Minggu, 11 Desember 2016

Sarapan

“Dalam pagi; air masih dingin, udara masih bersih, lalat masih sedikit; sarapanlah, agar hatimu tak tamak pada rizqi orang lain.” (Imam Asy Syafi’i)

 

Jika diniatkan sebagai sumber tenaga untuk mendayai ketaatan, betapa tingginya nilai ibadah dalam sarapan. Jika diniatkan untuk meraih keberkahan waktu pagi yang didoakan oleh Sang Nabi, betapa besarnya maslahat sarapan, dan betapa banyak mafsadat, penyakit, juga gangguan yang menyingkir dari badan.

 

Dan jika diniatkan untuk menjaga diri dari syahwat yang tamak lagi rawan dengki terhadap rizqi yang dianugerahkan pada sesama insan, betapa zuhudnya orang yang sarapan.

 

Adalah muallif kitab Tafsir Al Ibriz, Allahuyarham Kyai Bisyri Mustofa (Ayahanda Gus Mus), memiliki satu kebiasaan yang beliau nasehatkan pada para muballigh yang ke sana-kemari mengisi pengajian. “Makanlah dulu”, ujar beliau, “Agar hati kita tak berharap mendapat suguhan.” Ini rupanya bagian dari falsafah hidup beliau yang diistilahkan sebagai “ihtiraas”. Ini bukan sekedar wara’, yang bagai jurus melipir menghindar dari yang haram, syubhat, ataupun mubah namun berlebihan. Ihtiraas lebih seperti benteng yang melindungi diri dari aneka serangan lawan yang jelas adalah syaithan.

 

Di zaman ketika banyak tokoh politik mendatangi para kyai pengasuh pesantren & memberi hadiah yang tentu harus dibayar dengan dukungan atau setidaknya sikap diam terhadap penyimpangan, beliau membeli beberapa mobil sekaligus yang dijajarkan di halaman. Tak banyak yang tahu, mobil-mobil itu sebenarnya hanya 1 yang bisa jalan. Yang lain hanya ‘rongsokan’ yang dipoles agar layak dipandang. “Buat apa?”, tanya orang dekatnya. “Biar dikira kaya.” “Kalau sudah dikira kaya terus kenapa?” “Biar tidak ditawari uang.” “Lha kalaupun ditawari kan tinggal ditolak.” “Lha aku khawatirnya kalau pas ditawari, akunya lagi punya kebutuhan. Lebih aman kalau dikira kaya biar tidak usah ditawari sekalian.” Rahimahullahu rahmatan wasi’ah.

 

Ketika beras, santan, kismis, minyak samin, jintan, kayu manis, cengkeh, pala, ketumbar, serai, kapulaga, bunga pekak, adas manis, daun jeruk, daun salam, jahe, kunyit, dan bawang-bawangan menyatu; kita tahu bahwa yang mempertemukan semuanya dalam sebuah masakan adalah sejarah panjang dakwah dan ukhuwah.

 

Konon mengambil namanya dari Kabul ketika Kekaisaran Islam Mughal memerintah anak benua, nasi kebuli adalah hidangan kesukaan para perantau Hadhramaut yang demi khidmahnya pada agama tertebar antara Gujarat di pantai barat India hingga Maluku Utara. Di jazirah nyiur melambai, susu kambing diganti santan, dan bumbu rempah yang semula hanya satu dua diperkaya hingga lebih duapuluh macamnya. Sambal goreng hati, pacri nenas, emping, dan acar-acaran ditambahkan.

 

Dengan nampan besar yang dikepung bersama, Nasi Kebuli meneguhkan persaudaraan yang ditenun dari keakraban menikmati rizqi, memuji Allah atasnya, dan membicarakan hal-hal baik dalam suasana kekeluargaan. Berkahnya bertambah-tambah seperti sabda Nabi :

 

Makanan jatah satu orang cukup untuk dua orang. Makanan jatah dua orang cukup untuk empat orang. Sedangkan makanan jatah empat orang cukup untuk delapan orang. [HR. Tirmidzi No.1743]



@salimafillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar