Minggu, 11 Desember 2016

'Ulama dan Umara

Kalau ada satu nama untuk disebut atas kontribusinya merobohkan kekuatan Islam yang menjadi ruh perjuangan melawan penjajah, Christiaan Snouck Hurgrounje barangkali yang paling cocok.

Snouck mengategorisasi permasalahan Islam menjadi 3 bagian: sebagai agama ibadah murni, sebagai doktrin politik, dan sebagai pedoman sosial kemasyarakatan. Pembagian ini akan menjadi dasar dari splitsingtheorie yang masyhur itu.

Pada asasnya, Islam yang menjadi kekuatan melawan penjajah adalah ketika bersifat komprehensif dan integral tanpa memisah-misahkan perannya sebagai “Hudaa” dan “Diinul Haq” baik dalam ‘ubudiyah, sosial-ekonomi, maupun politik-bernegara.

Maka Snouck menyarankan agar “Islam Beribadah” yang menjadikan agama hanya ada dalam wilayah privat-individu didukung dan difasilitasi dengan baik. Dalam tataran sosial kemasyarakatan, adat-istiadat “asli-primitif” harus ditampilkan sekuat mungkin sebagai wacana tandingan atas pedoman Islam. Dan puncaknya, mereka yang menjadikan Islam sebagai doktrin politik dan semangat perlawanan adalah kaum fanatik yang harus dibasmi ke akarnya dengan kebengisan maksimal, dengan besi dan api.

Mudah ditebak bahwa teori ini mengonsekuensikan politik belah bambu. Kaum sekularis, para priyayi bangsawan, dan Islam abangan yang ada di cakupan pertama dan membanggakan nilai adatnya seperti program cakupan kedua, akan diangkat tinggi-tinggi. Sebaliknya, kaum ‘ulama dan santri yang meyakini Islam sebagai manhaj kehidupan paripurna ada dalam kelompok ketiga yang harus diinjak sampai remuk.

Seratus tahun sebelum kedatangan Snouck, ada kebersamaan manis ‘ulama dan umara’ dalam jihad. Pangeran Dipanegara, yang didukung hampir dua-pertiga Pangeran dari Keraton Yogyakarta hingga bahkan Susuhunan Surakarta pribadi, Pakubuwana VI, berpadu dengan Kyai Mojo yang membawa jejaring para Kyai, Haji, Syeikh, Sayyid, juga santri-santri, beserta tentu keluarga besarnya; Kyai Baderan, Kyai Pulukadang, Kyai Kasan Besari, dan para ‘ulama lainnya.

Entah teori dari mana, tapi Jenderal Herbert Merkus de Kock memang sangat berpengalaman menghadapi perang dengan raja-raja Nusantara terutama Palembang melakukan pula pecah belah terhadap lawan, dengan memperlakukan barisan santri jauh lebih keras dan kejam dibanding tawaran menggiurkan untuk penyerahan diri para pangeran bangsawan. “Laskar Pajang”, adalah sebutan untuk para prajurit santri pimpinan Kyai Mojo yang memang kebanyakan berasal dari Tlatah barat Surakarta, untuk membedakan mereka dengan “Laskar Mataram”, dengan tokohnya Pangeran Mangkubumi yang terdiri atas para bangsawan Yogyakarta. Frasa ‘Sisa-sisa Laskar Pajang’ pernah jadi idiom Buya Syafi’i Ma’arif untuk melabeli kelompok semacam FPI, MMI, HTI, dan yang menuntut penegakan formal syari’at Islam.

Mari sekarang banyak tersenyum untuk bersatunya kembali ‘Ulama dan ‘Umara’. Mari sekarang banyak tersenyum untuk kembali ke makna Islam yang sempurna dan menyeluruh, sebelum dipecah-pecah oleh teori Snouck yang jahat. Mari terus belajar, membaca, dan menelaah, sambil tersenyum bersama Kyai Mojo dan Pangeran Dipanegara.


@salimafillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar