Tepat pada tanggal 14 Februari, Valentine’s Day menyapa Indonesia. Peringatan yang datang dari dunia Barat, tepatnya Romawi ini, dirayakan sebagai suatu perwujudan cinta kasih seseorang. Awalnya ungkapan tersebut hanya diwujudkan muda-mudi kepada kekasihnya. Tapi seiring waktu, perayaan ini diperluas menjadi kasih sayang antara sesama, pasangan suami-istri, orang tua-anak, kakak-adik dan lainnya.
Valentine’s Day identik pula dengan tukar-menukar kado. Bisa berupa coklat, bunga, perhiasan, kaset/CD maupun hadiah spesial lainnya. Disadari atau tidak, perayaan ini pun telah diserap oleh muda-mudi negeri garuda ini menjadi gaya hidup yang senantiasa dilestarikan. Bahkan kini, perayaan ini dilirik pebisnis besar sebagai lahan uang baru yang sangat menggiurkan. Maka jadilah mal ataupun pusat perbelanjaan, penuh dengan pernak-pernik Valentine’s Day. Nuansa pink berhiaskan bunga mawar, balon berbentuk hati dan coklat, nyaris ditemui di sentra-sentra perbelanjaan dan tempat penginapan. Setiap helaian pita atau balon, selalu tergores nama seorang tokoh Roma pada abad ketiga, St. Valentine, yang hingga kini masih diperdebatkan kebenarannya.
Terlepas berbagai keriuhannya, tahukah Mereka, pecinta hari Valentine, terhadap sejarah Pinky Day itu? Coba tanyakan kepada anak, adik, kakak ataupun sahabat Anda tentang arti Valentine’s Day. Hampir dipastikan, sebagian besar remaja Indonesia mengartikannya dengan tidak tepat. Kebanyakan mengartikannya sebagai hari kasih sayang. Benarkah? Bagaimana pula dengan asal mula munculnya hari valentine?
Valentine’s Day dalam Sejarah
Sebenarnya ada banyak versi yang tersebar berkenaan dengan asal-usul dari Valentine’s Day. Bahkan hingga kini, kontroversi ini terus berlanjut dan belum menemui titik terang. Akhirnya, kebanyakan remaja, terjebak kepada suatu perayaan yang bisa dikatakan sebagai khayalan, karena masih kontroversi hingga belum dianggap ilmiah.
Dalam The World Book Encyclopedia (1998) yang meyakini perayaan ini berawal dari perayaan Lupercalia di zaman Romawi kuno. Lupercalia sendiri merupakan upacara pensucian di zaman itu yang dilaksanakan pada tanggal 13-18 Februari. Pada hari itu, upacara pensucian dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love), Juno Februata. Di hari tersebut, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak yang kemudian para pemuda mengambilnya secara acak. Gadis yang terpilih, harus menjadi pasangan pemuda tersebut selama setahun untuk bersenang-senang mengunjungi tempat wisata.
Selanjutnya pada tanggal 15 Februari, seluruh pasangan menggelar upacara meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan serigala. Selama upacara berlangsung, kaum muda melecut para gadis dengan kulit binatang dengan harapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur.
Buku yang ditulis berdasarkan beberapa sumber sejarah ini kemudian mencatat bahwa agama Kristen Katolik yang masuk ke Roma saat itu, mengadopsi dan memberikan nuansa kristiani di dalamnya. Salah satunya antara lain mengganti nama para pemuda/pemudi dengan Paus/Pastor. Bahkan, pada 496 M Paus Gelasius I, menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari. Siapa St Valentine itu? The Catholic Encyclopedia Vol. XV sub judul St. Valentine menuliskan ada tiga nama Valentine yang mati pada 14 Februari dan seorang di antaranya dilukiskan sebagai yang mati pada masa Romawi. Namun sayangnya, tidak pernah ada penjelasan yang menyebutkan dengan jelas St. Valentine yang dimaksud. Bahkan kisahnya tidak pernah diketahui ujung-pangkalnya karena tiap sumber mengisahkan cerita yang berbeda.
Menurut versi pertama, Kaisar Claudius II memerintahkan menangkap dan memenjarakan St. Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan orang Romawi. Akhirnya, nyawanya meregang di tiang gantungan. Versi lain menceritakan bahwa Kaisar Claudius II menganggap tentara muda bujangan, lebih tabah dan kuat dalam medan peperangan dibandingkan orang yang telah menikah. Kaisar lalu membuat kebijakan melarang para pemuda untuk menikah. Namun, St. Valentine melanggarnya dan diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga kemudian ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M. Hingga saat ini, ’tokoh kasih-sayang’ tersebut masih abu-abu identitasnya.
Murni Perayaan Keagamaan atau Bisnis Semata
Terlepas motif ‘dakwah’ dalam Valentine’s Day. Patut dipahami bersama bahwa nuansa bisnis juga kental mewarnainya. Perayaan yang diperkenalkan oleh Christendom, sebutan untuk tanah-tanah atau negeri-negeri Kristen di Barat, memang telah dijadikan ladang uang yang sangat menggiurkan. Perayaan umat nasrani yang dimaksudkan untuk memperingati kematian seorang pendeta tersebut, kini dimanfaatkan oleh para pengusaha dengan hal-hal yang membawa keuntungan secara materi. Salah satunya, menggiring logika muda-mudi yang mewajibkan mengirimkan kartu ucapan kepada orang Propaganda-propaganda tersebut faktanya sangat sukses. The Greeting Card Association, gabungan pengusaha kartu ucapan Amerika, memperkirakan satu milyar kartu ucapan Valentine beredar di seluruh dunia setiap tahunnya. Dahsyatnya, perayaan 14 februari ini menjadi hari raya terbesar kedua setelah Natal dan Tahun Baru (Merry Christmas and The Happy New Year), di mana kartu-kartu ucapan dikirimkan.
Setelah kartu ucapan kurang mendapat apresiasi. Pada paruh kedua abad ke-20, tradisi tersebut dimodifikasi dengan sedikit mewah. Propaganda yang dibuat kemudian adalah memberi bunga mawar dan coklat yang hingga kini masih sangat populer di kalangan remaja. Bahkan, para pengusaha berlian telah memanfaatkan momentum ini dengan mempromosikan berlian sebagai tanda kasih sayang sejati dan murni. Sedangkan kartu ucapan hanya dijadikan pengiring dari hadiah-hadiah besar tersebut.
Kemudian muncul pertanyaan besar dalam diri kita semua, benarkah Valentine’s Day murni perayaan keagamaan yang dilakukan oleh penganut nasrani. Ataukah justru sengaja diciptakan oleh para pengusaha sebagai lahan bisnis untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya? Silakan berfikir dan menganalisanya.
Kerawanan Moral Di Hari Valentine
Harus diakui, Valentine’s Day telah menjadi perayaan ‘akbar’ yang dihelat para remaja Indonesia. Bahkan, kemeriahannya mampu mengalahkan hari sumpah pemuda, hari Kartini hingga kemerdekaan RI. Apakah hal ini menandai semakin melunturnya semangat nasionalisme remaja Indonesia. Dan benarkah segala budaya yang berasal dari barat selalu menjadi trend di Indonesia. Tentunya tanpa mengenyampingkan tunas muda di negeri ini yang masih memiliki rasa cinta terhadap negeri, budaya dan keanekaragaman hayatinya, faktanya perayaan Valentine’s Day mengalahkan hari-hari bersejarah negeri ini. Indikasi seperti ini, merupakan tanda telah tergerogotinya nasionalisme generasi Indonesia.
Valentine’s Day memang tengah menjadi virus mengerikan yang menjangkiti remaja Indonesia. Bukan karena tujuan perayaan ini yang berkaitan dengan pengungkapan rasa kasih sayang ataupun suatu ritual keagamaan. Tapi lebih kepada kebiasaan-kebiasaan buruk seperti free sex, pesta alkohol, narkoba, pemborosan dan kemudharatan lainnya. Maklum saja, kebiasaan tersebut memang lumrah dilakukan oleh remaja-remaja Amerika Serikat dan beberapa negara Barat. Mereka menganggap kencan di hari Valentine merupakan permulaan dari suatu hubungan yang serius. Dengan pesta mewah yang dilengkapi minuman beralkohol, setiap pasangan diberikan kebebasan melakukan apapun sepanjang malam yang kemudian diakhiri perzinaan. Ironisnya, budaya ini juga ditiru sebagian remaja Indonesia. Entah berapa kegadisan yang terenggut pada malam itu. Akhirnya, semangat kasih sayang dan ritual keagamaan yang sakral, ternodai dengan perilaku amoral tersebut.
Memang setiap remaja yang beranjak dewasa selalu meminta diberikan kebebasan mengambil keputusan. Tapi, alangkah nistanya ketika keputusan tersebut, justru menghancurkan masa depan mereka. Wujud ungkapan kasih sayang, tidak harus menggadaikan harga diri, baik sekedar kissing hingga paling parah sleeping. Banyak cara lain yang lebih baik dan benar menyalurkan perasaan tersebut.
Orang tua sebagai tembok terakhir pertahanan moral, wajib menjaga anak-anaknya dari perbuatan-perbuatan yang di luar budaya ketimuran. Karena bagaimanapun, aktivitas anak (remaja) sebagian besar berlangsung di rumah. Karenanya, kegagalan orang tua membentuk moral anak-anaknya, sama dengan mempersiapkan kehancuran negeri yang kita cintai ini.
Peran utama memang harus dilakoni pemerintah Indonesia. Membuat sistem pendidikan yang kokoh, mengedepankan moral, kejujuran, dan cinta tanah air merupakan hal yang perlu dilakukan segera. Kerawanan terhadap perilaku amoral, hanya bisa dihadang dengan pengokohan moral dan penanaman nilai-nilai luhur kebangsaan.
Penguatan mentalitas dan moralitas saja tidaklah cukup. Perlu dibarengi dengan kebijakan yang mampu mensinergikannya. Salah satunya adalah mempersempit akses remaja terhadap alkohol, menutup ruang pornoaksi dan pornografi, serta memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang positif bagi mereka. peran tersebut sudah dilakukan pemerintah, namun konsistensinya masih diragukan. Karena hingga saat ini, akses remaja untuk memperoleh ‘minuman haram’ hingga konten porno masih terbuka luas. Pesatnya laju perkembangan IT, harus diantisipasi sedini mungkin oleh negara untuk menjaga putra-putri bangsanya dari perilaku-perilaku menyimpang.
Mari murnikan kembali semangat kasih sayang itu. Bukan hanya untuk satu hari saja, tapi untuk sepanjang hari dan terus dijumpai sampai kapan pun. Ingatlah, sesungguhnya harapan negeri ini ada di pundak Saya, Anda dan seluruh remaja negeri ini!
Sumber: Dakwatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar