Ada sebuah kisah unik dalam kitab Azwaajul Khulafaa` karya Syaikh Raji’
Kinas tentang Abu Ja’far Al-Manshur (732-775 M), sang pembangun Baghdad.
Menurut beliau, inilah penguasa dalam Islam yang paling awal sukar ditemui
rakyat.
Tentu hal ini terkait dengan kepribadian sang Amirul Mukminin, juga
bagaimana ‘Abbasiyah menegakkan kuasa yang disertai pertumpahan darah tak
terelakkan melawan Bani ‘Umayyah, serta tata kota Baghdad.
Yang pertama dan kedua telah banyak diulas oleh para Ahli Tarikh
tepercaya. Nah yang ketiga, tersebut dalam sejarah bahwa tinggi benteng terluar
Baghdad mencapai 40 meter dan jari-jari bentang kotanya 20 mil. Lebar bagian
atas tembok kota itu dapat dilewati 4 kereta perang sekaligus berjajar. Ke arah
dalam menuju istana Khalifah, masih ada 6 lapis tembok lagi. Puncak
Baghdad, Madinat As Salam, tempat tinggal sang penguasa, menjulang tinggi di
tengah. Untuk sampai ke dalamnya harus melewati 40 lapis penjaga.
Baghdad di zaman itu menjadi kota terbesar di dunia berpenduduk 3 juta
jiwa. Menempati peringkat ke-2 adalah Ch’ang-An, ibu kota Dinasti T’ang
yang sedang memerintah Tiongkok.
Saat itu, tutur Raji’ Kinas, seorang Arab Badui pengembara dihadapkan
kepada Al-Manshur. Dia diminta Al-Manshur untuk mengisahkan perjalanannya ke
berbagai negeri, demi menyimpulkan: “Tiada yang semegah Baghdad”. Lelaki
ini —seperti umumnya Badui yang polos— blak-blakan bahwa Baghdad memang megah,
tapi angker; rajanya sulit ditemui rakyat. Dia lalu berkisah tentang Ch’ang-an
yang rapi, di mana bertakhta Kaisar yang sudah lanjut usia namun
bijaksana.
Barangkali yang dimaksud adalah Kaisar Xuanzong yang memerintah antara
tahun 712-756 M.
Si Badui dengan penuh semangat berkisah bahwa ketika makin tua, Kaisar
mulai kehilangan daya dengarnya. Gejala tuli kian terasa. Diapun bermuram
durja. Para menteri dan penasihat menghibur, “Apa pun yang terjadi, Yang Mulia
tetap Kaisar kami yang bijak, mohon Baginda jangan bersedih.” “Aku berduka
bukan meratapi diri,” ujar Kaisar, “aku sedih sebab kini tak lagi bisa
mendengar langsung keluhan rakyat!” Sejak saat itu, Sang Kaisar yang rajin
minta ditandu mengelilingi negeri ini
memutuskan untuk tak memegang pemerintahan secara langsung. Diangkatlah Perdana
Menteri (Chen Xiang) dari lulusan terbaik ujian negara (Jinshi) untuk
menjalankan pemerintahan di bawah pengawasannya. Ujian untuk memilih para
pejabat diselenggarakan bertingkat; dari tingkat distrik, provinsi, hingga
negara. Meritokratis. Secara berjenjang; para menteri, gubernur, bupati, dan
hakim wilayah diangkat berdasar peringkat dalam ujian. Pengawasan ditata.
Lalu apa yang dikerjakan Kaisar? Dia makin
rajin mengelilingi negeri untuk mendengarkan keluhan rakyat dan menyemangati
mereka. Sebab pendengarannya lemah, Kaisar menitahkan agar yang ingin
mengajukan masalah mengenakan pakaian merah dan menyiapkan aduan secara
tertulis. Atas titahnya, regu khusus kekaisaran akan menindaklanjuti tiap aduan
sesuai tingkat pengambil kebijakan; desa hingga pusat.
Kaisar terus berkeliling; menyemangati rakyat,
memberkati mereka di tempat peribadatan, mendorong pendidikan, kerja keras, dan
bakti. Yang dilakukan Kaisar mengilhami rakyat, baca tulis meningkat, aneka
kerja bersemangat, pemerintahan tertata, dan Dinasti T’ang pun jaya. “Nah”,
simpul si Badui pada Al-Manshur, “Amirul Mukminin tentu lebih berhak melakukan
semua hal indah itu daripada Kaisar Cina. “Sebab Kaisar itu,” ujar si Badui, “hanya
bertindak demi kemaslahatan dunia. Sementara kau hai Al-Manshur, adalah
pemimpin yang dibimbing Firman Tuhan dan Sunnah insan sempurna untuk menjayakan
orang-orang beriman di dunia hingga akhirat!” Nasehat ini begitu berkesan di
hati Abu Ja’far Al-Manshur, yang sejak itu mulai sering mengundang para ‘Ulama
untuk dia dengarkan nasehatnya.
Dalam suasana adanya pemimpin yang seakan
menulikan diri dari suara jutaan rakyat, mengenang Sang Kaisar yang tuli namun
berjuang untuk mendengar terasa begitu indah.
***
Dalam
sebuah acara akbar di kota Isma’iliyah, Presiden Mesir saat itu, Anwar Sadat
berpidato. Di antara hal yang disampaikannya pada forum terbuka itu adalah
tuduhan dan hujatannya terhadap Jama’ah Ikhwanul Muslimin sebagai “orang-orang
sektarian, ekstrimis agama, radikalis sesat, penipu rakyat, yang berniat jahat
terhadap bangsa, dan negara.” Begitu turun dari mimbar, Anwar Sadat terenyak.
Ternyata
di acara itu hadir pula Ustadz ‘Umar At Tilmisani, pemimpin Jama’ah Al Ikhwan.
Mursyid ‘Aam ketiga yang menerima amanah kepemimpinan organisasi dakwah setelah
Hasan Al Banna dan Hasan Isma’il Al Hudhaibi ini memandang sang Presiden dengan
senyum teduh namun sorot tajam.
Sang
Presiden segera mendekatinya dan menyalaminya dengan ta’zhim tapi dengan
perasaan campur aduk. “Sudah selayaknya”, ujar Ustadz ‘Umar At Tilmisani, “Sebagai
rakyat yang kaupimpin, jika mendapatkan kezhaliman dan fitnah, maka kami akan
mengadukan masalah kami kepadamu.” Beliau berhenti sejenak sambil menampakkan
senyum kecewa. “Tapi jika kezhaliman dan fitnah itu justru datang dari dirimu,
kepada siapa lagi kami mengadu?” Anwar Sadat tersenyum kecut. “Ya, kami hanya
akan mengadukannya kepada Allah saja.” Kata-kata itu menitikkan bulir keringat
dingin di dahi sang penguasa Mesir. Presiden yang dikecam dunia Islam
karena menjadi pemimpin Arab pertama yang merintis perjanjian damai dengan
Negara Zionis itu lalu kembali menggenggam tangan Mursyid ‘Aam dengan gemetar
dan meminta maaf berulangkali jika dia dianggap telah berbuat salah.
Tetap
dengan senyumnya yang khas, Ustadz ‘Umar At Tilmisani mengatakan, “Tenanglah
wahai Tuanku Presiden. Kami mengadukanmu kepada Dzat Yang Maha Adil lagi tidak
pernah zhalim, dan Dia Maha Teliti lagi tidak pernah keliru.”
@salimafillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar