“Dalam
pagi; air masih dingin, udara masih bersih, lalat masih sedikit; sarapanlah,
agar hatimu tak tamak pada rizqi orang lain.” (Imam Asy Syafi’i)
Jika
diniatkan sebagai sumber tenaga untuk mendayai ketaatan, betapa
tingginya nilai ibadah dalam sarapan. Jika diniatkan untuk meraih
keberkahan waktu pagi yang didoakan oleh Sang Nabi, betapa besarnya maslahat
sarapan, dan betapa banyak mafsadat, penyakit, juga gangguan yang menyingkir
dari badan.
Dan
jika diniatkan untuk menjaga diri dari syahwat yang tamak lagi
rawan dengki terhadap rizqi yang dianugerahkan pada sesama
insan, betapa zuhudnya orang yang sarapan.
Adalah
muallif kitab Tafsir Al Ibriz, Allahuyarham Kyai Bisyri Mustofa (Ayahanda Gus
Mus), memiliki satu kebiasaan yang beliau nasehatkan pada para muballigh yang
ke sana-kemari mengisi pengajian. “Makanlah dulu”, ujar beliau, “Agar hati kita
tak berharap mendapat suguhan.” Ini rupanya bagian dari falsafah hidup beliau
yang diistilahkan sebagai “ihtiraas”. Ini bukan sekedar wara’, yang bagai jurus
melipir menghindar dari yang haram, syubhat, ataupun mubah namun berlebihan.
Ihtiraas lebih seperti benteng yang melindungi diri dari aneka serangan lawan
yang jelas adalah syaithan.
Di
zaman ketika banyak tokoh politik mendatangi para kyai pengasuh pesantren &
memberi hadiah yang tentu harus dibayar dengan dukungan atau setidaknya sikap
diam terhadap penyimpangan, beliau membeli beberapa mobil sekaligus yang dijajarkan
di halaman. Tak banyak yang tahu, mobil-mobil itu sebenarnya hanya 1 yang bisa
jalan. Yang lain hanya ‘rongsokan’ yang dipoles agar layak dipandang. “Buat
apa?”, tanya orang dekatnya. “Biar dikira kaya.” “Kalau sudah dikira kaya terus
kenapa?” “Biar tidak ditawari uang.” “Lha kalaupun ditawari kan tinggal
ditolak.” “Lha aku khawatirnya kalau pas ditawari, akunya lagi punya kebutuhan.
Lebih aman kalau dikira kaya biar tidak usah ditawari sekalian.” Rahimahullahu
rahmatan wasi’ah.
Ketika
beras, santan, kismis, minyak samin, jintan, kayu manis, cengkeh, pala,
ketumbar, serai, kapulaga, bunga pekak, adas manis, daun jeruk, daun salam,
jahe, kunyit, dan bawang-bawangan menyatu; kita tahu bahwa yang mempertemukan
semuanya dalam sebuah masakan adalah sejarah panjang dakwah dan ukhuwah.
Konon
mengambil namanya dari Kabul ketika Kekaisaran Islam Mughal
memerintah anak benua, nasi kebuli adalah hidangan kesukaan para perantau
Hadhramaut yang demi khidmahnya pada agama tertebar antara Gujarat di
pantai barat India hingga Maluku Utara. Di jazirah nyiur melambai, susu kambing
diganti santan, dan bumbu rempah yang semula hanya satu dua diperkaya hingga
lebih duapuluh macamnya. Sambal goreng hati, pacri nenas, emping, dan
acar-acaran ditambahkan.
Dengan
nampan besar yang dikepung bersama, Nasi Kebuli meneguhkan persaudaraan yang
ditenun dari keakraban menikmati rizqi, memuji Allah atasnya, dan membicarakan
hal-hal baik dalam suasana kekeluargaan. Berkahnya bertambah-tambah seperti
sabda Nabi ﷺ:
Makanan
jatah satu orang cukup untuk dua orang. Makanan jatah dua orang cukup untuk
empat orang. Sedangkan makanan jatah empat orang cukup untuk delapan orang.
[HR. Tirmidzi No.1743]
@salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar