“Wahai
kematian, datanglah cepat kemari! Hisap dan dekap tubuhku yang penuh cinta ini,
karena tidak ada sesuatu di hadapan matahari yang mampu memulihkan
kesedihanku…”
(William
Shakespeare, Romeo Juliet)
CINTA adalah luh yang
mengalir, berderai, jerih, dan badai. Setidaknya begitulah bagi Romeo dan
Juliet. Cinta adalah gulana ketika menyadari dua keluarga mereka masih
senantiasa bertikai bertingkah. Cinta adalah duka yang mengiris pedih di
saat-saat berpisah. Rindu mereka menguruskan tubuh dan menguras air mata.
Hingga tibalah klimaks, Romeo meneggak racun di hadapan jasad Juliet yang
pura-pura mati. Dan begitu siuman, Juliet segera mencium mesra bibir Romeo yang
berlepot racun. “Kepak sayap mereka yang lembut,” tutur Shakespeare menutup
kisah, “Adalah kepak sayap cinta.”
Amor vincit omnia. Love conquers all. Cinta akan
menaklukkan segalanya. Biasanya kalimat ini syahdu mengalun dari mereka yang
merasa cintanya menabrak karang. Di sini, cinta menjadi sang penakluk. Yang
ditaklukkan bukan hanya gunung untuk didaki, atau lautan untuk diseberangi.
Lebih dari itu, seringkali jiwalah yang takluk, seperti ajaran Kahlil Gibran:
Bila cinta memanggilmu,
ikutlah dengannya meski jalan yang kalian tempuh
terjal dan berliku
Dan bila sayap-sayapnya merengkuhmu,
pasrah dan menyerahlah meski pedang yang tersembunyi
di balik sayap itu akan melukaimu.
Ketika jiwa takluk,
maka semua anggota tubuh menarikan kecengengan dalam iringan musik melankolik.
Mungkin gunung terdaki, mungkin lautan terseberangi. Tapi jiwa manusia lain
yang lebih perkasa akan sulit dihadapi oleh jiwa yang telah takluk pada cinta.
Jiwa Romeo telah kekanak-kanakan. Maka ia tampak tolol di hadapan Count Paris,
rivalnya. Maka ia tak berdaya di hadapan Tuan besar Capulet. Maka ia mengecewakan
Pastor Lorenzo dengan keputusasaannya. Akhir dari jiwa yang takluk oleh cinta
tak jauh dari kata-kata Ti Pat Kai, si babi gendut dalam kisah Kera Sakti. Katanya, “Dari dulu
beginilah cinta, deritanya tiada akhir.”
Gangguan jiwa ala Qois dan Romeo, dari manakah datangnya? “Menurut
pandangan Psikologi,” demikian ditorehkan ustadz Mohammad Fauzil ‘Adhim dalam Disebabkan Oleh Cinta, “Gangguan jiwa
tidak datang secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari proses hidup yang
panjang.” Apa yang kita lihat sebagai penyebab biasanya hanya merupakan
peristiwa pemicu. Jadi, tidak ada sebenarnya orang yang gila karena putus
cinta. Yang ada adalah orang dengan keadaan jiwa yang rapuh, jiwa yang
retak-retak, lalu sebuah peristiwa menyentak, menjadikannya berkeping-keping.
Pada Qois dan Romeo, inilah jiwa yang rapuh itu; jiwa yang takluk kepada cinta.
Jiwa yang takluk
oleh cinta awalnya menjadikan cinta sebagai asas bagi semua tindakan. Setelah
melewati batas tertentu ia akan menjadi penyembah cinta. Mereka menjadikan cinta
sebagai tuhan, sebagai Robb sekaligus
Ilah. “Bagi mereka,” tulis Nizami
Ganjavi menggambarkan kisah cinta Qois dan Layla, “Matahari seakan diciptakan
karena cinta, rembulan juga bercahaya karena cinta. Dan bila tak ada cinta,
rembulan juga bercahaya karena cinta. Dan bila tak ada cinta maka mustahil air
laut mencapai pantai…” Dalam film Kiamat
Sudah Dekat, Dedy Mizwar dengan kalimat cerdik ‘bersabda’ pada para pendewa
cinta, “Cinta itu kan berhala yang Lu
sembah-sembah!”
Setitik
Nila Di Laut Madu
Amor vincit omnia… Cinta menaklukkan segalanya.
Kalimat ini banyak sekali merasuk ke dalam literatur dan karya sastra dunia
muslim, baik sebagai kalimat telanjang ataupun pemahaman yang samar menelusup.
Sampai-sampai imam rujukan kita, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dalam Roudhotul Muhibbin-nya juga menorehkan
kalimat yang banyak dikutip, “Andaikata orang yang jatuh cinta itu boleh
memilih. Ia pasti akan memilih untuk selamanya tak jatuh cinta.”
“Setiap orang bisa
diterima atau ditolak kata-katanya,” seru Imam Malik di Roudhoh masjid Nabawi, “Kecuali orang yang berada dalam kubur ini!”
Beliau menunjuk ke arah makam Rosululloh, shollallohu
‘alaihi wa sallam. Ya, Imam Malik benar. Dan dalam hal ini, menurut saya
apa yang dicantumkan Ibnul Qoyyim kurang pas dengan jalan cinta para pejuang.
Kalimat yang bernada menyerah pada cinta ini adalah setitik nila di laut madu
karya agung Ibnul Qoyyim.
Meski begitu, bagi
yang tetap meyakininya sebagai kebesaran, saya tetap mempersilakan. Sungguhlah
izinkan saya kali ini bicara dalam konteks jalan cinta para pejuang.
Sesungguhnya Alloh mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk memilih dalam
kehidupan ini. Alloh mengilhamkan kepada jiwa jalan taqwa dan jalan durhakanya.
Tak terkecuali dalam cinta. Selalu ada ruang di antara rangsangan dan
tanggapan. Dan di sanalah terletak pilihan-pilihan.
“Maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa itu jalan durhaka
dan jalan ketaqwaan.” (QS. Asy-Syams
[91]: 8)
Karunia pilihan itu
adalah bekal teragung manusia untuk menjadi makhluk yang dibebani amanah oleh Alloh
di muka bumi ini. Manusia punya kehendak. Maka barangsiapa hendak beriman,
silakan ia beriman. Dan barangsiapa ingin kafir, silakan ia kufur. Alangkah
dahsyatnya pilihan-pilihan itu! Maka Alloh pun memuji dan menjanji keindahan
bagi mereka yang berhasil memilih.
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Robbnya dan mencegah diri dari kuasa hawa nafsunya maka surgalah tempat
tinggalnya.” (QS. An-Naazi’aat [79]:
40-41)
Ayat ini
menunjukkan, wallohu a’lam, para
penakluk hawa nafsulah yang Alloh janjikan kemuliaan surga. Hawa nafsu. Adakah
hubungannya dengan cinta? Tentu dekat sekali. Kata asy-syahawat (syahwat-syahwat) disandinglekatkan dengan kata Hubb (cinta) dalam surat Ali ‘Imron ayat
14. Dalam cinta ada dorongan-dorongan untuk menikmati keindahan, rasa nikmat,
kesenangan, dan rasa bahagia. Atau, karena “Love
is a sweet torment; cinta adalah siksaan yang manis”, seperti kata Maria
dalam novel Ayat-ayat Cinta, maka
dalam cinta ada saat menikmati kesengsaraan, galau, dan kesedihan. Pada umumnya
kesemua itu, baik bahagia maupun duka, kita sebut emosi. Dan dalam perspektif
Qur’ani, kita selayaknya menaklukkan emosi, menaklukkan hawa nafsu. Bisakah
kita?
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Robbnya dan mencegah diri dari kuasa hawa nafsu maka surgalah tempat
tinggalnya.” (QS. An-Naazi’aat [79]:
40-41)
Wajah
dan Hati Saling Berbagi
Sebelum kita
telisik bagaimana menaklukkan hawa nafsu di jalan cinta, ada hal menarik yang
patut dilirik. Selama ini, kita menganggap wajah sebagai jendela emosi.
Mula-mula ada gejolak emosi dalam jiwa kita, kemudian kita boleh, —atau tidak
perlu mengungkapkan emosi itu melalui wajah kita. Ternyata proses itu juga bisa
bekerja dengan arah berlawanan. Artinya, emosi juga bisa dimulai dari wajah.
Jadi, kita bukan hanya tersenyum karena bahagia, melainkan juga bisa berbahagia
karena tersenyum. Wajah bukan hanya sebuah monitor penampilan yang men-display perasaan dari CPU hati. Wajah
adalah mitra yang sejajar dalam suatu proses emosi.
Malcolm Gladwell
dalam karya best seller-nya, Blink!, menyajikan beberapa riset
Psikologi untuk mendukung pernyataan-pernyataan ini. Awal-awal, adalah Paul
Ekman dan Wallace Friesen yang berhasil menyusun taksonomi untuk mimik wajah.
Dengan terus berkonsultasi pada para pakar anatomi wajah, mereka memadupadankan
43 gerakan otot berbeda yang bisa dibuat oleh wajah. Mereka menyebutnya ‘satuan
aksi’. Sebagai contoh, satuan aksi empat adalah merendahkan alis, menggunakan
otot-otot depressor glabellae, depressor supercilii, dan corrugator-nya. Sedangkan satuan aksi
lima adalah mengerutkan hidung menggunakan otot-otot levator labii superioris alaequenasi-nya. Saya kira contohnya dua
saja. Karena saya tak pernah mendapat matakuliah anatomi, nanti kalimat saya
malah membingungkan, hehe…
Harap tahu, selama
tujuh tahun mereka berlatih, mencoba, dan terus mencoba semua satuan aksi dan
berhasil melapiskan satu di atas yang lain hingga tercipta kombinasi dari gerak
lima otot yang jumlahnya lebih dari sepuluh ribu! Masya Alloh, sebuah penghargaan
harus kita terakan untuk kegigihan mereka. Bagaimana pun, mereka memilah
kombinasi gerakan yang memiliki makna, dan menuangkannya dalam dokumen rinci
FACS (Facial Action Coding System)
yang setebal 500 halaman. Hanya 500 orang di seluruh dunia yang berhasil
mendapatkan lisensi untuk menggunakannya dalam penelitian. Sebagai tambahan
informasi untuk para penikmat animasi, Toy
Story dan Shrek juga dibuat
menggunakan FACS.
Oh iya, Ekman dan
Friesen dibantu oleh Robert Levenson mengumpulkan sejumlah relawan yang dibagi
dalam dua kelompok. Separuh diminta untuk mencoba mengingat dan menghidupkan
kembali sebuah pengalaman yang bagi masing-masing sangat berat. Separuh yang
lain diminta hanya untuk memeragakan mimik wajah dalam FACS yang sesuai dengan
emosi-emosi menyusahkan semacam marah, sedih, dan takut. Mereka semua
dihubungkan dengan sensor pengukur laju denyut jantung dan temperatur tubuh.
Gejala-gejala fa’ali yang diamati ini telah dikenal sebagai indikator emosi
berat seperti marah, sedih, dan takut dalam fisiologi.
Hasilnya? Tertampil
dalam monitor, kedua kelompok mengalami kenaikan laju denyut jantung yang sama
dan kenaikan suhu tubuh yang persis. Gejala fisiologi emosi mereka tak berbeda.
Yang mengenang pengalaman pahit menjadi sedih. Begitu juga yang sekedar
‘berakting’ sedih dengan otot-otot wajahnya. Mereka memulai dengan ekspresi
wajah yang berat, baru kemudian efek fisiologisnya menjalar hingga ke hati.
Beberapa waktu
kemudian, beberapa orang Psikolog Jerman mencoba hal senada. Mereka meminta dua
kelompok relawan untuk mengamati gambar-gambar kartun. Kelompok pertama harus
melakukannya sambil menggigit ballpoint dengan gigi —yang memaksa mereka untuk
tersenyum karena harus mengkontraksi otot risorius
dan zygomatic major—, dan kelompok
kedua menggunakan bibirnya untuk menjepit si ballpoint —yang membuat mereka
mustahil tersenyum karena kedua otot itu terkunci—.
Penelitian ini
berkesimpulan sama. Yang menggigit ballpoint dengan gigi —sehingga terpaksa
tersenyum— jauh lebih merasa bahwa kartun-kartun itu lucu. Mereka memulainya
dengan senyum di wajah, lalu emosinya tergerak untuk merasakan kejenakaan.
Sementara itu, para relawan yang menjepit ballpoint dengan bibir —sehingga
sulit tersenyum— merasa kartun itu biasa saja.
Bagi saya ini
adalah sebuah penemuan besar. Ternyata kita bisa menaklukkan emosi kita. Dan
kita yang meniti jalan cinta para pejuang, hari ini berjanji kepada Alloh untuk
menaklukkan cinta! Di jalan cinta para pejuang, kekata ‘Amor vincit Omnia’ ditanggal sejak awal. Karena cinta tak boleh
menaklukkan kita, karena kitalah yag akan menaklukkan cinta.
Di jalan cinta para
pejuang, perjuangan pertama adalah sebuah pergulatan jiwa. Pergulatan jiwa
untuk menaklukkan cinta itu sendiri…
Credit: “Jalan Cinta Para Pejuang”; Salim
A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar