Sabtu, 24 Desember 2016

Mengerti dan Memahami

Diantara perkataan Imam Syafi'i yang cukup membuat kami berfikir keras adalah "Semakin bertambah ilmuku, Semakin aku merasa bodoh". Karena logika normalnya, semakin tambah ilmu semestinya semakin tambah pandai. Usut punya usut, mungkin kalimat itu senada dan seirama dengan ungkapan "Pertahanan yang paling baik adalah menyerang", "Jika ingin damai, siapkan senjata" atau "Takut kepada Alloh, mendekatlah". Betul, ada konsepsi yang dibalik sehingga tampak bertolak belakang dengan kebenaran umum. Bukan karena gagal paham, tapi karena menemukan sebuah hakekat.

Kami cukup tergelitik dengan kisah Nasrudin Hoja yang menerima tantangan Raja untuk mengajari keledainya membaca. Akalnya jalan, mungkin melebihi Mac Gyver. Dia meletakkan butir-butir gandum di dalam lembaran kitab. Keledainya dilatih untuk memakan gandum dengan membuka lembar demi lembar kitab. Setelah cukup mahir, dia bawa keledainya ke hadapan Raja. Raja kesal dengan demonstrasi membaca dari keledainya Nasrudin Hoja, karena sejak awal Raja ingin menyaksikan keledai berbicara seperti halnya burung beo.

"Keledaimu bukan sedang membaca, tapi lagi mencari gandum di dalam kitab," ketus sang Raja sambil marah. Dengan tenang, Nasrudin Hoja menimpali, "Memang begitulah cara keledai membaca. Kalau kita membaca kitab seperti itu, berarti sama saja dengan keledai." Sang Raja kalah debat, lalu memberikan sejumlah uang kepada Nasrudin Hoja. Kami kenal dengan kisah-kisah Nasrudin Hoja saat masih kuliah. Alhamdulillah, banyak juga kisah yang masih ingat. Mirip-mirip sama Abu Nawas, tapi lebih banyak pesan moral didalamnya. Jauh lebih berkelas ketimbang cerita Mukidi.

Kembali ke persoalan, ternyata membaca hanya pintu awal. Ada yang membaca buku tidak ubahnya seperti keledainya Nasrudin Hoja. Dia membaca dengan cepat, lalu merasa sudah menyerap semua ilmu yang ada didalamnya. Padahal bisa jadi, dia hanya membaca seperti keledainya Nasrudin Hoja saja. Lembar demi lembar dibolak balik, tapi penyerapan ilmu hanya dipermukaan saja. Kita berasumsi, buku atau kitab yang dibacanya itu berbobot lho ya. Jika baru tahap ini, maka dia statusnya baru tahap menukil atau meriwayatkan ilmu. Dia statusnya menjadi tawanan pemikiran dari sang pengarang buku. Atau istilah kerennya adalah muqollid.

Untuk bisa sampai memahami dan mengerti, kita butuh instrumen lain. Bisa berupa buku-buku sejenis yang akan menawarkan perspektif berbeda sebagai bahan pembanding. Bisa berupa guru yang akan memberikan penjelasan dan mengungkap rahasia dibaliknya. Bisa berupa teman diskusi yang akan memperluas wawasan dan mempertajam pembahasan. Di tahap ini, kita benar-benar sudah memiliki pemahaman yang paripurna terhadap ilmu yang termaktub didalam buku. Status kita bukan lagi sebagai tawanan pemikiran dari sang pengarang buku, tapi mampu memberikan penilaian, koreksi, dan pengembangan atas apa yang dibahas di dalam buku dan kitab yang dibaca.

Kita bisa naik ke tahap selanjutnya, yakni perumusan ilmu dan konsepsi alternatif. Produknya bisa berupa fatwa hukum maupun ungkapan hikmah. Instrumen yang kita butuhkan adalah, perenungan (tafakur) untuk membuka mata hati serta problematika yang hadir di depan mata. Bagi orang-orang yang maqomnya sudah sampai disini, waktu merenung dalam kesendirian itu adalah waktu yang produktif. Seperti halnya Imam Syafi'i, yang dalam semalam mampu memecahkan lebih dari 40 persoalan fikih yang rumit. Itu karena kapasitasnya yang mumpuni dalam menelaah dan mencerna persoalan di lapangan.

Mungkin ada baiknya kita merenung, di level mana sebenarnya proses interaksi kita dengan kitab dan buku. Untuk bisa mencapai derajatnya para mujtahid, mungkin targetnya terlalu tinggi. Kalau pun kita bisa merangkai kata-kata yang indah dan bermakna, itu bukan jaminan bahwa kita sudah memahami sebuah hakikat. Namun, kita bisa kuatkan tekad untuk bisa naik kelas, agar cara membacanya kita tidak seperti keledainya Nasrudin Hoja. Jangan terlalu PD dengan kebenaran yang sudah kita lihat, bisa jadi ada kebenaran versi lain yang bentuknya lebih indah. Jangan terlalu yakin dengan perbendaharaan ilmu yang kita miliki, karena di atas langit masih ada langit.

Mengapa seorang mujtahid besar abad kedua bisa sampai berkata, "Semakin bertambah ilmuku, Semakin aku merasa bodoh"? Yang bisa menjawab tentu beliau sendiri. Tapi jika boleh menerka, mungkin itu sebagai bentuk ketawadhu'an dari seorang pembelajar. Mungkin juga sebagai pengakuan atas ilmu yang diserapnya dari pihak lain. Mungkin juga sebagai pemicu semangat agar semakin giat belajar. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lainnya.

Meski aneh, tapi slogan itu layak pula kita sematkan dalam hati kita. Baik saat kita tengah membaca buku, kala berdiskusi dengan sesama santri, maupun saat duduk bersimpuh di depan guru. Karena ilmu biasanya mudah diserap oleh orang yang masih merasa bodoh. Itu.

Eko Junianto, ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar