Senin, 02 Januari 2017

Amor Vincit Omnia

“Wahai kematian, datanglah cepat kemari! Hisap dan dekap tubuhku yang penuh cinta ini, karena tidak ada sesuatu di hadapan matahari yang mampu memulihkan kesedihanku…”

(William Shakespeare, Romeo Juliet)

CINTA adalah luh yang mengalir, berderai, jerih, dan badai. Setidaknya begitulah bagi Romeo dan Juliet. Cinta adalah gulana ketika menyadari dua keluarga mereka masih senantiasa bertikai bertingkah. Cinta adalah duka yang mengiris pedih di saat-saat berpisah. Rindu mereka menguruskan tubuh dan menguras air mata. Hingga tibalah klimaks, Romeo meneggak racun di hadapan jasad Juliet yang pura-pura mati. Dan begitu siuman, Juliet segera mencium mesra bibir Romeo yang berlepot racun. “Kepak sayap mereka yang lembut,” tutur Shakespeare menutup kisah, “Adalah kepak sayap cinta.”

Amor vincit omnia. Love conquers all. Cinta akan menaklukkan segalanya. Biasanya kalimat ini syahdu mengalun dari mereka yang merasa cintanya menabrak karang. Di sini, cinta menjadi sang penakluk. Yang ditaklukkan bukan hanya gunung untuk didaki, atau lautan untuk diseberangi. Lebih dari itu, seringkali jiwalah yang takluk, seperti ajaran Kahlil Gibran:

Bila cinta memanggilmu,
ikutlah dengannya meski jalan yang kalian tempuh terjal dan berliku
Dan bila sayap-sayapnya merengkuhmu,
pasrah dan menyerahlah meski pedang yang tersembunyi di balik sayap itu akan melukaimu.

Ketika jiwa takluk, maka semua anggota tubuh menarikan kecengengan dalam iringan musik melankolik. Mungkin gunung terdaki, mungkin lautan terseberangi. Tapi jiwa manusia lain yang lebih perkasa akan sulit dihadapi oleh jiwa yang telah takluk pada cinta. Jiwa Romeo telah kekanak-kanakan. Maka ia tampak tolol di hadapan Count Paris, rivalnya. Maka ia tak berdaya di hadapan Tuan besar Capulet. Maka ia mengecewakan Pastor Lorenzo dengan keputusasaannya. Akhir dari jiwa yang takluk oleh cinta tak jauh dari kata-kata Ti Pat Kai, si babi gendut dalam kisah Kera Sakti. Katanya, “Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir.”

Gangguan jiwa ala Qois dan Romeo, dari manakah datangnya? “Menurut pandangan Psikologi,” demikian ditorehkan ustadz Mohammad Fauzil ‘Adhim dalam Disebabkan Oleh Cinta, “Gangguan jiwa tidak datang secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari proses hidup yang panjang.” Apa yang kita lihat sebagai penyebab biasanya hanya merupakan peristiwa pemicu. Jadi, tidak ada sebenarnya orang yang gila karena putus cinta. Yang ada adalah orang dengan keadaan jiwa yang rapuh, jiwa yang retak-retak, lalu sebuah peristiwa menyentak, menjadikannya berkeping-keping. Pada Qois dan Romeo, inilah jiwa yang rapuh itu; jiwa yang takluk kepada cinta.

Jiwa yang takluk oleh cinta awalnya menjadikan cinta sebagai asas bagi semua tindakan. Setelah melewati batas tertentu ia akan menjadi penyembah cinta. Mereka menjadikan cinta sebagai tuhan, sebagai Robb sekaligus Ilah. “Bagi mereka,” tulis Nizami Ganjavi menggambarkan kisah cinta Qois dan Layla, “Matahari seakan diciptakan karena cinta, rembulan juga bercahaya karena cinta. Dan bila tak ada cinta, rembulan juga bercahaya karena cinta. Dan bila tak ada cinta maka mustahil air laut mencapai pantai…” Dalam film Kiamat Sudah Dekat, Dedy Mizwar dengan kalimat cerdik ‘bersabda’ pada para pendewa cinta, “Cinta itu kan berhala yang Lu sembah-sembah!”

Setitik Nila Di Laut Madu
Amor vincit omnia… Cinta menaklukkan segalanya. Kalimat ini banyak sekali merasuk ke dalam literatur dan karya sastra dunia muslim, baik sebagai kalimat telanjang ataupun pemahaman yang samar menelusup. Sampai-sampai imam rujukan kita, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dalam Roudhotul Muhibbin-nya juga menorehkan kalimat yang banyak dikutip, “Andaikata orang yang jatuh cinta itu boleh memilih. Ia pasti akan memilih untuk selamanya tak jatuh cinta.”

“Setiap orang bisa diterima atau ditolak kata-katanya,” seru Imam Malik di Roudhoh masjid Nabawi, “Kecuali orang yang berada dalam kubur ini!” Beliau menunjuk ke arah makam Rosululloh, shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ya, Imam Malik benar. Dan dalam hal ini, menurut saya apa yang dicantumkan Ibnul Qoyyim kurang pas dengan jalan cinta para pejuang. Kalimat yang bernada menyerah pada cinta ini adalah setitik nila di laut madu karya agung Ibnul Qoyyim.

Meski begitu, bagi yang tetap meyakininya sebagai kebesaran, saya tetap mempersilakan. Sungguhlah izinkan saya kali ini bicara dalam konteks jalan cinta para pejuang. Sesungguhnya Alloh mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk memilih dalam kehidupan ini. Alloh mengilhamkan kepada jiwa jalan taqwa dan jalan durhakanya. Tak terkecuali dalam cinta. Selalu ada ruang di antara rangsangan dan tanggapan. Dan di sanalah terletak pilihan-pilihan.

“Maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa itu jalan durhaka dan jalan ketaqwaan.” (QS. Asy-Syams [91]: 8)

Karunia pilihan itu adalah bekal teragung manusia untuk menjadi makhluk yang dibebani amanah oleh Alloh di muka bumi ini. Manusia punya kehendak. Maka barangsiapa hendak beriman, silakan ia beriman. Dan barangsiapa ingin kafir, silakan ia kufur. Alangkah dahsyatnya pilihan-pilihan itu! Maka Alloh pun memuji dan menjanji keindahan bagi mereka yang berhasil memilih.

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Robbnya dan mencegah diri dari kuasa hawa nafsunya maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naazi’aat [79]: 40-41)

Ayat ini menunjukkan, wallohu a’lam, para penakluk hawa nafsulah yang Alloh janjikan kemuliaan surga. Hawa nafsu. Adakah hubungannya dengan cinta? Tentu dekat sekali. Kata asy-syahawat (syahwat-syahwat) disandinglekatkan dengan kata Hubb (cinta) dalam surat Ali ‘Imron ayat 14. Dalam cinta ada dorongan-dorongan untuk menikmati keindahan, rasa nikmat, kesenangan, dan rasa bahagia. Atau, karena “Love is a sweet torment; cinta adalah siksaan yang manis”, seperti kata Maria dalam novel Ayat-ayat Cinta, maka dalam cinta ada saat menikmati kesengsaraan, galau, dan kesedihan. Pada umumnya kesemua itu, baik bahagia maupun duka, kita sebut emosi. Dan dalam perspektif Qur’ani, kita selayaknya menaklukkan emosi, menaklukkan hawa nafsu. Bisakah kita?

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Robbnya dan mencegah diri dari kuasa hawa nafsu maka surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naazi’aat [79]: 40-41)

Wajah dan Hati Saling Berbagi
Sebelum kita telisik bagaimana menaklukkan hawa nafsu di jalan cinta, ada hal menarik yang patut dilirik. Selama ini, kita menganggap wajah sebagai jendela emosi. Mula-mula ada gejolak emosi dalam jiwa kita, kemudian kita boleh, —atau tidak perlu mengungkapkan emosi itu melalui wajah kita. Ternyata proses itu juga bisa bekerja dengan arah berlawanan. Artinya, emosi juga bisa dimulai dari wajah. Jadi, kita bukan hanya tersenyum karena bahagia, melainkan juga bisa berbahagia karena tersenyum. Wajah bukan hanya sebuah monitor penampilan yang men-display perasaan dari CPU hati. Wajah adalah mitra yang sejajar dalam suatu proses emosi.

Malcolm Gladwell dalam karya best seller-nya, Blink!, menyajikan beberapa riset Psikologi untuk mendukung pernyataan-pernyataan ini. Awal-awal, adalah Paul Ekman dan Wallace Friesen yang berhasil menyusun taksonomi untuk mimik wajah. Dengan terus berkonsultasi pada para pakar anatomi wajah, mereka memadupadankan 43 gerakan otot berbeda yang bisa dibuat oleh wajah. Mereka menyebutnya ‘satuan aksi’. Sebagai contoh, satuan aksi empat adalah merendahkan alis, menggunakan otot-otot depressor glabellae, depressor supercilii, dan corrugator-nya. Sedangkan satuan aksi lima adalah mengerutkan hidung menggunakan otot-otot levator labii superioris alaequenasi-nya. Saya kira contohnya dua saja. Karena saya tak pernah mendapat matakuliah anatomi, nanti kalimat saya malah membingungkan, hehe…

Harap tahu, selama tujuh tahun mereka berlatih, mencoba, dan terus mencoba semua satuan aksi dan berhasil melapiskan satu di atas yang lain hingga tercipta kombinasi dari gerak lima otot yang jumlahnya lebih dari sepuluh ribu! Masya Alloh, sebuah penghargaan harus kita terakan untuk kegigihan mereka. Bagaimana pun, mereka memilah kombinasi gerakan yang memiliki makna, dan menuangkannya dalam dokumen rinci FACS (Facial Action Coding System) yang setebal 500 halaman. Hanya 500 orang di seluruh dunia yang berhasil mendapatkan lisensi untuk menggunakannya dalam penelitian. Sebagai tambahan informasi untuk para penikmat animasi, Toy Story dan Shrek juga dibuat menggunakan FACS.

Oh iya, Ekman dan Friesen dibantu oleh Robert Levenson mengumpulkan sejumlah relawan yang dibagi dalam dua kelompok. Separuh diminta untuk mencoba mengingat dan menghidupkan kembali sebuah pengalaman yang bagi masing-masing sangat berat. Separuh yang lain diminta hanya untuk memeragakan mimik wajah dalam FACS yang sesuai dengan emosi-emosi menyusahkan semacam marah, sedih, dan takut. Mereka semua dihubungkan dengan sensor pengukur laju denyut jantung dan temperatur tubuh. Gejala-gejala fa’ali yang diamati ini telah dikenal sebagai indikator emosi berat seperti marah, sedih, dan takut dalam fisiologi.

Hasilnya? Tertampil dalam monitor, kedua kelompok mengalami kenaikan laju denyut jantung yang sama dan kenaikan suhu tubuh yang persis. Gejala fisiologi emosi mereka tak berbeda. Yang mengenang pengalaman pahit menjadi sedih. Begitu juga yang sekedar ‘berakting’ sedih dengan otot-otot wajahnya. Mereka memulai dengan ekspresi wajah yang berat, baru kemudian efek fisiologisnya menjalar hingga ke hati.

Beberapa waktu kemudian, beberapa orang Psikolog Jerman mencoba hal senada. Mereka meminta dua kelompok relawan untuk mengamati gambar-gambar kartun. Kelompok pertama harus melakukannya sambil menggigit ballpoint dengan gigi —yang memaksa mereka untuk tersenyum karena harus mengkontraksi otot risorius dan zygomatic major—, dan kelompok kedua menggunakan bibirnya untuk menjepit si ballpoint —yang membuat mereka mustahil tersenyum karena kedua otot itu terkunci—.

Penelitian ini berkesimpulan sama. Yang menggigit ballpoint dengan gigi —sehingga terpaksa tersenyum— jauh lebih merasa bahwa kartun-kartun itu lucu. Mereka memulainya dengan senyum di wajah, lalu emosinya tergerak untuk merasakan kejenakaan. Sementara itu, para relawan yang menjepit ballpoint dengan bibir —sehingga sulit tersenyum— merasa kartun itu biasa saja.

Bagi saya ini adalah sebuah penemuan besar. Ternyata kita bisa menaklukkan emosi kita. Dan kita yang meniti jalan cinta para pejuang, hari ini berjanji kepada Alloh untuk menaklukkan cinta! Di jalan cinta para pejuang, kekata ‘Amor vincit Omnia’ ditanggal sejak awal. Karena cinta tak boleh menaklukkan kita, karena kitalah yag akan menaklukkan cinta.

Di jalan cinta para pejuang, perjuangan pertama adalah sebuah pergulatan jiwa. Pergulatan jiwa untuk menaklukkan cinta itu sendiri…


Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim A. Fillah; Pro-U Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar