karena pria yang duduk sambil tersenyum itu adalah David Beckham.

Sekitar 2,5 juta USD Beckham dibayar untuk ngobrol dan tersenyum kali itu. Mungkin membuat geleng-geleng kepala. Tetapi Beckham adalah ikon metroseksual dunia. Ia digandrungi bukan hanya karena umpan-umpan akurat dan tendangan bebasnya yang mencekat. Ia adalah trendsetter gaya rambut dan perawatan kulit. Parfumnya, pakaian yang dikenakan, hingga mobil yang dipakainya ke mana-mana menjadi mode. Sang isteri, Victoria ‘Posh Spice’, pernah membuat pengakuan, “Saya hanya perlu setengah jam untuk bersiap ke luar rumah. Dia? Setidaknya dua jam untuk dandan!”

Memilih Beckham sebagai ikon adalah cerdik. Inilah yang membalikkan semua citra negatif pria berdandan. Beckham bukan gay, bukan homoseks. Dia seorang suami dan ayah yang dalam ukuran budayanya ‘baik’ dan ‘bertanggungjawab’. Beckham juga tidak kemayu. Ia pemain sepakbola, permainan yang selama ini lekat dengan maskulinitas. Sangat lelaki. Dan Beckham seolah menjadi simbol profesionalisme kerja. Di lapangan dia memberi umpan manis untuk para striker. Di luar lapangan, Manchester United dan Real Madrid pernah merasakan manisnya jadi klub terkaya sejagad karena Beckham.

Lengkap sudah citra Beckham untuk mendongkrak metroseksualitas: lelaki sejati, ayah dan suami yang ‘baik’, maskulin, serta profesional. “Beckham”, kata Dr. Andre Parker, sosiolog dari University of Warwick, “Telah menghancurkan dan menyusun ulang kode maskulin.” Maka tren ini pun segera menjadi sebuah wabah bagi para profesional muda di kota-kota.

Hasil riset Euro RSCG pada paruh kedua tahun 2004 yang mencoba memantau perilaku pria di Inggris dan Amerika untuk penampilan fisik mereka, menunjukkan 89 persen responden mengaku bahwa merias dan mempercantik penampilan diri adalah hal penting bagi mereka. Saat digali lebih dalam konteksnya terletak pada semakin banyaknya wanita yang memasuki dunia kerja. Munculnya para wanita yang bekerja membuat para pria merasa harus tampil seimbang dengan para wanita yang secara alami cantik, rapi, dan terawat. Ini persaingan antar gender, Bung!

Lingkaran setannya: ketika para wanita mulai memberi perhatian dan merasa ‘Wow!’ terhadap pria-pria jenis ini, semakin banyaklah pria yang berlomba menjadi metroseks hingga tak canggung ke luar masuk salon. Benar-benar wabah. Prosesnya persis seperti kaidah epidemi Malcolm Gladwell.

Pria Masa Depan
Untuk Anda yang tiba-tiba bersemangat menjadi pria metroseksual, saya akan memberi sebuah kabar yang tak terlalu menggemberikana. Tren ini, insya Alloh segera berakhir. Karena didasari motif tertentu yang cepat terkuak oleh sasaran maka keruntuhan tren metroseksual sangat bergegas.

Marian Salzman, kepala riset di Euro RSCG bersama Ira Matathia dan Ann O’Relly di paruh akhir tahun 2005 merilis buku barunya, The Future of Men. Siapakah pria masa depan menurut riset Salzman dan kawan-kawan? Uberseksual!

Mungkin ada di antara kita yang masih terngiang kata-kata “Deutsche uber Alles! Bangsa Jerman di atas segala bangsa!” dalam pidato Hitler. Istilah uber diambil dari situ, kosakata Jerman yang berarti ‘di atas’ atau ‘superior’. Konsep uberseksual menekankan keunggulan kualitatif. “Pria uberseksual,” kata Salzman, “Adalah pria yang menggunakan aspek positif maskulinitas, seperti kepercayaan diri, kepemimpinan, dan kepedulian terhadap orang lain dalam kehidupannya. Pria uberseksual sangat peduli pada nilai dan prinsip hidup. Pria jenis ini lebih memilih untuk memperkaya ilmu dan wawasannya di sela-sela waktu kosong yang ia miliki.”

