Alloh memberikan kepercayaan kepada kita untuk meneruskan risalah para nabi, khususnya misi dan ajaran Nabi Muhammad saw. Suatu penghargaan besar dari Alloh swt yang telah mentakdirkan kita menjadi hamba-hamba-Nya yang dapat berhimpun dalam gerakan dakwah; sebab jika kita hormati penghargaan Ilahi ini, kita respon positif amanat tersebut, insya Alloh, hasil dan dampaknya tak akan sia-sia, kemuliaan dunia akhirat akan diberikan sesuai dengan janji Alloh swt:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ (30) نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ (31) نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ (32) وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (33)
Penghargaan Alloh terhadap kita tersebut bukan untuk dibanggakan, lalu merasa tinggi hati, apalagi ujub –na’udzubillah min dzalik- terhadap diri dan menyombongkan diri dengan meremehkan orang lain. semua itu perbuatan terlarang, bahkan tidak pantas rasanya seorang yang diberikan kemuliaan sebagai dai melakukan sikap dan perbuatan itu.
Lebih dari pada itu, sikap dan perilaku sombong, serta merasa tinggi hati mengakibatkan kerusakan struktur hubungan antara sesama. Bayangkan! Jika manusia saling merendahkan dan meremehkan yang satu dengan yang lainnya. Tidak saling hormat, tidak ada kewibawaan, tidak ada trust (saling tsiqoh), tidak ada etika, tidak menghormati tata susila, apa jadinya kehidupan ini jika itu yang terjadi?
Apa gerangan yang membuat seseorang menjadi sombong, merasa tinggi, merasa lebih hebat dari orang lain? Ilmu yang dimilikinya? Tidak ada yang harus dibanggakan dari ilmu yang kita miliki. Ilmu itu pada hakikatnya milik Alloh, Dia mengajarkan kepada kita sedikit dari ilmu-Nya, maka justru ilmu itulah yang seharusnya memberikan rasa takut kepada Alloh:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
Atau seseorang bangga dan merasa tinggi hati karena amal-amal dan aktivitas ibadahnya yang begitu banyaknya? Bukankah seharusnya semakin tinggi keimanan seseorang dan ketaqwaannya, semakin ia merendahkan hatinya, baik ke hadirat Alloh swt, maupun kepada manusia (Adzillatin ‘alal Mu’minin a’izzatin ‘alal kafirin), rendah hati di hadapan orang beriman dan tegas di hadapan orang kafir. Nabi Muhammad saw saja sebagai khoiru kholqilloh (sebaik-baik makhluk Alloh) dan orang yang paling taqwa dari umatnya, masih dipesankan Alloh swt dalam firman-Nya:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِي
Bahkan merasa lebih banyak amalnya, lebih tinggi kedudukannya di dalam aktivitas dakwah karena merasa lebih dulu aktif dan lebih senior, akan membuat dirinya lebih hina dan lebih buruk dalam pandangan Alloh swt. Simaklah pesan-pesan teladan kita Nabi Muhammad saw:
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُم
حَسْبُ امْرِئٍ مِنْ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِم
Atau ada seseorang yang sombong hanya lantaran keturunan dan keluarga besarnya? La haula wala quwwata illa Billah.
Nabi Muhammad saw juga mengingatkan dalam sebuah hadits,
“Seorang yang berbangga dengan keturunannya, sungguh ia menjadi arang api neraka, atau lebih rendah dari hewan yang bermain-main di kotoran sampah” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, beliau meng-hasan-kan hadits ini).
Salah satu fikroh dakwah kita adalah “Salafiyah” yang menuntut kita untuk meneladani pendahulu kita yang shalih dalam sifat rendah hati mereka. Tidak ada yang merasa lebih hebat betapapun tinggi ilmu yang mereka miliki. Mereka tidak merasa lebih senior betapapun mereka lebih dahulu berbuat dan aktivitas jihad mereka lebih banyak.
Kepemimpinan Nabi Muhammad saw. memberikan keteladanan kepada umatnya dalam sikap tawadhu’, sebagaimana berita yang diriwayatkan Anas bin Malik, ia berkata,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ
“Meskipun (kita tahu) bahwa para sahabat adalah orang yang paling cinta kepada Rosululloh, namun mereka tidak pernah berdiri menyambut kedatangan Rosululloh saw, karena mereka tahu bahwa hal itu tidak disenangi Nabi saw” (HR. Tirmidzi, hadits hasan).
Aduhai… siapa yang tidak mengenal Abdur-Rohman bin Auf yang sangat disegani di kalangan kaumnya. Namun kepiawaian dan kesenioran beliau tidak membuat dirinya tinggi hati sampai kepada pelayannya sekalipun, hal itu dikisahkan oleh sahabat Abu Darda’, “…..Abdur-Rohman bin Auf sulit dibedakan dengan pelayannya, karena tidak nampak perbedaan mereka dalam bentuk lahiriyahnya”.
Duduk sama rendah berdiri sama tinggi, kira-kira peribahasa itulah yang digunakan. Demikian pula kehebatan Imam Hasan Basri dalam ilmu agama tidak memperdayakan dirinya menjadi seorang yang ‘sok’ atau merasa lebih hebat di hadapan teman-temannya. Suatu saat Hasan Basri berjalan dengan beberapa orang, orang-orang itu berjalan pada posisi di belakang Hasan Basri, maka Hasan Bashri pun mencegah mereka (melakukan itu), seraya berkata, “Tidak benar hal ini dilakukan setiap hamba Alloh?”.
Sosok tabi’in seperti Abu Sofyan ats-Tsauri ternyata juga benar-benar teruji sifat tawadhunya. Saat beliau berkunjung ke Ramallah (di Palestina), Ibrohim bin Ad-ham mengutus seseorang kepada Sofyan untuk meminta agar ia datang bersinggah ke rumahnya, seraya berkata, “Wahai Sofyan kemarilah untuk berbincang-bincang”. Sofyan pun mendatangi Adham. Ketika Adham ditegur seseorang “Mengapa kamu berbuat demikian”. Adham menjawab “Saya ingin menguji ke-tawadhu’- annya”.
Demikian pula jabatan dan kedudukan tidak layak dijadikan alasan untuk berbangga diri apalagi membusungkan dada “akulah orang besar”.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa 'Umar bin 'Abdul 'Aziz ra kedatangan seorang tamu saat ia sedang menulis, saat lampu padam karena terjatuh, sang tamu pun berkata: Biarkan aku ambil lampu itu untuk aku perbaiki! 'Umar Sang Kholifah berkata: Tidak mulia seseorang yang menjadikan tamunya sebagai pelayan. Tamu itu berkata lagi, “Atau saya minta bantuan anak-anak.” 'Umar Amirul Mukminin berkata: Mereka baru saja tidur (jangan ganggu mereka)”. Kemudian Sang Kholifah pun beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil lampu itu dan memperbaikinya sendiri. Tamu itu terheran-heran seraya berseru, “Wahai Amiril Mukminin, engkau melakukannya itu sendiri?” Amiril Mukminin berkata, “Saat saya pergi saya adalah 'Umar, saat saya kembali pun saya adalah 'Umar, tidak kurang sedikit pun dari saya sebagai 'Umar. Sebaik-baik manusia adalah yang tawadhu di sisi Alloh swt.” Subhanalloh……
Orang-orang yang berhimpun dalam mahabbah dan keridhoan Alloh sejatinya mengenyahkan sifat sombong, ‘sok’, senioritas apalagi figuritas. Hiasilah diri Antum dengan tawadhu’, rendah hati, selalu merasa memerlukan tambahan ilmu, pengalaman dan merasa saling butuh dengan sesama ikhwah lainnya.
Akhirnya, ikhwah fillah terimalah taujih Robbani ini:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا (37) كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا (38)
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekalikali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi Tuhanmu (Qs. Aِِl-Isro’: 37-38). Wallohu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar