Jika di dalam kitab suci agama lain sebuah kisah disebutkan secara rinci dan detail (nama, tempat, waktu dll), maka tidak demikian halnya dengan kisah-kisah di dalam Al-Qur'an. Banyak kisah di dalam Al-Qur'an yang hanya menyebutkan peristiwanya saja, tanpa menyebutkan nama pelaku, waktu dan lokasi kejadian. Salah satu hikmahnya adalah agar kaum muslimin menyadari bahwa kisah-kisah seperti itu akan terus terjadi dan berulang. Dengan konsep ini, Al-Qur'an benar-benar menjadi pegangan dan pedoman, bukan hanya menjadi asaatiirul awwaliin.
Diantara kisah yang tidak diperinci di dalam Al-Qur'an adalah kisah ashabul ukhduud. Yakni berupa pembantaian kepada orang-orang beriman oleh raja dan pengikutnya yang zholim. Hingga akhirnya mereka membuat parit untuk membakar seluruh kaum muslimin (tindakan genocide). Apa kesalahan mereka? Tidak ada, selain bahwa mereka beriman kepada Alloh. Kisah ashabul ukhduud sendiri sangat panjang dan menarik untuk dibahas, terlebih jika menggunakan analisis fikih tamkin. Nanti jika kita bisa berkesempatan bersua langsung di dalam majelis, boleh dibahas secara panjang, lebar, dan luas.
Genocide Era Modern
Apakah kisah-kisah seperti ashabul ukhduud masih terus terjadi di era modern? Yup, betul. Masih terus terjadi. Zaman mungkin sudah berganti, aktor mungkin sudah beralih, tapi kisahnya masih terus saja terjadi. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Slobodan Miloshevic melakukan pembantaian kaum muslimin di Bosnia Herzegovina. Entah berapa juta kaum muslimin disana dibantai. Meski disebut-sebut sebagai tragedi kemanusiaan di Eropa terburuk di era modern, tapi seperti biasa, dunia hanya diam membisu.
Kita masih ingat bagaimana Ariel Sharon melakukan pembantaian di Shabra dan Shatilla, Palestina. Ribuan rumah dibakar, ribuan kaum muslimin dibantai dan dibakar, ribuan penduduk asli diusir. Lalu mereka menggunakan klaim hak historis untuk pembenar aksi brutalnya. Mulai dari klaim bangsa terpilih, klaim tanah yang dijanjikan, mitos tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah dll. Lah, pusing kalau menuruti klaimnya mereka. Karena sebenarnya, itu hanya pembenar dan dalih tanpa dasar.
Sekarang ini, tragedi kemanusiaan atas umat Islam terjadi di depan mata kita. Sejak SMA, kami sudah mengetahui ada hal yang salah disana, khususnya di Pattani, Rohingya dll. Ada perbantuan dari KMM (Kumpulan Mujahidin Malaysia) untuk membantu kaum muslimin yang tertindas, tapi pergerakannya memang terbatas. Sekarang, pembantaian demi pembantaian terus menerus terjadi disana. Baik kita sebagai orang Islam atau sebagai kaum Pancasilais, haram hukumnya untuk diam membisu.
Menjaga Nurani
Banyak hal bisa kita lakukan untuk merespon situasi ini, kami tidak perlu mengajari. Namun hal minimal adalah mendoakan mereka yang menjadi korban sekaligus menunjukkan keberpihakan bagi mereka. Karena di masa sekarang, masih banyak kita dapati kaum muslimin yang abai dan tidak peduli dengan urusan-urusan seperti ini. Mungkin mereka lupa dengan wasiat nabi, man lamyahtim bi amril muslimiin, falaisa minnaa.
Kita juga bukan sedang memindahkan situasi yang sama ke Indonesia. Misalnya, kita membalas aksi mereka di Birma dengan meledakkan candi Borobudur atau ganti membantai mereka disini. Gunakan ayat-ayat perang di negeri yang sedang berperang, gunakan ayat-ayat damai di negeri yang berada dalam situasi damai. Kita harus paham, bahwa nabi kita menjamin keselamatan dan hak-hak kafir dzimmi yang tinggal di negeri muslim.
Situasi ini sangat baik untuk diambil pelajarannya bagi kita. Bahwa kaum muslimin di Indonesia sesungguhnya sangat toleran, berbeda dengan persepsi yang dikembangkan oleh kaum intoleran. Situasi ini juga menjadi warning buat kita agar bisa menjadi golongan yang kuat dan berjaya. Karena begitu luntur karakter dan identitas kita sebagai kaum muslimin sejati, hal serupa ini sangat mungkin akan terjadi di negeri kita. Tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Ambon, sangat mungkin akan bergeser ke wilayah lain.
Situasi ini juga menjadi perhatian bagi kita agar selalu menjadi generasi yang unggul. Karena jika kita lemah, dengan segera Alloh akan menggantinya dengan generasi yang lebih kuat. Mungkin, ada darah yang harus tertumpah dalam proses pergantian itu. Kaum muslimin di Bosnia dulu tidak terlalu taat dalam beragama. Perilakunya mirip dengan orang Eropa pada umumnya. Setelah terjadi genocide, mayoritas mereka menjadi kaum muslimin yang taat dan kuat. Sebuah generasi yang mencintai Alloh dan Alloh pun mencintai mereka.
Melalui tragedi kemanusiaan di Birma yang sangat menyayat hati ini, kita mendoakan agar mereka yang menjadi korban bisa mendapatkan surga yang Alloh janjikan. Sebagaimana balasan Alloh kepada mereka yang jadi korban dalam kisah Ashabul Ukhduud. Tidak lupa, kita juga mendoakan, agar disana kelak lahir generasi muslim yang militan dan kuat. Sebagaimana generasi muslim yang saat ini menempati wilayah Bosnia Herzegovina. Wallohu a'lam.
Eko Junianto, ST
Tidak ada komentar:
Posting Komentar