Jika pria metroseksual menjadikan Beckham sebagai model, dalam kategori uberseksual masuklah nama Barrack Hussein Obama dan Sir Paul Hewson alias Bono, vokalis U2. Bono menghabiskan waktunya untuk kegiatan memerangi kemiskinan dan kelaparan di Afrika. Meski memiliki jadwal tur yang padat bersama U2, Bono tidak lupa mengampanyekan perdamaian dunia. Seperti Obama, ia gigih menyuarakan anti-perang Irak. Ia juga menjadi salah seorang yang berada di balik gerakan penghapusan hutang negara-negara miskin. Semua aktivitas ini membuatnya beberapa kali masuk daftar nominasi penerima Nobel Perdamaian.

Terlepas apatah motif Bono, ataupun semua pria uberseksual yang lain, sekali lagi dunia sedang berubah. Dunia, kata Marian Salzman, jauh lebih berharap kepada pria-pria yang menghabiskan waktunya untuk membaca buku, mengikuti berbagai pelatihan, mencermati perkembangan mutakhir, dan menganalisis berbagai peristiwa daripada mereka yang sibuk ke salon, menata rambut, mempermak wajah, dan memadupadankan sesorisnya. Dunia berharap pada pria masa depan, pria yang memiliki perhatian besar pada lingkungannya, nasib masyarakatnya, dan kemajuan dunia tinimbang mereka yang begitu perhatian pada berapa kalori yang diserapnya tiap hari dan menginvestasikan uang untuk mempercantik kulit.

Tapi sekedar catatan, pria uberseksual bukannya tidak menarik secara penampilan. Mereka menarik, dan uniknya semua itu alami. Sepertinya pakai baju apapun mereka pantas. Tampi di manapun mereka elegan. Ketika berbicara semua orang ingin mendengarkan. Ketika dia diam, semua menunggu komentarnya.

Apa rahasianya? Wallohu a’lam. Mungkin karena mereka meletakkan harga dirinya bukan pada penampilannya itu, tetapi di otak yang cerdas, ide-ide cemerlang, antusiasme, dan kepedulian yang tinggi. Secara psikologis, pria metroseksual adalah gelas kosong yang dipoles, sedang pria uberseksual adalah gelas yang penuh minuman manis. Maka akan tampak gejala kecil perbedaan ini: para pria metroseksual selalu mencoba menarik perhatian para wanita. Mungkin mereka penghayat setia lagu Samsons, Naluri Lelaki. Sebaliknya, para pria uberseksual sangat menghormati wanita, tepi hebatnya, mereka lebih memilih pria sebagai sahabat-sahabatnya. Intinya, metroseksual setia pada dirinya, sementara uberseksual setia pada prinsipnya.

***

Nah, dunia berubah. Manusia berubah. Dan para pejuang harus berbenah. Kelak, yang kita hadapi dalam perjuangan menegakkan agama ini mungkin bukan para metroseksual yang takut kulitnya legam. Tapi mereka yang begitu teguh memegang prinsipnya namun belum mengenal bagaimana mentauhidkan Alloh ‘Azza wa Jalla. Yang akan kita hadapi bukan para pria cengeng yang menangisi kuku tergores, tapi mereka yang kukuh karakternya meski tak dibesarkan dalam nilai-nilai Islam.

Sejak awal, di jalan cinta para pejuang kita punya teladan yang lebih agung daripada para pria uberseksual manapun. Itulah Rosululloh yang penampilan menariknya kita sebut di awal pembicaraan. Penampilan beliau yang menarik bukanlah ide utama, yang jauh lebih menarik adalah bahwa beliau imam di jalan cinta para pejuang yang penuh prinsip. Insya Alloh, kita diskusikan itu di perbincangan kita selanjutnya. Juga, kita punya gank muda yang lebih dahsyat dari Enjolras, Combeferre dan semua kawan-kawan ABC di bagian lalu. Mereka adalah para pemuda Kahfi.

“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) kisah ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi [18]: 13)

Tetapi, pertanyaannya kemudian seperti senandung nasyid ‘Izzatul Islam, “Di mana di cari pemuda Kahfi, terasing demi kebenaran hakiki…” Pada tanya ini, alangkah inginnya saya menjawab, “Mereka di sini! Di jalan cinta para pejuang!”


Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar