Minggu, 11 Desember 2016
Memuji dan Dipuji
Memuji
makhluq itu bisa benar atau keliru; bisa menyemangati atau merusak. Memuji
Khaliq itu benar, menyelamatkan, berpahala, dan menambah nikmat.
Cara
memuji yang paling indah adalah dengan mendoakan. Cara mencela yang paling
mulia adalah dengan memberi teladan berkebajikan.
Kurang
dzikir mengagungkan Allah membuat kita suka memulia-muliakan diri; kurang
syukur atas karunia Allah membuat kita suka menghebat-hebatkan diri.
Di
antara yang perlu dibuang dari jiwa ini: suka dipuji atas yang tak dipunyai;
suka dibayar atas yang tak dikerjakan; dan marah jika dicela atas ‘aib yang
nyata.
Dipuji
orang bukan jaminan baiknya kita. Memuji diri lebih sering menunjukkan bahwa
diri ini hina. Celaanpun hakikatnya masihlah pujian jika aslinya diri lebih
mengerikan.
Pujian
untuk insan shalih dan taqwa dari sesamanya mungkin kabar gembira seiring
pahala; tapi tetap saja ia parfum; boleh dicium tapi jangan diminum.
Lima
dari enam huruf dalam PUJIAN adalah UJIAN; hanya sedikit yang lulus dengan
menghayati bahwa “Segala puji HANYA bagi Allah; Rabb Semesta Alam.” Sedikit
yang dapat dipelajari dari pujian; hinaan justru lebih banyak hikmahnya.
Menyedikitkan bercerita tentang pujian yang kita terima; akan membubarkan
dengki dan mewajarkan kagum.
Pernah
‘Umar ibn Al Khaththab tiba-tiba meminta Aslam budaknya memikulkan karung
tepung kasar ke pundaknya. “Sebab sejenak tadi aku kagum pada diri”, ujarnya.
Pesan
Imam Asy Syafi’i: “Jika ada yang memujimu atas apa yang tiada padamu saat
senangnya; jangan terkejut kalau dia juga mencelamu atas yang tiada padamu saat
marahnya.” Ada doa kala dipuji sebagaimana Abu Bakr Ash Shiddiq konon suka
membacanya:
يظنون مما خيرا اجعلني اللهم
“Ya Allah; jadikan aku lebih baik dari
sangkaan mereka; jangan siksa aku sebab pujian mereka; dan ampuni pada cela
yang mereka tak mengetahuinya.”
@salimafillah
Cara pertama untuk menyampaikan kebaikan adalah menjadi orang baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar