Senin, 26 Desember 2016

Aurot Itu Alloh Tutupi Ketika Tsunami

Kak Ila (Baznila), salah seorang member IHIMA (Indonesia Harapan Itu Masih Ada) Aceh berbagi pengalamannya 12 tahun yang lalu, ketika Tsunami menerjang Aceh 26 Desember 2004.

Berikut penuturan beliau di grup WhatsApp dua tahun yang lalu (peringatan 10 tahun tsunami) yang saya rapikan penulisan yang beliau singkat-singkat:
~~~~~~~~~~~~

Jam 7 pagi saya siap-siap pulang ke Indrapuri. Tempat tugas sebagai bidan. Karena kebetulan saya kuliah Jumat-Ahad d Banda Aceh. Saya kuliah di Akbid Muhammadiyah. Lagi siap-siap suami mengingatkan kalau kita ada undangan walimah. Jadinya, rencana pulang di undur. Sedang saya masukkan baju ke mesin cuci, tiba-tiba terjadi gempa. Spontan saya mengingatkan adik sepupu suami untuk keluar rumah. Dia sedang memasang gorden. Kami baru Kamis pindah ke kompleks panti asuhan Muhammadiyah Punge Blang Cut tempat suami mengasuh anak-anak yatim. Sepupu bilang, "Ah kakak, mana ada gempa? (ga percaya)"
Kemudian gempa berlanjut kuat. Dia kaget dan berlari keluar. Sedang berlari dia jatuh. Bangun lagi dan jatuh lagi. Saya langsung duduk dan memeluk anak ke dua saya. Goyangan tidak berhenti dalam sekejap. Orang-orang di kompleks semua duduk dan bergoyang seperti dalam truk lewat jalan jelek. Kubah musholla panti berayun-ayun. Kemudian gempa berhenti.

Kami masuk kembali ke rumah.memeriksa keadaan. Alhamdulillah hanya beberapa kobokan yang jatuh dan satu pecah. Saya memakai pakaian lengkap, memakaikan anak sulung saya lengkap dengan jilbab. Karena saya melihat bebek angsa mondar mandir di depan rumah. Teringat... biasanya ada apa-apa kalau bebek seperti itu. Saya masukkan handphone dan Quran di saku. Siap-siap kalau ada apa-apa saya sudah bawa hp untuk penghubung dan Quran penghubung dengan Allah.

Saya keluar dengan anak, nelpon si abi yang sedang bermain badminton dengan teman-teman liqonya. Dan nanya-nanya gedung apa yang rusak dll. Terus datang adik bungsu saya pakai motor. "Kak ditanya ama Du (ayah)... apakah kalian baik-baik aja?"
"Alhamdulillah, kami baik-baik aja. Ga ada yang rusak."
"Dia bilang tadi Mami (adik Ibu) ketemu di Blang Padang. Beliau ketakutan karena melihat hotel ** rubuh di depan matanya. Beliau sedang memandu acara gerak jalan. Jadi, ini mau kesana dulu nenangin beliau, terus ke tempat kak Yanti (adik ke-3)."

Begitu adik saya keluar gerbang, tiba-tiba terdengar suara seperti deru pesawat terbang...
Kami saling bertanya, "Apa itu? Suara apa itu?" (kebayang kayak kiamat... kita saling bertanya😭)
Trus kelihatan dari kejauhan, bunyi itu beserta putih-putih di atas pepohonan. Suara seperti pesawat menabrak gedung-gedung. Gemuruhnya, ya Allaah... Terus ada yang teriak, "Air laut naik! Air laut naik!"

Kami serentak berbalik berlari kocar kacir. Sebagian besar lari naik ke kampus Akbid berlantai 4. Saya lari ke belakang rumah dengan si adek. Trus sepupu ngambil si adek, "Sini kak adeknya."

Saya tinggal sendiri. Saya berlari terus. Melihat orang berebut masuk ke Akbid saya cari alternatif lain. Karena air naik, saya pikir kayu akan melampung. Jadi, saya pegang balok teras setinggi 1 meter rumah tetangga yang setengah permanen. Dengan harapan air tidak lebih tinggi.

Bersama saya ada sepasang suami-istri (ustadz di panti) yang sedang nunggu hari bersama anaknya usia 5 tahun. Ustadz itu terus mencari tempat berlindung sambil bertakbir, "Allaahu Akbar! Allaaahu Akbar!" 😭😭😭

Ya Allaah, ternyata tiba-tiba datang air hitam tegak seperti dinding setinggi kira-kira 2-3 meter.

Ya Allah, saya berserah diri pada Allaah. Saya bersyahadat mengharapkan husnul khootimah😭😭😭

Saya cuma bisa pasrah sambil mengucap, "Bismillaahilladzi laa yadhurru ma'asmihi syai-un fil ardhi wa laa fissamaa-i wahuwassamii'ul 'aaliim..." Blaar! air hangat menerjang saya.

Trus air tadi menenggelamkan saya setinggi leher. Semakin meninggi. Rumah yang saya pegangi baloknya sudah penuh air. Saya lihat air naik... naik... naik... mendekati asbes atap rumah kira-kira kurang dari sejengkal lagi. Saya sudah pasrah. Air setinggi telinga saya. Saya siap-siap tenggelam. Bersyahadat tapi tetap memegang balok. Yang saya harap adalah syahid.

Tiba-tiba terasa ada gelombang kuat, mengangkat rumah yang saya pegang dan saya terbawa air. Alhamdulillah mata dan hidung saya masih di atas air.

Balok tetap terpegang. Saya lihat papan rumah dan dindingnya tidak ada lagi. Lepas semua kecuali atap dan satu tiang yang saya pegang. Allaahu Akbar. Kiri-kanan saya mobil lewat. Saya terus terbawa arus hingga tiba-tiba mentok dan atap tadi menutupi saya. Saya lihat dalam gelap, barang-barang di sisi kanan-kiri depan dan belakang saya. Hanya kosong di tempat saya tegak mengapung.

Saya bergegas mencoba keluar dari air. Di sisi atap seng ada sedikit celah dan saya keluar dari bawah atap itu.

Ternyata saya berdiri di atas tumpukan barang-barang kira-kira setinggi 4 m. Saya lihat semuanya air. Saya lihat matahari memancar dengan baik. Saya pikir, "Ooh, ini bukan kiamat. Ini bencana alam. Tapi siapa yang bisa bantu kita di sudut rumah begini." Saya pikir, ajal saya bukan tadi. Mungkin sebentar lagi. Atau beberapa detik ke depan.

Saya lihat ada balok ukuran 5x5 di lobang angin rumah yang tidak ada plesternya. Masya Allah, seperti di kirim untuk saya. Saya pikir, "Ya Allah, kalau air naik lagi, saya harus bergantung di situ. Saya harus berusaha." Saya terus melihat mobil bahkan atap-atap rumah lewat. Tapi sekarang berbalik arah ke arah laut. Dan saya melihat binatang seperti kepala ular yang berenang ke arah laut sebesar ukuran A4. Saya perkirakan air setinggi 3 meter. Sewaktu saya mencoba beranjak, saya menoleh ke kiri...

Ya Rabb, ada ular kecil warna kuning. Saya sangat ketakutan. Saya pikir, mungkin ajal saya bukan di air, tapi dipatok ular. Saya ambil kayu. Dengan gemetar saya lihat ular itu sudah tegak kepalanya siap mematuk. Saya bilang, "Kalau bukan saya yang mati karena kamu patuk, kamu yang mati karena saya pukul. Saya hamba Allah, kamu pun hamba Allah!"

Saya siap memukul seperti mengayun kayu pemukul bola kasti sambil teriak, "Asyhaadu an Laa Ilaaha illaallaah wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah" kuat-kuat. Eh... tiba-tiba ularnya melengos pergi. Alhamdulillah, ya Rabb.

Saya melihat sekelilingnya. Pikir saya, cuma sendiri yang sementara selamat. Saya sudah pasrah. Du dan Mu tidak selamat. Saya sudah pasrah anak-anak dan suami saya tidak ada lagi. Semuanya sepiiiii sekali. Tidak ada lagi kehidupan.😔

Tak lama, saya dengar suara-suara ramai minta tolong. "Toloong... toloong...," suara teriakan-teriakan, suara-suara zikir, suara-suara menangis. Beragam suara yang menurut saya sepertinya dari arah pabrik jamu. Saya pikir, alhamdulillah masih ada orang lain yang selamat. Saya jadi tambah semangat. Dari kejauhan saya lihat ke arah Akbid, ada seorang gadis menggendong balita. Ke sebelah kanan atas atap rumah ada seorang laki-laki, dan ada juga seorang bapak d atap yang lewat mengikuti arus. Berdzikir "Lailaha illallaah..." terus dia berdzikir...

Saya melihat kiri-kanan. Apa yang bisa saya manfaatkan untuk mencari pertolongan. Saya teriak, berusaha memanggil orang di atas gedung Akbid, "Hooooiiiii..!!!"

Alhamdulillah saya masih berpakaian lengkap dengan kaus kaki. Tidak ada yang terlepas. Apa saya buka aja jilbab untuk cari perhatian dengan dikibar-kibarkan?

Ah, tidak. Saya tidak mau mati dalam keadaan terbuka.

Rupanya, pemuda yang di atas atap tadi melihat saya yang jingkrak-jingkrak sambil teriak-teriak tadi. Dan dia pun semangat dan berusaha memanggil orang-orang di atas gedung Akbid yang rupanya berjumlah kurang lebih seratusan.

Tiba-tiba nampak suami saya di atap dekat Akbid. Saya teriak sekuat tenaga, "Abaaaaang!! Abaaang!!" Saya jingkrak-jingkrak biar kelihatan. Rupanya beliau sudah di beritahu oleh pemuda tadi kalau ada satu lagi yang selamat. Rupanya beliau dari tadi sambil berurai airmata bertanya ke anak-anak panti, "Mana ummi? Mana ummi?" Beliau naik-turun dari tingkat kedua sampai 4, turun lagi... naik lagi... membuka-buka mayat-mayat yang sempat di angkat anak-anak mencari saya. Dan ketemu sama pemuda tadi. Beliau melompat dari atap ke atap mencari tempat terdekat dengan saya. Saya teriak (bertanya), "Anak-anak?"
Beliau mengacungkan jempol. Alhamdulillah, ternyata adik sepupu juga ada. Dialah yang mencari pohon terdekat. Mengikat diri dan berenang melawan arus balik mendekati saya. Saya turun ke air. Memegang tangga yang dia bawa. Kaki tidak menyentuh tanah.

Naik ke atap rumah itu dan lompat dari atap ke atap terus ke lantai 2 Akbid.

Di atas lantai 4 Akbid, bukannya aman. Gempa terus menerus mengguncang. Setiap gempa, setiap kali itu pula suara raungan, dzikir, tangisan bercampur aduk. Dalam keadaan yang sangat mengerikan. Khawatir Akbid runtuh, saya temui ustadz-ustadz di situ supaya kita harus keluar dari sini. Mereka setuju. Anak-anak yang besar membuka jalan. Air sudah semakin surut. Sekitar jam 12.30 dari kejauhan adzan bergema. Ya Allaah... berarti ada mesjid yang masih berfungsi. Artinya, tidak semua kena air.

Akhirnya kami pun keluar. Dari Akbid, jalan tidak nampak. Tidak kenal kemana arah. Karena rumah-rumah tidak ada. Rata. Yang ada hanya tumpukan barang dan mayat bergelimpangan. Ada yang dalam kulkas. Ada yang tersuruk dalam sampah. Ada yang nampak kaki aja. Ada yang tangan aja. Rata-rata semua telanjang.

Kami panik. Berlari serabutan menuju mesjid terdekat. Berebutan naik ke lantai 2 mesjid. Rupanya di sana sudah ramai orang-orang. Saya juga melihat teman SMA saya yang non muslim di situ. Dan Allaahu Akbar, ada anak-anaknya ust. Raihan Iskandar. Syifa... Yasin... Fida. Saya peluk mereka. Saya tahu ustadz sedang di luar kota begitu juga dengan bu Rita. Begitu keadaan aman, saya ajak anak-anak bu Rita. "Ayoh, kalian sama amah aja. Kita mengungsi. InsyaAllah Allah akan pertemukan kita lagi ama Ummi dan Abi kalian..."

Tangan kiri gendong Suhail, tangan kanan memapah Fida.

Kami terus berjalan mulai dari air setinggi lutut sampai semata kaki. Sampai ketemu jalan kering tidak tersentuh air...

Dalam perjalanan berjarak 3 km dari Akbid, kami bertemu rombongan demi rombongan. Bertemu juga dengan MR saya yang dulu... sekeluarga. Bahagia sekali rasanya. Kami semua bergabung berjalan searah ke Lamlagang. Sepanjang perjalanan, kami menjadi tontonan orang-orang yang tidak tahu apa yang terjadi.

Maksudnya baru jalan 3 km ketemu rombongan ust. Razali.

Di daerah Blower, tiba-tiba ada lagi berita air naik. Pontang panting kami berlari mencari tempat tinggi. Rumah-rumah kosong yang ditinggal penghuni, kami naiki.

Merasa ga ada apa-apa, turun lagi. Jalan lagi.

Sampai di Lamlagang, orang-orang bertanya. Kami cuma menjawab singkat, "Air laut naik." Punge-Blower-Stui-Lamlagang, sekitar 10-12 km. Lelah, letih, gemetar, takut, lapar... bercampur aduk.

Masuk ke perkampungan Lamlagang, saya bertemu dengan seseorang yang saya kenal. Saya mencoba meminta pertolongan.
"Bu, bolehkah saya dan rombongan menumpang istirahat sebentar?"
Ibu itu kebingungan. Mungkin shock melihat orang sekitar 50an. Beliau minta maaf tidak bisa menolong.

Kami pun berjalan lagi. Baju saya sudah kering di badan. Saya tidak tahu kalau saya ada terluka di betis sedikit karena tertutup kaus kaki. Dan luka itu sudah terasa perih.

Di depan di suatu rumah, saya dipanggil, "Ayo, bu... Ayo, dek... pak... Masuk dulu. Makan dulu."

Ya Rabb. Alhamdulillah. Ada orang yang begitu mulia hatinya. Semua orang yang kelihatan basah, kumal korban tsunami yang melintas di ajak masuk. Kami pun masuk, duduk di tanah, di halaman rumah orang yang baik hati tersebut.

(Ya Allah, berilah rahmat dan ampunan kepada orang yang memberi bantuan tersebut).

Saya lihat dia mengeluarkan stok beras yang ada di rumahnya, mie instant, dan telur. Sudah ada beberapa kelompok di rumah itu. Alhamdulillah, kami berbagi. Saya dapat nasi tok. Alhamdulillah, syukur atasMu, ya Allah, yang tetap memberi rizki atas kami.

Saya suapin anak-anak. Sedang menyuapi makanan, tiba-tiba terdengar teriakan histeris seorang ibu yang ternyata mendapat berita anaknya  ditemukan telah meninggal. Dia pingsan. Dalam hati, saya bersyukur masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Walaupun saya tidak yakin. Masih terbersit di hati, "Tidak sekarang ajalmu, tapi sebentar lagi."

Sampai di rumah tujuan (rumah ustadz kepala panti yang belum selesai. Masih berlantai semen kasar), saya mencari air untuk mandi. Alhamdulillah, sebelum keluar dari panti, suami sempat men-cek kondisi rumah. Allaahu Akbar, diantara rumah-rumah di kompleks panti, hanya Akbid, musholla, dan rumah kami yang masih berdiri tegak. Abang masuk ke rumah dan maasya Allaah... bekas air di dinding luar setinggi 3 meter. Tapi kasur kami tidak basah. Air hanya setengah betis. Dan abang pun bisa mengambil 2 potong baju untuk ganti baju saya yang robek. Dan baju untuk anak-anak. Di rumah ustadz, kami tidur beralas kertas bungkus semen. Alhamdulillah, kami masih bisa berteduh. Malam itu saya menggigil. Terguncang-guncang. Mungkin luka di kaki sudah mulai infeksi.

Hari ke-2
Ada kabar ada bantuan makanan. Anak-anak panti yang besar-besar mencari bantuan itu. Sementara gempa sehari ada belasan kali. Begitu gempa, kami berhamburan keluar. Dari luar banyak motor berbondong-bondong. Dapat berita air naik lagi. Kami pun lari naik berdesak-desakan di lantai 2. Hal itu terjadi berkali-kali dalam sehari.

Hari ke-3 dapat kabar, adik yang jenguk saya, selamat. Saya sujud bersyukur kepada Allah. Saya pasrah. Keluarga besar saya memang di wilayah seputaran Ulee Lheue. Gampong Lambung, Blang Oi, Lamteh, Pie, Surin, Cot Lamkuweuh.  Semua tidak ada. Satu-satu bertemu. Kata adik, yang selamat hanya 17 orang. Yang lain hilang. Termasuk kedua orang tua saya.

Abang pun berinisiatif untuk kembali ke rumah mengambil pakaian dan mencari mayat orangtua kami.

Ternyata pakaian yang sudah di bungkus abang untuk di bawa, yang diletakkan di pagar, hilang.

Saya bilang, "Biarlah, bang. Itu rizki yang Allah berikan untuk mereka. Mereka adalah orang-orang yang butuh juga seperti kita."

Abang pulang sore. Beliau bilang, beliau menemukan jasad ibu Mu (ibu saya). Tapi ga bisa di apa-apain. Ya Allaah... Muuuuu...😭😭😭

Terbayang saat air menerjang. Bagaimana beliau bergulung-gulung di dalam air. Ya Allaah, berikan pahala syahid untuk ibuku, ya Rabb😭😭

Hari ke-4 saya bertemu tetangga kompleks guru tempat tinggal orangtua. Ibu saya seorang guru SD.

Beliau bercerita kalau setelah gempa, Du bilang ke beliau, "Pak, biasanya kalau gempa besar seperti ini air laut naik. Di Jepang sering tu. Namanya tsunami."

Tetangga pamit mau lihat-lihat dan foto-foto gedung yang roboh ke kota. Beliau pun selamat. Tetangga yang ikut tergulung air cerita, beliau melihat Mu dan Du terduduk di jalan depan rumah. Lalu terdengar gemuruh air. "Ayo, Mu, Du, lariiii...!"

Mu saya gemuk, beliau tidak sanggup lari. Beliau pasrah. Beliau bilang, "Lari aja kalian! Saya tidak usah lari lagi. Saya pasrah. Ayo, Du! LARI!!"
Du ga mau lari. Sayang sama Mu yang terduduk lemas di tanah. Air semakin dekat. Tetangga itu terus lari. Kemudian beliau pun tergulung air. Beliau merasa maut sudah menjemputnya. Beliau akhirnya terdampar di pinggiran sungai Stui.

Mu, ibu yang luar biasa. Ibu yang sangat sabar. Yang senantiasa mengajarkan ketegaran dan semangat yang tidak pernah bertepi. Ila sayang sama Mu. Maafkan Ila yang tidak bisa mengurus jenazah Mu.

Du...😭😭 Ila sayang sama Du. Du ayah yang luar biasa. Yang selalu mengajarkan kejujuran, disiplin, dan kelembutan.

Sampai sekarang, saya tidak tahu dimana jasad Du. Dari keluarga besar saya, hanya Mu yang ditemukan jasadnya.

Sorenya saya kedatangan tamu. Orangtua angkat saya di desa tempat saya bertugas sebagai bidan. Beliau juga yang menjodohkan saya dengan suami saya. Ayah, begitu saya menyebut beliau. "Ayaaaaahh..." Berbinar mata ini melihat ayah. Ayah memeluk anak-anak saya. Beliau menangis. Bulir air matanya berloncatan keluar. Ya Allah, saya tidak pernah melihat beliau menangis. Beliau hanya mampu mengucapkan, "Laa haula walaa quwwata illa billaah, sayang sekali anak ini." Berulang beliau menyebut demikian.

Saya tersenyum. "Gapapa, Ayah. Alhamdulillah, Mu dan Du sudah di Surga. Alhamdulillah, kami dapat seperti ini karena kami dicintai Allah. Ini tanda Allah sayang sama kami."

Ayah datang menjemput saya. Beliau membawa sekotak air mineral dan beberapa helai pakaian dan 1 sarung. Saya mengganti pakaian yang sudah saya pakai dari hari pertama di rumah ustadz. Kemudian ikut ayah pulang ke Indrapuri. Hati saya terus teringat ke jasad Mu.

Di Indrapuri, ternyata banyak warga yang juga kena tsunami. Walaupun jaraknya 25 km dari pusat kota. Warga setiap hari bekerja menggali kuburan. Sehingga sewaktu saya mohon kepada suami untuk minta bantuan ke Kades untuk mengambil jasad Mu, beliau menolak dengan alasan kasihan warga. Hati saya hancur. Dengan kaki yang pincang dan badan yang masih menggigil, saya mulai merawat warga dan pengungsi yang terluka. Dari pengungsi itu, diantaranya ikhwah. Dapat berita kalau ummahat diperintahkan ketua DPW (ust. Raihan) untuk mengungsi ke luar Aceh. Supaya bapak-bapak bisa konsentrasi membantu/menjadi relawan.

Adik-adik saya menemui saya mengajak pergi ke Medan dengan motor ke rumah Nenek. Disana ada paman. Saya menolak. Saya bilang, "Pergilah kalian. Kakak ga akan pergi sebelum jasad Mu dikuburkan dengan layak."

Hari ke-8
Saya merawat tetangga yang kepalanya terbelah dari kening sampai ke ubun-ubun. Di tungkainya juga luka yang sudah dijahit di Puskesmas. Infeksi. Saya bilang, "Ayo kita bawa ke RS lapangan di Lambaro. Kabarnya ada BSMI di sana. Ada banyak posko di Lambaro." Saya mencari posko PKS/BSMI. Disana alhamdulillah tetangga saya dapat perawatan yang baik. Saya mencari orang yang saya kenal. Tiba-tiba, "Assalamu 'alaikum, bu. Kenapa tidak mengungsi?" Rupanya ustadz Raihan sudah berdiri di belakang saya, menyapa. Ya Allaah, senangnya bertemu orang yang kita kenal (ikhwah). Saya langsung menjawab, "Saya tidak mau keluar dulu sebelum ibu saya dikuburkan." Ustadz terkejut. Setelah beristirja, beliau bilang, "Kenapa ga bilang?" Saya menunjuk ke suami sambil mengucapkan, "Abang khawatir merepotkan orang banyak."

Beliau menoleh ke suami dan mencubit perut suami saya. "Kenapa ga bilang? Itukan orangtua kita juga."

Langsung ustadz memerintahkan 7 orang ikhwah untuk mengevakuasi mayat Mu. Saya pulang ke Indrapuri. Abang ikut relawan.

Pulang sudah malam. Jalan kaki dari Lambaro sekitar 15 km. Kata abang, besok dilanjutkan. Kondisi tidak memungkinkan. Mereka seharian itu cuma bisa memindahkan pohon-pohon kayu dan rongsokan sampah di sekitar mayat Mu.

Hari ke-9
Personil relawan ditambah menjadi 15 orang. Alhamdulillah, maghrib abang sampai dan menceritakan kisah menguburkan Mu. Jasad Mu sudah menghitam, lembek, dan terkelupas. Tidak bisa diangkat lagi. Jadi, hanya bisa diangkat dengan menggunakan papan pintu. Itupun para penolong sudah sangat lelah. Mereka hanya bisa memindahkan Mu sejauh 500 m dari tempat ditemukan dan dekat dengan bekas rumah yang sudah rata lebih kurang 100 meter. Dan kuburannya dangkal aja.

Hati saya sudah tenang. Mu sudah terkubur walau seadanya. Paling ngga tidak terbiarkan begitu saja. Sakit rasanya membiarkan jasad orangtua terkapar padahal kita sudah tahu keberadaannya. Allaahummaghfirlahum warhamhum wa'aafihi wa'fu'anhum.

Di Indrapuri, kami tidak tidur di rumah. Tetapi di tenda darurat karena setiap hari ada gempa dan listrik belum nyala.

Minggu ke-2 saya berangkat ke Medan. Mertua di Pekanbaru sudah sangat gelisah. Di Medan saya masih terus menggigil. Paman memutuskan untuk membawa saya ke RS Pirngadi. Sampai di sana saya disambut sebagai korban tsunami. Melihat pakaian saya, relawan akhwat mendekati saya. Setelah cerita sedikit, saya diusahakan pindah di kamar yang lebih baik.

Saya dirawat, ditemani, dicukupi kebutuhan harian saya oleh relawan PKS Sumut. Mereka bergantian merawat saya,menghibur saya. Maasyaa Allaah. Alhamdulillah. Jazakumullah khairal jaza' atas segala perhatian, pertolongan, dan pengorbanan ikhwah sekalian. Saya merasa ada teman. Mereka menasehati tentang kesabaran, ketabahan...

Saya meradang. 😡Saya bilang dengan nada tinggi. "Saya ga apa apa! Saya terima koq semua ini. Ini ujian untuk saya. Saya pasrah. Saya tahu ini cobaan. Ini takdir. Saya rela ibu, bapak, dan keluarga saya tidak ada lagi. Saya cuma sakit karena di air. Karena infeksi di kaki!"

Sewaktu dr. Adek (akhwat) menjenguk saya, saya bilang sama beliau, "Dr. Adek, apakah saya akan ditemani terus?"
"Iya," jawab beliau.
"Kalau begitu, saya minta ditemani adik-adik yang pemula aja. Yang ga serius-serius kali. Saya dianggap pasien trauma. Sedang saya merasa kuat, tidak trauma. Saya capek dinasihati untuk sabar. Untuk tabah." (Ya Allaah, ampuni saya 😔).

Dokter Adek sangat maklum. (Semoga Allah merahmati akhwat dan ikhwan Sumut). Saya ditemani adik-adik yang baru gabung liqo. Mereka lucu-lucu. Sedang asyik cerita, tiba-tiba saya memegang tempat tidur. "Laailaaha illallaah!" saya bertahlil.

Terus saya bertahlil. Saya melihat ranjang bergoyang. Ngga percaya saya lihat lemari di samping ranjang juga bergerak. Spontan saya teriak, "Gempa!"

Wajah saya terasa dingin seketika. Serentak adik-adik berdiri memegang saya. "Kak, ngga gempa, kak... Ngga goyang koq, kak..."

Memang gempa susulan terjadi berpuluh kali sehari. Tapi banyak orang tidak merasakannya. Saya sangat sensitif.

Hari ke-5 di Pirngadi...
Saya minta jalan-jalan keluar. Infus sudah dilepas. Saya sudah sanggup berjalan. Saya minta bergabung dengan relawan untuk merawat korban tsunami lain.
Sesampainya di sal... Ya Robbuna, saya melihat anak-anak yang luka di berbagai tempat. Ada orang yang buntung kakinya, ada yang kepalanya terbelah, ada..., ya Allaah... macam-macam yang saya lihat di sana. Saya beruntung, ya Allaah. Saya tidak kurang suatu apapun. Cuma sakit sedikit di kaki. Astaghfirullaahal 'azhiim. Saya berulang-ulang istighfar. Ya Allaah, cobaan untuk mereka begitu berat.  Sebagian mereka sebatang kara. Saya memohon kepada Allaah ampunan yang sangat luas, besar, dalam. Astaghfirullaahal 'azhim... Alladzi Laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuum wa atuubu ilaik. 'Adadama 'alimallaah wa zinatama 'alimallaah wa mil ama 'alimallaah.

Besoknya dr. Adek nanya, "Mau pulang ke Pekanbaru?"
Kami menjawab, "Ya."
Beliau hendak memesankan tiket pesawat. Lagi-lagi saya ketakutan. Saya tidak mau naik pesawat. Naik bus aja. Jadilah kami naik bus ke Pekanbaru.

Di Pekanbaru disambut ka. DPC Rumbai. Ternyata DPW Sumut sudah menghubungi DPW Riau. Dan saya di bawa berobat lanjutan di RS Thabrani Pekanbaru. Saya merasa jamaah sangat memperhatikan saya. Saya kasihan, iba melihat orang lain. Apakah mereka seberuntung saya? Memiliki saudara saudara fillah yang luar biasa?

Satu tahun lamanya saya tidak berani pulang ke Punge.

Maksudnya bermalam di rumah Punge. Walaupun sudah dibersihkan, di cat, saya belum berani.

Dua bulan pasca tsunami, saya pulang ke rumah Mu di Surin. Jalanan masih belum begitu bersih. Untuk pertama kalinya saya ziarah kubur. Rumah rata dengan tanah. Saya memandang ke arah Ulee Lheue. Karena hanya terlihat 1-2 bangunan yang nonjol. Laut nampak begitu jelas. Terasa dekat sekali.

Tak ada yang tersisa.

Untuk ke kuburan Mu, saya harus berjuang melangkah. Ternyata tidak sampai. Kondisi tidak bisa dilewati. Saya hanya memandang arah kubur Mu dengan berbagai rasa.

Saya berjalan dari Surin memutar ke Ulee Lheu dengan perasaan ngeri. Saya belum bisa melihat laut. Saya minta cepat pulang. Di jalan pulang saya melihat kuburan korban tsunami. Saya membatin, apakah Du ada di situ? Apakah Syadza, Ibu Ramlah, Mama, Kak Ita, Uning Lis, Nova dan anaknya, bang Ican dan keluarganya, kak Nona dan anak-anaknya, Oja, Ina dan anaknya, Nil, bang Mimi dan keluarganya, kak Nana, Ibu As, Pak Wo, kak Mar sekeluarga besar, Ayah Ngoh Yacob sekeluarga, keluarga besar Kakek di Gampong Lambung dan semua keluarga yang tak selamat, apakah mereka di situ?

Lewat kuburan Lambaro, pertanyaan yang sama kembali muncul, apakah mereka dikuburkan disini? 😭😭😭😭

Ya Allaah, rahmati mereka dengan rahmat dan maghfirah-Mu.

Tsunami kejadian yang sangat membekas dalam diri saya. Bukti cinta Allah yang masih memberikan kesempatan untuk bertaubat. Semoga sisa umur saya dirahmati Allaah dalam kebaikan dan ketaqwaan.

(Baznila Ganuzia Bashry/Ila)

Terabadi di Facebook

Tidak ada komentar:

Posting Komentar