Minggu, 11 Desember 2016
Gelombang dan Lautan
Alkisah,
demikian Mitch Albom menuturkan sebuah hikayat dari mahagurunya dalam Tuesdays
with Morrie, sebuah gelombang kecil asyik bermain enjot-enjotan di tengah
lautan.
Ia
naik dan turun. Ia maju dan mundur. Ia berputar dan bergulung-gulung. Ia
berayun-ayun. Ia begitu bahagia seolah segalanya takkan berakhir. Dengan riang
ia nikmati angin sejuk dan udara basah yang bertiup lembut. Begitu segar
sepoi-sepoi.
Begitulah
sampai suatu saat dalam jarak yang tak lagi jauh dari pantai, ia menyaksikan
gelombang-gelombang lain di depannya pecah, terhempas berhamburan begitu
menyentuh daratan. Pada akhirnya, semua akan hancur berantakan. Tak wujud lagi.
Tanpa bekas. Tak berjejak. “Oh Tuhan”, ujarnya bergidik, “Alangkah mengerikan.”
Ia memandang dirinya. Ia memang merasa lebih besar kini dibanding tadi ketika
masih di tengah samudra. Tapi apa artinya bertambah ukuran jika kebinasaan
telah begitu dekat? “Lihat!”, pekiknya ketakutan saat menatap tepian, “Akan
seperti mereka itukah nasibku nanti?” Sebuah gelombang lain yang lebih dewasa
segera menjajarinya. Melihat kemurungan di wajah saudaranya itu, bertanyalah
gelombang kedua kepada yang pertama. “Ada apa denganmu? Mengapa engkau tampak
begitu sedih hingga tubuhmu menciut lagi?” Sang gelombang pertama menukas
sendu. “Engkau tidak mengerti!”, katanya dengan nada putus asa, “Semua
gelombang seperti kita akan memukul karang-karang pantai. Kita semua pasti akan
kalah, pecah, terhambur, dan hancur. Tidakkah kau sadar bahwa kita semua akan
binasa dan lenyap tanpa sisa? Tidakkah itu mengerikan?” Gelombang kedua
tersenyum. “Kawan”, ujarnya dengan mesra, “Ketahuilah bahwa engkau bukanlah
gelombang. Engkau adalah bagian dari lautan.” Semenjak membaca kisah ini, kita
pasti akan menatap takjub betapa sosok demi sosok ombak tak takut hancur
dipecah karang. Itu sebab mereka insyaf diri sebagai bagian tak terpisahkan
dari samudera akbar yang terus bergelora.
Begitulah
kita dalam dekapan ukhuwah, diberikan peran-peran sejarah oleh jama’ah untuk
bergerak, memberi pemandangan indah pada dunia. Tetapi hakikatnya kita semua
adalah bagian dari satu ummat sebentuk lautan dengan keagungan tak bertepi.
Dalam
dekapan ukhuwah, sebuah kesadaran menyeruak bahwa kita yang merasa seagung
gelombang, sedahsyat ombak, atau seriuh riak, hakikatnya hanyalah bagian dari
lautan. Dan di sanalah, dalam penyatuan itu, kita menjadi bernilai. “Tangan
Allah,” demikian sabda Rasulullah saw yang dibawakan Imam At-Tirmidzi, “Ada
bersama jama’ah.”
@salimafillah
Cara pertama untuk menyampaikan kebaikan adalah menjadi orang baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar