Sabtu, 10 Desember 2016
Gerilya
Selain
catatan pendek pengalaman Mao di Tiongkok, kisah-kisah T.E. Lawrence di Timur
Tengah, dan memoar Che Guevara yang terbit kemudian; buku ‘Fundamentals of
Guerilla Warfare’ karya Jenderal Besar A.H. Nasution adalah panduan gerilya
dahsyat yang hingga kini menjadi buku pegangan di berbagai akademi militer
terkemuka dari Breda di Belanda, Sandhurst di Inggris, hingga Westpoint,
Amerika Serikat.
Ditulis
pada tahun 1953, buku ini adalah saripati pengalaman Pak Nas ketika memimpin
Divisi Siliwangi dalam Perang Bandung Lautan Api, namun juga lebih-lebih
pembelajaran yang dia dapat dari Panglima Besar Jenderal Sudirman melalui
sejawatnya, Ahmad Yani.
Sanad
ilmu gerilya ini rupanya naik terus ke atas, karena Sudirman mendapatkannya
dari gurunya, KH. Busyro Syuhada’ yang dengan aliran pencak silat banjarannya
adalah pendiri beladiri Tapak Suci di Persyarikatan Muhammadiyah. KH. Busyro
berayahkan KH. Syuhada, putra KH. Musa dalam pernikahan dengan seorang
bangsawati hebat bernama Raden Ayu Muntheng.
Ketika
menikah dengan KH. Musa, Raden Ayu Muntheng adalah janda dari salah seorang
panglima tertangguh Perang Jawa (1825-1830) dari keluarga Danureja-Sindunegara,
Raden Basah Abdul Kamil Mertanegara. Ah, saya hampir lupa menyebut hal
terpenting ini; Raden Ayu Muntheng adalah putri sang pemimpin agung gerilya
terhebat yang menewaskan 15.000 serdadu Belanda dan membangkrutkan keuangan
Pemerintah Jajahan itu; Pangeran Dipanegara.
Ilmu
tentang gerilya melalui sanad ini telah mengilhami perlawanan dahsyat terhadap
imperialisme di berbagai negeri, dari Amerika Selatan, Vietnam, hingga
Afghanistan.
Semalam,
kami berbincang dengan Ki Roni Sodewo, ketua Paguyuban Trah Pangeran Dipanegara
(Patrapadi) yang juga sedang ‘bergerilya’ menghimpun keluarga sang mujahid yang
kini tersebar di penjuru dunia. Gerilya Ki Roni juga mencakup upaya
membangunkan kesadaran sejarah anak-anak bangsa, agar mereka menangkap ‘api’
dan ‘cahaya’ dari pengalaman masa lalu, bukan hanya sehirup ‘asap’ dan secoreng
‘arang’ seperti yang terasa dalam pengajaran sejarah di sekolah. Gerilyanya
dilengkapi dengan pendirian Yayasan, penelitian di mana Sentot dan Sang
pangeran sendiri bersama 700 pasukan nyaris dihancurkan oleh pasukan 3 komandan
Kolone Mobil Belanda; Kolonel F.D. Cochius, Letkol. Le Bron De Vexela, dan
Sollewijn.
Pada Oktober 1829, Sentot akhirnya berhasil dibujuk Belanda melalui
kakaknya, Bupati Wedana Mancanegara Timur, Rangga Prawiradiningrat dari Madiun
untuk menghentikan perang. Semula Sentot mengira, syarat berat yang dia ajukan
ke Belanda seperti 500 kuda pilihan, 1000 seragam bersorban, ransum terbaik,
tidak minum khamr, hingga pangkat Kolonel, akan ditolak. Tapi Belanda ternyata
rela membayar semua itu demi berakhirnya perang dan takluknya panglima perang
paling mematikan ini.
Dengan sedih Sang Pangeran kehilangan Sentot yang lalu dikirim ke Sumatera
untuk berperang dengan kaum Paderi yang belakangan dia sadari ternyata adalah
saudaranya. Sentot menolak melanjutkan pertempuran di Minangkabau, lalu dia pun
dibuang ke Bengkulu.
Rahimallaahul mujaahidiina fii kulli makaan, fii kulli zamaan.
@salimafillah
Cara pertama untuk menyampaikan kebaikan adalah menjadi orang baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar