sebab pikiran punya jalan nalarnya masing-masing
maka terkadang mereka bertemu atau berpapasan
sesekali bersilangan, berhimpitan, bahkan bertabrakan
syukurlah kita punya ruh-ruh, yang diakrabkan iman
"Aku akan bermubahalah dengannya!"
Ibnu ‘Abbas tak pernah bercanda dengan kata-katanya. Dan dengan kalimat yang baru saja kita baca, dia menegaskan bahwa beda pendapatnya dengan Zaid ibn Tsabit tak main-main. Ini soal waris. Ibnu ‘Abbas menyepakati pendapat bahwa kakek menjadi penghalang waris bagi saudara mayit sebab kakek menilai dengan bapak. Sebaliknyalah, Zaid ibn Tsabit menyatakan bahwa kakek tak menjadi penghalang.
“Apakah Zaid tidak takut kepada Allloh?” ujar Ibnu ‘Abbas di majelisnya, “Dia jadikan cucu lelaki semisal anak lelaki tetapi kakek tak dianggapnya semisal bapak? Demi Alloh, aku ingin sekali bertemu dengan mereka yang berbeda pendapat denganku dalam perkara waris ini lalu kami sama-sama meletakkan tangan pada sebuah tiang dan bermubahalah, agar laknat Alloh ditimpakan pada dia yang berdusta!”
Dari riwayat ini kita temukan keteguhan Ibnu ‘Abbas pada pendapatnya. Juga kita bisa seksamai betapa tajam hardikannya pada Zaid ibn Tsabit yang berselisih dan dianggap tak konsisten. Tetapi pada suatu hari, Madinah menyaksikan sebuah pemandangan yang menakjubkan. Itu di sana ada Zaid ibn Tsabit menunggang bighol-nya. Dan lihatlah itu siapa yang menuntun kekangnya? Ibnu ‘Abbas!
“Tak usahlah demikian, duhai sepupu Rosululloh!” ujar Zaid dari atas pelana. Dia tampak tak enak hati.
Ibnu ‘Abbas tersenyum. “Demikian kami diperintahkan kepada ulama-ulama kami,” ujarnya tulus.
“Sekarang, coba tunjukkan tanganmu, duhai putra paman Nabi!” pinta Zaid. Ibnu ‘Abbas agak heran dengan permintaan ini. Tetapi diturutinya juga kata-kata lelaki yang pernah menjadi penulis kepercayaan Nabi itu. Saat itulah, ketika ‘Abdulloh ibn ‘Abbas mengulurkan tangan kanannya, Zaid ibn Tsabit segera meraihnya. Dia menggenggam telapak tangan Ibnu ‘Abbas dengan sangat ta’zhim, lalu mencium dan mengecupnya.
“Apa ini, wahai sahabat akrab Rosululloh?” pekik Ibnu ‘Abbas.
“Demikianlah kami diperintahkan,” tukas Zaid sambil tersenyum, “Kepada ahli bait Nabi kami.”
.oOo.
Sejak beberapa dasawarsa ini, kita semakin tahu bahwa kecerdasan bukanlah jalan utama penentu kesuksesan. Daniel Goleman memberikan sebuah penjelasan masuk akal bagi kita, bahwa kesuksesan terkait langsung dengan jalinan hubungan yang kita bangun dengan sesama, bukan pada seberapa pintarnya otak kita. “Ini soal kecerdasan emosional,” tegas Goleman. Tetapi tentu saja, dalam dekapan ukhuwah kita tak semata bicara soal kesuksesan. Dalam dekapan ukhuwah, kita bahkan menyatakan bahwa kesuksesan terletak pada hubungan yang didasari cinta karena Alloh.
Tetapi betulkah asumsi liar yang selama ini berkembang, bahwa kecerdasan menjadi penghalang bagi kemampuan berhubungan dengan sesama? Mari meninjaunya sejenak. Malcolm Gladwell dalam karya apiknya Outliers, mengetengahkan perbandingan dua orang dengan IQ amat tinggi dan dianggap jenius oleh generasinya. Mereka adalah Christopher Langan dan J. Robert Oppenheimer.
Chris Langan, seperti dituturkan adiknya Jeff, mencengangkan karena berdasar tes super IQ, pencapaian terlalu tinggi untuk bisa diukur secara akurat. “Salah satu contoh soal yang diciptakan Ronald K. Hoeflin untuk tes ini,” tulis Gladwell, “Adalah pertanyaan berbu-nyi ‘Teeth is to hen, as nest is to?’ untuk bagian Analogi Verbal. Mau tahu jawabannya?
“Sayangnya,” kata Gladwell, “Saya juga tidak tahu.”
Mulai bicara pada usia 6 bulan, di sekolah Chris Langan bisa mengikuti ujian bahasa-bahasa asing tanpa mengikuti kelasnya. Dia hanya perlu 2-3 menit untuk membaca buku teks suatu mata pelajaran lalu mengikuti ujiannya dengan nilai sempurna. Di usia 16 tahun, dia telah mampu menguraikan pemahaman atas karya Alfred North Whitehead dan Bertrand Russel yang terkenal rumit, Principia Mathematica. Dia mendapatkan nilai sempurna dalam ujian SAT, meski tertidur lama saat ujian berlangsung.
Chris Langan berasal dari sebuah keluarga kelas bawah Amerika. Beribukan pekerja kasar yang diasingkan dari keluarga dan tak terlalu perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Ayah tirinya ―karena sang ibu punya empat anak dari empat lelaki berbeda― pemabuk berat yang suka menghajar anak-anaknya. Di tengah perkuliahan, Ibu Chris Langan terlambat mengurus formulir beasiswanya. Maka beasiswanya dibatalkan.
Chris Langan yang notabene punya banyak kekecewaan terhadap cara ajar dosen dan sistem perkuliahan yang seolah sama sekali tak menghargai kecerdasannya, memutuskan untuk keluar dari kampus. Dia menjadi buruh konstruksi, awak kapal penangkap kerang, dan yang akhirnya sebagai tukang pukul sebuah bar. Di saat bersamaan dia terus menenggelamkan dirinya dalam filsafat, matematika, dan fisika serta mempersiapkan sebuah risalah akbar berjudul ‘Cognitive-Theoretic Model of The Universe’.
Tentu saja, dia tak pernah menerbitkan jurnal ilmiah itu tersebab ada keyakinan dalam dirinya, “Siapa yang mau mendengar-kan seorang pria putus kuliah? Editor dan penerbit pasti berkata: Jika hanya satu setengah tahun di Universitas, bagaimana bisa dia tahu tentang apa yang ditulisnya?”
“Penjelasan Chris Langan ini,” tulis Gladwell dalam analisis-nya, “Memilukan sekaligus membuat dahi berkernyit.” Ada yang aneh dari ceritanya. Ibunya lupa tandatangan―seperti juga banyak ibu lain―dan beasiswa itu ditarik begitu saja. Dia mencoba pindah dari kelas pagi ke kelas sore―seperti dilakukan ribuan siswa lainnya―agar bisa menumpang tetangganya sebab dia tak punya mobil. Tapi itu ditolak oleh manajemen kampus. Seakan-akan Reed dan Montana State University, tempatnya kuliah, adalah sebuah sistem birokrasi kaku tanpa toleransi sama sekali.
“Padahal faktanya,” ujar Gladwell, “Di kedua perguruan tinggi ini, membuat kelonggaran untuk menolong mahasiswa agar bisa terus berkuliah adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh para profesor.” Jawaban Chris Langan saat diandaikan Harvard menawarinya pekerjaan juga membuat Malcolm Gladwell tercengang. “Ketika kita menerima dana dari orang-orang semacam itu,” ujar Langan, “Suatu saat kita harus memutuskan antara apa yang ingin kita lakukan dan apa yang kita rasa benar dengan apa yang menurut orang lain harus kita lakukan agar kita mendapat dana lagi.”
“Apa?” seru Gladwell. “Langan telah memutarbalikkan fakta tentang Harvard! Di negeri ini, salah satu alasan mengapa profesor dan peneliti di universitas menerima gaji lebih kecil daripada mereka yang bekerja di perusahaan swasta adalah sebab kehidupan universitas memberi mereka kebebasan untuk melakukan apapun yang mereka inginkan dan apapun yang mereka rasa benar.”
Kita beralih ke sosok jenius yang satu lagi. Seperti Langan, di usia mudanya, J. Robert Oppenheimer juga punya masalah yang sangat serius. Tetapi kita tahu, sejarah punya cerita yang berbeda untuknya. Dia tertakdir menjadi pemimpin dari Manhattan Project, proyek riset paling prestisius yang dibentuk pemerintahan AS sepanjang abad kemarin untuk mengembangkan nuklir dan bom atom.
Oppenheimer telah melakukan berbagai eksperimen di laboratorium saat masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. “Dia,” ujar salah seorang gurunya, “Menerima segala ide baru sebagai sesuatu yang indah.” Saat berusia sembilan tahun, dia menantang sepupunya, “Ajukan pertanyaan padaku dalam Bahasa Latin, dan aku akan menjawabnya dalam Bahasa Yunani.”
Saat berusia dua belas tahun, dia berkorespondensi dengan para geolog untuk membahas formasi bebatuan di Central Park. Akhirnya, dia diundang untuk memberi presentasi di hadapan klub―tentu saja dengan naik mimbar yang di bawahnya harus dipasangi peti penopang agar wajahnya terlihat hadirin―dan mendapatkan sambutan yang sangat meriah.
Oppenheimer lalu masuk Harvard, kemudian lanjut ke University of Cambridge untuk mengejar gelar doktor di bidang Fisika. Di sinilah, di Cambridge, dia dilanda putus asa dan depresi berat. Kesukaan Oppenheimer dan kemampuan terbaiknya adalah Fisika Teori, namun Patrick Blackett, dosen pembimbingnya, memaksanya menghadiri kuliah-kuliah Fisika Lingkungan yang sangat dibencinya. Dalam frustasi, dia masuk ke Laboratorium Kimia, dan meramu racun untuk dosennya. Ramuan itu benar-benar mematikan dan siap mencabut nyawa Blackett.
Untungnya, Oppenheimer gagal!
Untuk kita ingat kembali: Ibu Chris Langan lupa mengirimkan formulir beasiswa, maka biaya fasilitas pendidikan untuknya dicabut. Dia ingin pindah jadwal dari kelas pagi ke kelas sore, dan permohonannya ditolak. Nah, apa yang terjadi pada Oppenheimer yang nyaris membunuh dosennya?
Chris Langan mungkin sudah masuk penjara jika melakukan hal yang sama. Tetapi Oppenheimer hanya diminta menjalani masa percobaan dan kampus memfasilitasinya untuk menemui seorang Psikiater terkenal di Harley Street, London.
Cerita dipilihnya Oppenheimer sebagai pimpinan dari manhattan Project, dua puluh tahun kemudian semakin memper-tajam beda di antara mereka. “Bagaimana mungkin Leslie Groves, sang penyeleksi, memilihnya,” ujar seorang kawan, “Padahal Oppenheimer masih begitu muda dibandingkan para pakar yang harus dia pimpin, tanpa pengalaman lapangan, tidak praktis, dan bahkan sama sekali teorinya, dengan penampilan lucu, sepatu kekecilan dan topi unik. Tapi dia benar-benar mempesona Groves dengan kejeniusan dan ide-idenya tentang laboratorium terintegrasi.”
Apa yang dimiliki Oppenheimer dan tak dimiliki Langan adalah keterampilan istimewa yang membuat kita mampu terhindar dari tuduhan pembunuhan dan bisa membujuk profesor untuk memindah jadwal dari kelas pagi ke kelas sore. Psikolog sosial terkemuka, Robert J. Sternberg dalam tulisannya yang berjudul Successful Intelligence: How Practical and Creative Intelligence Determine Success menyebutkan kemampuan ini sebagai ‘kecerdasan praktis’.
Bagi Sternberg, kecerdasan praktis meliputi hal-hal seperti mengetahui apa yang harus dikatakan kepada orang-orang tertentu, mengetahui kapan harus mengatakannya, dan mengetahui bagai-mana cara mengatakannya agar mendapatkan hasil maksimal.
J. Robert Oppenheimer tak hanya jenius sebagaimana terukur dalam IQ-nya. Dia juga cerdas dalam memahami bagaimana melakukan sesuatu tanpa harus tahu mengapa kita mesti menge-tahuinya atau mampu menjelaskannya. “Ini bukan pengetahuan formal,” tegas Malcolm Gladwell. Ini hal praktis yang membantu kita untuk membaca situasi dengan jelas dan mendapatkan apa yang kita inginkan.
.oOo.
Apakah teori Kecerdasan Praktis dari Robert J. Sternberg ini bisa membantu kita untuk menyatukan hati dalam dekapan ukhuwah ketika kita dan saudara-saudara kita berbeda pikir dan berlainan faham?
Mari lihat kembali kisah berselisihnya Ibnu ‘Abbas dan Zaid ibn Tsabit. Jawabnya: ya, untuk sebagian. Begitulah beberapa kali kita tegaskan dalam dekapan ukhuwah ini, bahwa menjadi pembawa kebenaran tak boleh hanya mempedulikan soal ‘mengatakan yang benar’. Dia harus penuh perhatian untuk mengatakan yang benar, dengan cara yang indah, di saat yang paling tepat.
Tetapi ada hal yang lebih mendasar pada beliau-beliau dari-pada sekedar ‘mengetahui apa yang harus dikatakan kepada orang-orang tertentu, mengetahui kapan harus mengatakannya, dan mengetahui bagaimana cara mengatakannya agar mendapatkan hasil maksimal.’
Apa itu?
Saya takjub membaca kembali selarik sabda Sang Nabi, Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tentang arwah. “Ruh-ruh itu bagai pasukan yang dibariskan,” ujar beliau sebagaimana diriwayatkan untuk kita oleh Imam al-Bukhori, “Jika mereka saling mengenal, maka bersepakatlah mereka. Jika mereka saling merasa asing, berselisihlah mereka.”
Dalam hidup, kadang memang ada kejadian yang sulit dijelaskan. Seperti saat kita memasuki wilayah asing, dan bertemu dengan orang-orang yang asing pula, satu dua kali pandangan kita akan tertumbuk pada orang-orang tertentu yang meninggalkan kesan berbeda dalam jiwa. Kita telah merasa akrab sebelum saling berkenalan. Kita telah saling senyum dan menganggukkan kepala. Kita telah saling menyapa sebelum sempat saling menyebut nama. Diam-diam, dalam hati kita telah berseru-seru, “Inilah saudaraku!”
Maka, inilah ruh-ruh yang diakrabkan iman.
Dengan iman itulah mereka saling mengenal. Dengan iman itulah mereka saling mengakrabi. Tanpa bicara mereka telah menyepakati hal-hal mulia. Jika ada yang berbeda di antara mereka, semua tahu bahwa kesamaan di antara mereka lebih banyak, dan lebih tinggi nilainya. Jika ada sembilanpuluh sembilan hal berlainan, dan hanya satu perkara saja yang serupa di antara kita, maka marilah curahkan seratus persen usaha untuk yang satu itu agar ianya jadi berdaya.
“Kita saling bekerjasama,” ujar Syaikh Muhammad Rosyid Ridho, “Dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan kita saling menghormati, dalam hal-hal yang kita perselisihkan.” Begitulah ruh-ruh yang diakrabkan iman, dalam dekapan ukhuwah.
.oOo.
Ada satu penanda penting yang menjadi nilai agung soal ruh-ruh yang diakrabkan iman ini. Mereka saling menghargai perbedaan. Mereka saling menghormati satu sama lain. Jika hujjah telah bertemu hujjah, tak boleh lagi ada hujat. Yang boleh ada ialah saling peluk mesra. Dalam dekapan ukhuwah, mereka, para ruh yang diakrabkan iman saling memuji dengan tulus betapapun berlainannya pikiran dan pandangan.
“Kulihat engkau menghapus keringat di dahimu, wahai penghulu fuqoha Madinah,” demikian suatu ketika Imam al-Laits ibn Sa’d menegur Imam Malik ibn Anas dalam majelisnya di masjid Nabawi. Kisah ini ditulis oleh al-Qodhi ‘Iyadh dalam kitab beliau al-Madarik untuk menggambarkan adab para ulama yang berselisih jalan.
“Aku berkeringat karena Abu Hanifah,” tukas Imam Malik, “Sungguh dia betul-betul faqih, wahai orang ‘alim dari Mesir.”
Suatu hari, begitu Imam Syafi’i berkisah, Imam Malik ditanya tentang ‘Utsman al-Batti dan Ibnu Abi Syubromah, dua ulama yang berbeda pandangan dengan beliau. “Mereka lelaki yang dekat,” ujar Imam Malik. Adapun ketika ditanya tentang Abu Hanifah, yang bukan saja berbeda pendapat dalam banyak sekali persoalan melainkan juga berbeda metode dalam penerapan hukum dengan-nya, Imam Malik tersenyum.
“Andaikan Abu Hanifah datang ke tempat ini,” kata beliau, “Dan kemudian dia mengqiyaskan pada kalian bahwa tempat ini adalah kayu, maka kalian pasti percaya dan menganggap bahwa tempat ini adalah kayu!” Ini sungguh ungkapan kekaguman yang dahsyat.
“Maka dalam fiqih,” begitu Imam asy-Syafi’i berkomentar, “Semua orang adalah keluarga Abu Hanifah.”
Ketika al-Laits ibn Sa’d menemui Abu Hanifah di Kufah, dengan berseri-seri dikatakannya, “Alangkah baik ucapan Malik tentangmu!” Abu Hanifah menjawab, “Belum pernah aku melihat orang yang lebih cepat daripada Malik ibn Anas dalam menjawab dengan kebenaran dan mengkritik dengan sempurna!”
Sumber: Dalam Dekapan Ukhuwah; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar