Patung berkuda itu mengacungkan telunjuknya, tepat ke arah istana.
Lelaki yang ternyata berdarah Jawa, sekaligus Madura, sekaligus Sumbawa
itu memang lambang perlawanan yang tak padam. Penangkapannya secara khianat di
Magelang pada 1830 kian menjadikannya nyala di dada anak bangsa, bahkan hingga
zaman kita.
Pada 1955, Presiden Soekarno memerintahkan agar Haul yang ke-100 putra
sulung Sultan Hamengkubuwana III ini diperingati secara kenegaraan. Hajatan itu
dilengkapi pula dengan penulisan buku-buku tentangnya oleh para jamhur; Prof.
Yamin, Prof. Soekanto, dan menyusul Dr. Sagimun. Kelak, ketika Monumen Nasional
berdiri pula, seorang Konsul Italia pengagumnya Dr. Mario Pitta mengamanahi
pemahat masyhur Cobertaldo membuat patung itu sebagai wakil para pejuang untuk
terus memberi nasehat pada penghuni istana yang memang bangunannya warisan
Belanda itu.
Dengan nyala api emas di puncak Monas melatarinya, sumbangan dari
pengusaha Aceh yang karena ketulusan hanya dapat diterka namanya sebagai Teuku
Markam, Pangeran Dipanegara yang berbusana jubah dan sorban itu masih
mengacungkan telunjuk ke istana.
Sebab ada amanat yang dititipkan para bapak bangsa melalui Maqashid Asy-Syari'ah (tujuan
diturunkannya syari’at) yang dharuriyat alias paling pokok untuk menjadi dasar
negara kita. Lima hal itu; pertama adalah Hifzhud Diin (Menjaga Agama) yang
disederhanakan dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua Hifzhun Nafs (Menjaga
Jiwa) yang diejawantahkan dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga
Hifzhun Nasl (Menjaga Kelangsungan) yang diringkas dalam sila Persatuan
Indonesia. Keempat Hifzhul ‘Aql (Menjaga Akal) yang diwujudkan dalam sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan. Dan kelima, Hifzhul Maal (Menjaga Kekayaan) yang diterjemahkan
dalam sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Inilah Pancasila dalam kalimat agung rumusan para 'ulama, dari KHA Wahid
Hasyim hingga Ki Bagus Hadikusumo, yang melampaui gagasan awal Yamin maupun
Soekarno tentang dasar negara, yang memang hanya terdiri atas sekata-sekata.
Ummat yang berulangkali mengalah dan bertenggangrasa sejak penghapusan 7 kata dari Piagam Jakarta,
berharap berhimpunnya mereka hari ini untuk mensyiarkan ibadah kepada Allah dan
tuntutannya akan keadilan mengingatkan para pemegang kuasa bahwa;
Menjaga agama adalah dasar terkokoh tegaknya
negara. Maka tegaknya hukum bagi penista risalah suci samawi apapun juga, tanpa
membeda-bedakan perlakuan satu dari lainnya, adalah mutlak kesegeraannya.
Menjaga jiwa kemanusiaan adalah dasar terindah
hidup berbangsa, sehingga tegaknya hikmah berkeadaban bagi yang serampangan
dalam lisan dan perbuatan terlebih dalam kedudukannya sebagai pemimpin hingga
tak layak jadi teladan, adalah niscaya.
Menjaga persatuan dan harmoni sebagai sebuah
keluarga adalah dasar terkuat hidup setumpah darah. Maka tegaknya sanksi bagi
yang tak peka menjaga kebhinnekaan dengan pelecehan, fitnah, dan ketaksenonohan
adalah semestinya.
Menjaga hikmat kebijaksanaan dan akal sehat
dalam menyelenggarakan pemerintahan maupun tugas kewargaan adalah dasar
terhebat menuju kemajuan. Maka tegaknya rasa keadilan masyarakat bagi yang tak
sudi berfikir panjang sebelum berucap dan berbuat adalah seharusnya.
Menjaga keadilan sosial adalah dasar
terpenting dalam menuju masyarakat yang makmur, setara, dan sejahtera. Maka
mengusut tuntas berbagai pelanggaran oleh yang punya kuasa dalam menzhalimi
hak-hak masyarakat miskin dan lemah demi keberpihakan pada para pemilik modal
tertuntut selekasnya.
@salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar