Minggu, 11 Desember 2016

Pengaduan

Ada sebuah kisah unik dalam kitab Azwaajul Khulafaa` karya Syaikh Raji’ Kinas tentang Abu Ja’far Al-Manshur (732-775 M), sang pembangun Baghdad. Menurut beliau, inilah penguasa dalam Islam yang paling awal sukar ditemui rakyat.

Tentu hal ini terkait dengan kepribadian sang Amirul Mukminin, juga bagaimana ‘Abbasiyah menegakkan kuasa yang disertai pertumpahan darah tak terelakkan melawan Bani ‘Umayyah, serta tata kota Baghdad.

Yang pertama dan kedua telah banyak diulas oleh para Ahli Tarikh tepercaya. Nah yang ketiga, tersebut dalam sejarah bahwa tinggi benteng terluar Baghdad mencapai 40 meter dan jari-jari bentang kotanya 20 mil. Lebar bagian atas tembok kota itu dapat dilewati 4 kereta perang sekaligus berjajar. Ke arah dalam menuju istana Khalifah, masih ada 6 lapis tembok lagi. Puncak Baghdad, Madinat As Salam, tempat tinggal sang penguasa, menjulang tinggi di tengah. Untuk sampai ke dalamnya harus melewati 40 lapis penjaga.

Baghdad di zaman itu menjadi kota terbesar di dunia berpenduduk 3 juta jiwa. Menempati peringkat ke-2 adalah Ch’ang-An, ibu kota Dinasti T’ang yang sedang memerintah Tiongkok.

Saat itu, tutur Raji’ Kinas, seorang Arab Badui pengembara dihadapkan kepada Al-Manshur. Dia diminta Al-Manshur untuk mengisahkan perjalanannya ke berbagai negeri, demi menyimpulkan: “Tiada yang semegah Baghdad”. Lelaki ini —seperti umumnya Badui yang polos— blak-blakan bahwa Baghdad memang megah, tapi angker; rajanya sulit ditemui rakyat. Dia lalu berkisah tentang Ch’ang-an yang rapi, di mana bertakhta Kaisar yang sudah lanjut usia namun bijaksana.

Barangkali yang dimaksud adalah Kaisar Xuanzong yang memerintah antara tahun 712-756 M.

Si Badui dengan penuh semangat berkisah bahwa ketika makin tua, Kaisar mulai kehilangan daya dengarnya. Gejala tuli kian terasa. Diapun bermuram durja. Para menteri dan penasihat menghibur, “Apa pun yang terjadi, Yang Mulia tetap Kaisar kami yang bijak, mohon Baginda jangan bersedih.” “Aku berduka bukan meratapi diri,” ujar Kaisar, “aku sedih sebab kini tak lagi bisa mendengar langsung keluhan rakyat!” Sejak saat itu, Sang Kaisar yang rajin minta ditandu mengelilingi negeri ini memutuskan untuk tak memegang pemerintahan secara langsung. Diangkatlah Perdana Menteri (Chen Xiang) dari lulusan terbaik ujian negara (Jinshi) untuk menjalankan pemerintahan di bawah pengawasannya. Ujian untuk memilih para pejabat diselenggarakan bertingkat; dari tingkat distrik, provinsi, hingga negara. Meritokratis. Secara berjenjang; para menteri, gubernur, bupati, dan hakim wilayah diangkat berdasar peringkat dalam ujian. Pengawasan ditata.

Lalu apa yang dikerjakan Kaisar? Dia makin rajin mengelilingi negeri untuk mendengarkan keluhan rakyat dan menyemangati mereka. Sebab pendengarannya lemah, Kaisar menitahkan agar yang ingin mengajukan masalah mengenakan pakaian merah dan menyiapkan aduan secara tertulis. Atas titahnya, regu khusus kekaisaran akan menindaklanjuti tiap aduan sesuai tingkat pengambil kebijakan; desa hingga pusat.

Kaisar terus berkeliling; menyemangati rakyat, memberkati mereka di tempat peribadatan, mendorong pendidikan, kerja keras, dan bakti. Yang dilakukan Kaisar mengilhami rakyat, baca tulis meningkat, aneka kerja bersemangat, pemerintahan tertata, dan Dinasti T’ang pun jaya. “Nah”, simpul si Badui pada Al-Manshur, “Amirul Mukminin tentu lebih berhak melakukan semua hal indah itu daripada Kaisar Cina. “Sebab Kaisar itu,” ujar si Badui, “hanya bertindak demi kemaslahatan dunia. Sementara kau hai Al-Manshur, adalah pemimpin yang dibimbing Firman Tuhan dan Sunnah insan sempurna untuk menjayakan orang-orang beriman di dunia hingga akhirat!” Nasehat ini begitu berkesan di hati Abu Ja’far Al-Manshur, yang sejak itu mulai sering mengundang para ‘Ulama untuk dia dengarkan nasehatnya.

Dalam suasana adanya pemimpin yang seakan menulikan diri dari suara jutaan rakyat, mengenang Sang Kaisar yang tuli namun berjuang untuk mendengar terasa begitu indah.

***

Dalam sebuah acara akbar di kota Isma’iliyah, Presiden Mesir saat itu, Anwar Sadat berpidato. Di antara hal yang disampaikannya pada forum terbuka itu adalah tuduhan dan hujatannya terhadap Jama’ah Ikhwanul Muslimin sebagai “orang-orang sektarian, ekstrimis agama, radikalis sesat, penipu rakyat, yang berniat jahat terhadap bangsa, dan negara.” Begitu turun dari mimbar, Anwar Sadat terenyak.

Ternyata di acara itu hadir pula Ustadz ‘Umar At Tilmisani, pemimpin Jama’ah Al Ikhwan. Mursyid ‘Aam ketiga yang menerima amanah kepemimpinan organisasi dakwah setelah Hasan Al Banna dan Hasan Isma’il Al Hudhaibi ini memandang sang Presiden dengan senyum teduh namun sorot tajam.

Sang Presiden segera mendekatinya dan menyalaminya dengan ta’zhim tapi dengan perasaan campur aduk. “Sudah selayaknya”, ujar Ustadz ‘Umar At Tilmisani, “Sebagai rakyat yang kaupimpin, jika mendapatkan kezhaliman dan fitnah, maka kami akan mengadukan masalah kami kepadamu.” Beliau berhenti sejenak sambil menampakkan senyum kecewa. “Tapi jika kezhaliman dan fitnah itu justru datang dari dirimu, kepada siapa lagi kami mengadu?” Anwar Sadat tersenyum kecut. “Ya, kami hanya akan mengadukannya kepada Allah saja.” Kata-kata itu menitikkan bulir keringat dingin di dahi sang penguasa Mesir. Presiden yang dikecam dunia Islam karena menjadi pemimpin Arab pertama yang merintis perjanjian damai dengan Negara Zionis itu lalu kembali menggenggam tangan Mursyid ‘Aam dengan gemetar dan meminta maaf berulangkali jika dia dianggap telah berbuat salah.

Tetap dengan senyumnya yang khas, Ustadz ‘Umar At Tilmisani mengatakan, “Tenanglah wahai Tuanku Presiden. Kami mengadukanmu kepada Dzat Yang Maha Adil lagi tidak pernah zhalim, dan Dia Maha Teliti lagi tidak pernah keliru.”


@salimafillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar