Minggu, 11 Desember 2016
Guru
Seperti
apakah kedudukan guru di hatimu? “Dia yang mengajariku seayat ilmu”, begitu
dikatakan oleh Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, “Sungguh
memiliki hak untuk memperbudakku.” “Seseorang bertanya pada Iskandar Al
Maqduni, murid Aristun”, demikian dikisahkan oleh Imam Ibn Rusyd, “Mengapa
kaudoakan gurumu dua kali sedangkan ayahmu hanya sekali?” Dia menjawab, “Karena
Ayahku menjadi wasilah bagi kehidupanku di dunia. Sementara Guruku menjadi
perantara bagi hidupku di akhirat nanti. Seandainya Ayahku sekaligus menjadi
Guruku, pastilah akan kudoakan dia tiga kali.” Betapa mulia dia yang memegang
saham keberhasilan kita, tanpa pernah mengambil bagi hasil di dunia. Dia yang
meniupkan nafas cintanya, hingga kuncup-kuncup jiwa kita mekar menjadi bunga.
Siapakah
sejatinya Guru?
Guru
adalah insan yang tak henti belajar, bahkan pada yang jauh lebih muda dan
tentang apa yang telah diketahuinya. “Kusimak tiap riwayat ilmu dengan sepenuh
hormat”, ujar Imam Atha’ ibn Abi Rabah, “Meski sebenarnya aku telah menghafalnya,
jauh sebelum penyampainya lahir ke dunia.” Penghormatannya pada ilmu, menepikan
segala rasa bangga.
Guru
adalah yang paling bersemangat mendapatkan pemahaman seperti dikatakan Imam Asy
Syafi’i, “Aku terhadap ilmu seperti seorang ibu yang mencari anak semata
wayangnya yang tersayang dan hilang. Dan ketika menyimak ilmu, sungguh aku
berharap bahwa seluruh tubuhku adalah telinga.” Demikianlah sebab guru yang
mandeg belajar adalah murid yang paling gagal. Berhenti memburu ilmu adalah
cela bagi yang tua dan celaka bagi yang muda.
Tapi
ilmu bagi Guru seakan hanya penghias bagi yang lebih tinggi nilainya; Adab. “Jadikan
ilmu sebagai garam, dan Adab itulah tepungnya”, kata Imam Asy Syafi’i
menggambarkan “roti” penopang kehidupan. “Hampir-hampir Adab itu senilai
duapertiga agama”, kata Imam Ibn Al Mubarak. “Aku lebih menyukai santri yang
ahli khidmah”, demikian disimpulkan oleh salah seorang junjungan ummat, Sayyid
Muhammad ‘Alawy Al Maliki Al Hasani, Ayahanda dari Abuya Sayyid Ahmad yang
berkenan menyuapi kami di gambar ini, “Daripada yang sekedar pandai. Karena
dengan khidmahnya dia belajar Adab. Adab itulah yang akan menjadikan ilmu
memiliki makna.”
Cara pertama untuk menyampaikan kebaikan adalah menjadi orang baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar