Kama takunu yuwalla 'alaykum. Sebagaimana keadaan kalian, maka begitulah pemimpin yang lahir di tengah kalian. Kata-kata ini disangkal oleh para asatidz sebagai perkataan Rosululloh. Ini hanyalah perkataan hikmah Hasan Al-Bashri yang bertemu dengan realita. Seperti kualitas pohon, tumbuhnya tergantung kesuburan tanah. Begitulah profil yang memimpin umat manusia, ia adalah cerminan rakyatnya. Dan benarlah kata-kata hikmah tersebut.
Di sebuah grup whatsapp, seorang teman mengajak introspeksi bahwa pemimpin bangsa ini yang sering diprotes di media sosial, tak lain adalah cerminan rakyatnya juga. Apalagi proses pemilihan pemimpin di negeri ini dilakukan dengan langsung melibatkan rakyatnya. Dari ketua RT hingga Presiden, suara rakyat menjadi penentu. Sehingga wajar bila pemimpin yang hadir adalah representasi selera dan keadaan masyarakat.
Tapi mengapa pemimpin yang sudah mirip dengan rakyatnya itu masih sering dipermasalahkan juga? Mungkin memang sifat rakyat negeri ini suka menyalahkan. Apa pun pemimpin yang muncul, akan sering menerima kritikan. Dan begitu pula pemimpinnya. Contohnya, pemerintahan yang telah berlalu menjadi bulan-bulanan dipersalahkan oleh rezim yang sekarang. Klop kan?
Namun dengan aksioma “kama takunu yuwalla ‘alaykum” itu, penulis berbaik sangka kepada Alloh, bahwa sedang berjalan skenario perbaikan untuk umat Islam di negara ini melalui kehebohan yang terjadi belakangan. Tepatnya, pada rangkaian pilkada DKI hingga kasus penistaan Al-Qur’an oleh gubernur petahana. Melalui kasus itu Alloh ingin menguji sekaligus mempersiapkan pemimpin terbaik buat umat Islam Indonesia.
Ayat yang Saling Terhubung
Tulisan ini terinspirasi oleh grafis yang beredar di media sosial, berupa terjemahan ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah 51 hingga 54. Grafis itu diedit dengan ditambahkan keterangan, tanpa mengubah arti. Dari keterangan ini, terlihatlah ayat 51-54 itu saling terhubung.
Al-Maidah ayat 51 semakin popular belakangan ini. Apalagi sejak “peristiwa Kepulauan Seribu.” Benang merahnya (kata ini juga sedang populer, ya?), seperti yang tertulis dalam grafis yang saya singgung itu, adalah larangan memilih pemimpin kafir.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zholim.” (QS. Al-Maidah: 51)
Dilanjutkan dengan ayat berikutnya yang menyitir tentang keberpihakan orang munafik kepada orang kafir dengan menampakkan rasa inferiority complexnya. Terlihat kekerdilan jiwa kaum munafik sehingga menimbulkan ketakutan yang tak beralasan.
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana." Mudah-mudahan Alloh akan mendatangkan kemenangan (kepada Rosul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS. Al-Maidah: 52)
Lantas terbitlah keheranan umat Islam terhadap pihak yang selama ini dianggap saudara seiman, yaitu orang-orang munafik tadi.
“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Alloh, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah: 53)
Hingga kemudian datanglah mekanisme seleksi dari Alloh. Ia 'Azza wa Jalla memperbaharui umat ini dengan generasi yang baik, menggantikan generasi yang Alloh anggap “murtad.”
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Alloh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Alloh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Alloh Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54).
Mentadaburi itu, kita akan mendapatkan kesinambungan tema antar ayat. Dan lebih memukau lagi, ayat itu mencerminkan kondisi terkini di negara ini. Pas sekali dengan tema pilkada DKI hingga kasus penistaan yang dilakukan oleh gubernur petahana.
Seleksi Allah dan Kebangkitan Generasi Pengganti
Umat muslim terbelah dalam menyambut seruan Al-Maidah 51. Bahkan mereka terbelah juga menyikapi kasus pelecehan Al-Qur’an. Lantas ada pihak yang mengaitkan ayat 51 sampai 53 surat Al-Maidah dengan kondisi terkini. Ayat-ayat tersebut memang turun di Madinah. Namun sejarah terus berulang. Dan ibroh (pelajaran) Al-Qur’an berlaku sepanjang zaman.
Satu hal yang harus diperhatikan, kalau pun ada kesesuaian kondisi, tidak lantas menghalalkan seseorang memvonis munafik secara serampangan terhadap muslim lain yang membela gubernur DKI petahana! Memberi peringatan dengan Al-Maidah 52 boleh saja, tapi jangan sampai memvonis munafik.
Kalau benar ada kesesuaian, kita bisa berbaik sangka kepada Alloh bahwa ini adalah cara untuk memunculkan pemimpin yang pro kepada umat Islam. Jalannya, dengan hadirnya generasi pengganti seperti yang disebutkan dalam surat Al-Maidah 54, yang menyeleksi orang-orang yang mengaku muslim yang tidak berpihak kepada umat Islam. Generasi ini akan Alloh berikan posisi yang kuat di negeri ini, dan Alloh munculkan di tengah mereka seorang pemimpin. Sehingga aksioma “kama takunu yuwalla `alaykum” berlaku bagi mereka.
Mungkin masih panjang perjalanan ke arah sana. Tapi tak kan sia-sia bila sejak sekarang kita menyelaraskan kriteria yang telah Alloh firmankan dalam ayat tersebut.
Yang asasi dalam rangkaian kriteria itu adalah adanya rasa cinta kepada Alloh swt. Rasa ini lahir dari keimanan yang mendalam, ibadah yang intens, dan kepengenalan terhadap Alloh yang cukup baik. Rasa ini akan disaingi oleh cinta pada dunia dan hal selain karena Alloh. Lantas terjadi persaingan untuk menempati hati seorang hamba. “Tidaklah Alloh Ta’ala menjadikan pada diri seseorang dua hati dalam satu rongganya.” (QS. Al-Ahzaab: 4)
Dan Alloh akan merespon rasa cinta hamba-Nya. Sabdanya dalam hadits Qudsi, “Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal maka Aku mendekat kepadanya sehasta. jika ia mendekat kepadaKu sehasta maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil" (HR. Bukhori)
Kriteria selanjutnya dalam Al-Maidah 54 adalah bersikap lemah lembut kepada sesama muslim. Orang seperti ini akan pro dengan agenda umat Islam. Tidak antipati kepada setiap yang berbau Islam, tidak berburuk sangka kepada ulama, atau membenci muslim yang berjuang untuk agenda Islam di berbagai bidang dan metode.
Kriteria ini juga menyaratkan perilaku lemah lembut dalam menasehati umat Islam. Tidak dengan cara mudah menuduh ahli bid’ah, apalagi kafir, kepada muslim ahlus sunnah yang berbeda pendapat.
Selanjutnya adalah bersikap tegas kepada propaganda dan agitasi kemungkaran yang banyak dibela oleh orang kafir. Tentu dengan sikap yang terukur. Menerima kebhinnekaan tidak bertentangan dengan ayat ini. Tetapi sikap keras yang dibutuhkan pada kondisi sekarang terutama untuk melawan agenda penyesatan kepada umat Islam yang disebar melalui berbagai media.
Kriteria selanjutnya adalah berjihad, dengan berbagai dimensi jihad yang sesuai dengan situasi yang diperlukan. Muslim di Indonesia ada yang berjihad di bidang pendidikan, ada yang di bidang ekonomi syariah, kampanye melawan korupsi, hingga politik. Muslim yang aktif bergerak dengan segenap kemampuannyalah yang diinginkan oleh ayat Al-Maidah 54 ini.
Dan terakhir, generasi pengganti itu bermental baja. Tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela, di media sosial dan kehidupan nyata. Mereka tidak takut melawan cyber bullying dari pihak-pihak yang kontra terhadap agenda dan opini umat Islam.
Generasi ini semoga segera hadir. Semoga benar, ujian Alloh melalui gubernur petahana DKI Jakarta yang disanjung-sanjung media itu menjadi jalan bagi lahirnya generasi ini. Yaitu pihak yang tak terpengaruh pencitraan media, kokoh menyuarakan kebenaran, dan bersama dengan opini umat Islam.
Pilihannya kepada kita hanya dua, apakah membersamai mereka dalam perilaku dan karakteristiknya, atau menjadi generasi yang terseleksi. Insya Alloh, generasi pengganti ini adalah blue print rakyat Indonesia ke depan. Dan dari mereka akan hadir pemimpin yang adil. Sebagaimana aksioma, “Kama takunu yuwalla 'alaykum”.
Zico Alviandri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar