Kalau ada satu nama untuk disebut atas kontribusinya merobohkan
kekuatan Islam yang menjadi ruh perjuangan melawan penjajah, Christiaan
Snouck Hurgrounje barangkali yang paling cocok.
Snouck mengategorisasi permasalahan Islam menjadi 3 bagian: sebagai agama
ibadah murni, sebagai doktrin politik, dan sebagai pedoman sosial
kemasyarakatan. Pembagian ini akan menjadi dasar dari splitsingtheorie yang
masyhur itu.
Pada asasnya, Islam yang menjadi kekuatan melawan penjajah adalah ketika
bersifat komprehensif dan integral tanpa memisah-misahkan perannya sebagai “Hudaa”
dan “Diinul Haq” baik dalam ‘ubudiyah, sosial-ekonomi, maupun
politik-bernegara.
Maka Snouck menyarankan agar “Islam Beribadah” yang menjadikan agama
hanya ada dalam wilayah privat-individu didukung dan difasilitasi dengan baik.
Dalam tataran sosial kemasyarakatan, adat-istiadat “asli-primitif” harus
ditampilkan sekuat mungkin sebagai wacana tandingan atas pedoman
Islam. Dan puncaknya, mereka yang menjadikan Islam sebagai doktrin
politik dan semangat perlawanan adalah kaum fanatik yang harus dibasmi ke
akarnya dengan kebengisan maksimal, dengan besi dan api.
Mudah ditebak bahwa teori ini mengonsekuensikan politik belah bambu. Kaum
sekularis, para priyayi bangsawan, dan Islam abangan yang ada di cakupan
pertama dan membanggakan nilai adatnya seperti program cakupan kedua, akan
diangkat tinggi-tinggi. Sebaliknya, kaum ‘ulama dan santri yang meyakini Islam
sebagai manhaj kehidupan paripurna ada dalam kelompok ketiga yang harus diinjak
sampai remuk.
Seratus tahun sebelum kedatangan Snouck, ada kebersamaan manis ‘ulama dan
umara’ dalam jihad. Pangeran Dipanegara, yang didukung hampir dua-pertiga
Pangeran dari Keraton Yogyakarta hingga bahkan Susuhunan Surakarta pribadi,
Pakubuwana VI, berpadu dengan Kyai Mojo yang membawa jejaring para Kyai,
Haji, Syeikh, Sayyid, juga santri-santri, beserta tentu keluarga besarnya;
Kyai Baderan, Kyai Pulukadang, Kyai Kasan Besari, dan para ‘ulama lainnya.
Entah teori dari mana, tapi Jenderal Herbert Merkus de Kock memang sangat
berpengalaman menghadapi perang dengan raja-raja Nusantara terutama Palembang melakukan pula pecah belah terhadap lawan,
dengan memperlakukan barisan santri jauh lebih keras dan kejam dibanding
tawaran menggiurkan untuk penyerahan diri para pangeran bangsawan. “Laskar
Pajang”, adalah sebutan untuk para prajurit santri pimpinan Kyai Mojo yang
memang kebanyakan berasal dari Tlatah barat Surakarta, untuk membedakan mereka
dengan “Laskar Mataram”, dengan tokohnya Pangeran Mangkubumi yang terdiri
atas para bangsawan Yogyakarta. Frasa ‘Sisa-sisa Laskar Pajang’ pernah
jadi idiom Buya Syafi’i Ma’arif untuk melabeli kelompok semacam FPI, MMI, HTI,
dan yang menuntut penegakan formal syari’at Islam.
Mari sekarang banyak tersenyum untuk
bersatunya kembali ‘Ulama dan ‘Umara’. Mari sekarang banyak tersenyum untuk
kembali ke makna Islam yang sempurna dan menyeluruh, sebelum dipecah-pecah oleh
teori Snouck yang jahat. Mari terus belajar, membaca, dan menelaah, sambil
tersenyum bersama Kyai Mojo dan Pangeran Dipanegara.
@salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar