Namanya Qois. Lengkapnya Qois bin Sa’ad bin Ubadah. Ia putra pemimpin suku Khozroj yang bersama Sa’ad bin Ubadah telah menjadi pemimpin, meskipun usianya masih muda. Orang-orang Khozroj berkata, “Seandainya bisa, pasti kami pinjamkan jenggot pada Qois agar ia menjadi lebih berwibawa”. Qois seorang yang cerdik dan cemerlang otaknya. Ia berkata tentang dirinya, “Jika bukan karena Islam, niscaya aku akan membuat satu rencana dan makar yang tak mampu dihadapi oleh orang Arab”. Ia memiliki banyak ide dan taktik.
Dia seorang yang sangat pemurah lagi dermawan sampai-sampai Umar dan Abu Bakar mencemaskannya karena sikapnya itu. Keduanya berkata, “Kalau anak muda ini kita biarkan pada kedermawanannya, pasti harta orangtuanya akan habis”. Ketika mengetahui hal itu, ayah Qois melaporkannya kepada Rosululloh saw seraya berkata, “Siapa yang mencegahku dari mengikuti Abu Quhafah (Abu Bakar) dan Ibnul Khoththob?”
Qois seringkali memberi pinjaman kepada seorang yang datang kepadanya untuk berhutang. Akan tetapi setelah jatuh tempo, ia mengatakan kepada orang yang berhutang, “Kami tidak akan mengambil kembali apa yang telah kami berikan”.
Qois meninggal sebagai orang zuhud, sekalipun ia kaya raya, taqwa dan banyak membela kebenaran. Dialah sahabat yang pernah berkata, “Sekiranya aku tidak mendengar Rosululloh saw bersabda bahwa makar dan tipu daya itu akan berada dalam neraka, niscaya aku menjadi orang yang paling ahli membuat makar dari ummat ini”.
Melihat potret Qois di atas, satu hal yang sangat mendasar perlu digarisbawahi, ialah bahwa seorang Qois hidup dengan keunikannya yang khas: seorang ahli strategi yang sangat kaya ide.
Keunikan itulah yang kemudian ia gunakan untuk memimpin. Itu pula yang memberi dia argumentasi untuk memilih menjadi seorang dermawan. Tetapi yang lebih penting dari itu ialah, bahwa keunikan itu sendiri tidak memberi apa-apa, ketika ia tidak mengantarkan pemiliknya untuk memilih jalan hidup yang sah di mata Alloh.
Seorang Qois, kalau mau, bisa menjadi tukang tipu dan pakar makar yang mengerikan. Itulah keunikan yang dimiliki dirinya. Tapi ia tidak mengambil jalan itu. Justru ide-ide cemerlangnya lebih banyak ia gunakan untuk kebaikan.
Seperti juga Qois, setiap kita lahir dengan keunikan yang berbeda. Tidak harus luar biasa semuanya. Sebab sebenarnya menjadi unik itu saja sudah cukup luar biasa. Itu semacam watak dasar, bakat bawaan atau juga kecenderungan khusus yang masing-masing kita memilikinya secara berbeda. Di sanalah bibit keunikan itu bersemayam. Selebihnya tergantung bagaimana kita menyemainya, merawatnya dan menumbuhsuburkannya menjadi perangai utama yang baik dan prilaku dominan yang mulia.
Bibit itu bisa menjadi tanaman yang buruk, bisa juga menjadi tanaman yang baik. Sekali lagi segalanya tergantung pada diri kita masing-masing. Persis seperti penegasan Rosululloh, bahwa manusia itu seperti tambang emas dan perak. Yang paling baik di masa jahiliyah adalah juga yang paling di masa Islam, jika mereka mengerti.
Seperti seorang Umar, wataknya yang keras di masa sebelum Islam, menjadi keunikannya sendiri setelah masuk Islam. Ia menjadi sangat keras bila membela kebenaran. Begitu juga dengan sahabat-sahabat yang lain.
Maka keunikan adalah harga. Yang dengannya kita membeli banyak pilihan dalam hidup. Tetapi lebih jauh, keunikan itu harus menjadi harga yang dengannya kita memohon surga Alloh swt. Dengan menjadikan keunikan itu sebagai energi dan kekuatan pendorong yang dahsyat, untuk kita memilih jalan yang diridhoi Alloh.
Maka menjadi orang yang lahir dengan watak keras, tidak selalu salah. Terlahir dengan bawaan lemah lembut, tidak selamanya keliru. Tumbuh menjadi orang yang berjiwa besar, haus prestasi dan cinta keindahan, tidak sepenuhnya salah. Asal, semua itu mampu mengantarkan pemiliknya untuk memilih jalan hidup yang benar, yang disukai Alloh swt. Maka watak kerasnya harus digunakan untuk membela kebenaran. Seperti juga yang lembut hati dan perasa, harus menggunakan keunikan dirinya untuk mengukur tingkat sensitifitas dirinya terhadap keburukan. Sehingga ia cepat terhindar dari penyimpangan, meski baru di ujung permulaannya, sebab hatinya telah memberikan sinyal yang tidak menyenangkan. Begitu pula yang cinta akan keindahan, berjiwa petualang, tidak pernah puas dan rindu akan dedikasi yang bermutu, harus menjadikan semua watak khasnya itu untuk jalan kebaikan. Ia harus menjadi seorang Muslim yang harus berprestasi dan amal baik yang berguna bagi diri dan orang lain.
Begitu seterusnya, seorang Muslim justru bisa menjadi besar dengan keunikannya, dan bukan sebaliknya. Sebab ujung pengharapannya ia memohon kepada Alloh. Mengharap akan surga-Nya, merindukan keridhoannya. Itu pengharapan yang tak pernah usai hingga akhir menutup mata. Maka setiap waktu adalah harapan baru, capaian baru, untuk segala aktualisasi dan penumpahan keunikan-keunikan itu di jalan kebaikan.
Setiap kita lahir dengan keunikan masing-masing. Setiap kita lahir dengan kelebihan masing-masing. Tidak ada orang yang hidup, kecuali ia telah memiliki kelebihan masing-masing. Keterbatasan justru memberi kita perbedaan. Manusia ada yang hebat dan ada yang biasa-biasa saja. Tetapi masing-masing adalah keunikan. Sebab menjadi unik tidak harus hebat. Meski sejatinya menjadi unik adalah kehebatan alami tersendiri.
Dalam bahasa al-Qur’an, Alloh menjelaskannya bahwa, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (Qs. Al-Isro’: 84). Ayat itu secara inspiratif bisa dirasakan, bahwa setiap orang akan menjalani hidupnya berdasarkan modal keunikannya masing-masing. Tetapi diujung akhir ayat Alloh juga menjelaskan, bahwa Alloh Maha Tahu mana yang menggunakan keunikannya untuk jalan yang benar dan mana yang menggunakannya untuk jalan keburukan.
Para ulama tafsir memang menjelaskan secara beragam maksud ayat di atas. Tetapi secara umum maksudnya sama. Ibnu Abbas berkata, “Sesuai dengan sisinya, arah dirinya”. Adh-Dhohhak dan Mujahid berkata, “Sesuai dengan tabiatnya dan pada batas-batasnya”. Ibnu Zaid mengatakan, “Atas agamanya yang baik”. Qotadah mengatakan, “Sesuai dengan niatnya”. Al-Farro mengatakan, “Sesuai dengan metode dan madzhabnya yang bentuk atasnya”. Muqotil mengatakan, “Sesuai dengan wataknya”.
Sementara Ibnu Katsir menjelaskan, adapun maknanya, bahwasanya setiap orang berbuat sesuai apa yang ada pada dirinya (aslinya) dan akhlaknya yang telah ia biasakan. Dan ini adalah celaan bagi orang kafir dan pujian bagi orang yang beriman.
“Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang benar jalannya”, yaitu dengan orang yang beriman dan yang kafir, dan apa saja yang akan diterima oleh masing-masing dari mereka.
Setiap kita pasti terlahir dengan keunikan. Maka siapapun kita, menjadi besarlah dengan keunikan itu. Tetapi orang-orang yang membesarkan keunikannya kadang merasa sepi. Pada saat ia harus menekuni keunikannya menjadi keahlian. Sebab hanya sedikit orang yang benar-benar bisa menjadi ahli. Artinya ia memilih jalan yang tidak ramai, jalan yang sunyi. Itu harga yang harus ia bayar. Tapi ia mengerti bagaimana menghibur hati dan menyemangati jiwanya. Justru di saat keunikan menjadi puncak keahlian dan kepakaran, seorang Muslim berharap punya modal lebih banyak untuk memohon surga Alloh Yang Maha Luas. Begitulah seorang Muslim menghibur rasa sunyinya.
Alangkah Maha Pengasihnya Alloh, yang memberi kita keunikan beda. Tetapi sudahkah kita mengerti apa keunikan kita?
Tarbawi edisi 86 Th. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar