Sabtu, 24 Desember 2016

Mereka yang Terlambat

Selain masalah kualitas, salah satu cara menilai amalan adalah kesigapan. Yakni sikap untuk bersegera, responsif serta tidak menunda. Mereka yang ada di depan, umumnya lebih baik ketimbang mereka yang ada di belakang. Dan hal ini berlaku umum dalam banyak kasus, mulai dari shof sholat jama’ah hingga shof jihad. Dan memang begitulah rumus umum dalam amal kebajikan, yakni fastabiqul khoirot atau berlomba-lomba dalam kebaikan antara satu sama lain.

Bahkan pada beberapa kasus, kesigapan menjadi prestasi amal yang tidak bisa diikuti oleh siapa pun. Karena statusnya menjadi “Once upon a time”. Misalnya, kesigapan Ukasyah dalam merespon berita nabi, tidak bisa diikuti shahabat yang lain. Kesigapan Abu Dujanah dalam merespon tawaran nabi, tidak bisa diambil oleh shahabat yang lain. Karena itu wajar saja, jika ada shahabat yang tidak mau berbagi keutamaan kepada shahabat lainnya seperti Ibnu Abbas yang “egois” menghabiskan bekas air minum nabi sendirian.

Tapi bergembiralah, karena tidak ada istilah terlambat dalam amal kebajikan. Sebagaimana tidak ada istilah terlambat dalam belajar, maka tidak ada istilah terlambat pula dalam bertaubat, bersedekah dll. Jangan khawatir, ada juga kabar gembira untuk orang-orang yang kualitas ibadahnya baru bisa seperti kita (yang biasa menghuni barisan belakang). Diantaranya:

Pertama, Dalam Amal
Dalam urusan amal, kaum muslimin terbagi dalam tiga kelompok, yakni golongan zhoolimul linafsihi, muqtashid, dan saabiqum bil khoiroot. Kelasnya kita sudah tentu menjadi anggota dari kelompok zhoolimul linafsihi. Sebagaimana pengakuan kita dalam doa “Robbanaa zholamnaa anfusanaa” dan juga doa “Subhaanaka inni kuntu minazh zhoolimiin”.

Menariknya, pembagian golongan dalam beramal sebagaimana yang tertera dalam surat Al Fathir itu diletakkan dalam konteks “pewaris Al-Qur’an”. Dan kabar gembiranya ada pada ayat sesudahnya, yakni ketiga golongan itu pada akhirnya diberi karunia surga. Wajar saja jika 'Umar bin Khoththob ra menganggap bahwa ayat-ayat tersebut adalah ayat yang paling memberikan harapan didalam Al-Qur’an.

Kedua, Majelis Dzikir
Majelis dzikir itu majelis yang sangat mulia. Malaikat yang ada di langit saja sampai disuruh turun ke dunia untuk hadir dan membersamai majelis dzikir. Majelis dzikir disini tentu saja dalam konteks yang seluas-luasnya, termasuk majelis qur’an dan majelis ilmu.

Hadir di majelis dzikir membawa banyak fadhilah. Namanya dicatat oleh malaikat, namanya dibangga-banggakan Alloh di hadapan para malaikat, dicurahkan rahmat dan ampunan dll. Dan keutamaan itu berlaku umum kepada semua yang hadir, baik yang datang terlambat maupun yang hadir karena ada urusan lain. Asyik kan?

Ketiga, Masuk Surga
Orang yang pertama kali masuk surga, tentu saja adalah Rosululloh. Dari umat Islam, yang pertama kali masuk surga adalah Abu Bakar. Dan umat Islam, meskipun menjadi umat yang terakhir di dunia tapi menjadi umat yang pertama kali dihisab di akhirat. Baik, pertanyaannya sekarang, siapa orang yang terakhir kali masuk surga?

Tidak dijelaskan siapa namanya, tidak dijelaskan pula dari umat mana. Tapi kita tahu kondisinya, yakni dia diberikan karunia menjadi raja di empat dunia. Ya, benar. Itulah karunia untuk penghuni terakhir. Padahal para jenderal besar yang berstatus sebagai “penakluk dunia” seperti halnya Iskandar Zulkarnain saja hanya bisa menguasai sepertiga dunia. Di alam demokrasi, kita mengetahui ada orang-orang menghabiskan sejumlah harta yang sangat banyak, hanya untuk menjadi pemimpin di areal yang luasnya hanya secuil dunia.

Khotimah
Beberapa hal yang kami uraikan tentu bukan bermaksud melegitimasi agar kita menjadi “golongan masbuk”. Karena keterlambatan dan ketidakdisiplinan, jika tanpa alasan yang jelas juga hukumannya berat. Sebagaimana tergambar dari ancaman Nabi Sulaiman kepada burung hud-hud.

Namun sekedar refleksi dan renungan untuk kami pribadi. Juga untuk menguatkan kita agar tetap berada di kafilah kebaikan, meski berada didalam daftar absen terakhir. Tak peduli banyaknya masalah, beratnya beban maupun besarnya godaan.

Jangan sampai pindah ke lain hati. Fattaqullooha mastatho’tum.

Eko Junianto, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar