“Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang
tiada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, ia akan tetap tinggal
di bumi.” (Qs. ar-Ro’d [13]: 17)
DALAM temaram
cahaya unggun yang meretih di luar jeruji jendela sempit, Ibnu Taimiyah melihat
titik-titik bening di mata para muridnya. Ia tersenyum. Kejernihan di sorot
matanya menebar, mendesak gemuruh api yang memakan kayu berkeretak. Keteduhan
itu, tatapan penuh kasih itu, seperti sapuan salju di dada mereka yang membara.
Kemudian, penjara kota Damaskus di tahun 728 H, menjadi saksi kata-katanya yang
abadi menyejarah.
“Apa yang
dilakukan musuh-musuhku kepadaku? Demi Alloh, jika mereka memenjarakanku,
inilah rehat yang nikmat. Jika mereka membuangku ke negeri antah, inilah
tamasya yang indah. Jika mereka membunuhku, sebagai syahid aku disambut.”
Tembok-tembok yang lumutnya mengering hitam, lantai yang mencium mesra wajah
sujudnya di malam dingin, dan besi-besi jeruji berkarat diam khidmat.
“Apa yang harus
kami lakukan, wahai Guru?”
“Beberapa hari
ini, Sultan telah melarang penjaga memberiku pena, kertas, dan tinta. Tolong
lemparkan arang-arang itu ke dalam. Sungguh, aku ingin menulis. “Ya, mulai hari
itu, dari arang yang menari di atas tembok saksi, salah satu karya besarnya
yang berjudul Risalatul Hamawfiyah dipahatkan
untuk keabadian. Keabadian nama besar seorang syaikhul Islam. Keabadian da’wah
dan jihadnya. Keabadian atas hasad orang-orang kerdil jiwa yang iri padanya.
Ketika ia wafat,
buku-bukunya dibakar dan dihancurkan. Muridnya, Ibnul Qoyyim al-Jauziyah diarak
keliling kota, terikat di atas gerobak sampah. Anak-anak kecil berlarian
seiring ejek tawa para dewasa, mengolok, meludahi, dan melemparinya dengan buah
busuk. Hari ini. dalam katalog hampir semua perpustakaan orang menjumpai nama
Ibnu Taimiyah. Atau di toko buku. Ada, Selalu ada.
Tetapi jika makna
abadi bagi sebuah buku hanyalah keberadaan, maka sungguh sederhana ia. Lebih
dari itu, ia adalah pewarisan nilai. Apapun itu. Baik atau buruk. Maka dalam
Islam ada konsep tentang sunnah hasanah
dan sunnah sayyi’ah. Ada kesholihan jariyah, tapi juga ada dosa yang terus
mengalir. Inilah pewarisan penuh resiko. Maka apakah yang kau wariskan?
Berbahagialah Ibnu
Taimiyah. Setiap huruf yang ia tuliskan tumbuh menjadi dzarroh kebaikan, memicu reaksi berantai yang mengalirkan pahala dari
sisi-Nya. Adakah Niccolo Machiavelli menyesal ketika tahu bahwa Il Principe menjadi sahabat lekat bukan
hanya Pangeran Cesare de Borgia -penguasa cerdik yang ia cantumkan di halaman
persembahan-, tetapi juga Napoleon dan Hitler? Juga Stalin yang akan
menyumbangkan pembantaian 20 juta manusia sebagai tafsir karyanya?
Jika kata adalah
sepotong hati, seperti kata Abul Hasan ‘Ali an-Nadwi, maka semoga buku adalah
cinderajiwa. Bagi Mukmin sejati, ia adalah sekelumit manikam yang diuntai dari
ketulusan terdalam. Ia adalah huruf-huruf yang mengenalkan pahatan makna dari
prasasti nurani penulisnya. Maka sucilah buku sebagaimana suci jiwa yang
menuangkan inspirasinya. Maka abadilah buku, sebagaimana abadinya niat suci penulisnya.
Meski, mereka rnasih manusia. Ada salah ada lupa.
Anggun dan bijak
Imam besar ahli hadits, Syamsuddin adz-Dzahabi berkata tentang Ihyaa’ ‘Ulumuddin karya al-Ghozali, “Kalau
saja tidak ada ilmu mustholahul hadits,
maka inilah salah satu buku terbaik sepanjang masa.” Ya, iapun mengabadi hingga
kini meski kita tak menyaksikan bagaimana penulisnya kemudian menyadari
indahnya hadits-hadits shohih Rosululloh. Abu Hamid al-Ghozali wafat dengan Shohih
al-Bukhori terpeluk erat di dadanya. Niat sucinyalah yang mengabadi.
Niat suci. Ikhlas.
Alloh telah membuat perumpamaan yang indah tentang keikhlasan.
“Di antara kotoran dan darah, ada susu yang kholis,
-ikhlas, murni- mudah ditelan bagi Peneguknya.” (Qs. an-Nahl [16]: 66)
Laiknya susu yang
murni itu, keikhlasan mengambil tempat dalam ancaman ketakmurnian. Ada kotoran
dan darah. Tetapi susu itu murni, bergizi, bermanfaat, dan mudah ditelan.
Sungguh jika seorang penulis ikhlas, ia -hati, ucapan, tulisan, dan tindakannya-
akan murni, bergizi, bermanfaat, dan mudah ditelan. Mudah dicerna, menjadi
energi jiwa. Aduhai sungguh malang meminum susu bercampur sedikit kotoran atau darah.
Kalaupun tak muntah, jadilah penyakit. Semalang mencerap buku yang ditulis
tanpa keikhlasan. Tetapi, betapa sulitnya ikhlas itu.
Syukurlah, sejarah
mencatat nama Abul Faroj ibnul Jauzy. Ia bukan raja, bukan penguasa, kata
Ustadz Anis Matta dalam serial cintanya. Tetapi 50.000 orang yang hadir tiap
kali ia menggelar majelisnya di Baghdad senantiasa menitikkan air mata
bersamanya merasai keagungan Alloh. Melalui lisannya, 30.000 orang yang
tersesat kembali ke pangkuan hidayah. Dan tulisan-tulisannya pun mengabadi.
Seperti Shoidul Khothir, yang oleh ’Aidh al-Qorni disebut, “Buku paling bagus
dan paling menarik yang pernah saya baca.”
Masih ada banyak
makna ketika buku adalah cinderajiwa seorang Mukmin sejati. Seperti Fathul Barii, penjelasan paling
mengagumkan atas Shohih al-Bukhori. Ia adalah saksi atas doa seorang Ibnu Hajar
al-‘Asqolani, “Ya Alloh, jadikan diriku melebihl adz-Dzahabi!” Bukan iri. bukan
sombong, atau arogan. Hanya sebuah perlombaan indah untuk meraih ridho Alloh.
Maka ketika Imam asy-Syaukani diminta mensyaroh buku yang sama, ia menjawab, “Laa hijrota ba’dal Fath; tiada hijroh
setelah Fathul Makkah, tiada syaroh sesudah Fathul
Barii.”
Ya, cinta. Sebagai
cinderajiwa terkadang buku juga mengabadikan cinta penulisnya. Cinta yang
besar, cinta yang agung, cinta yang suci. Betapa tulus seorang ibu membesarkan
putera yatimnya dalam papa, maka sang putera pun mencintainya. Inilah kisah asy-Syafi’i
dan ibundanya. Kelak, untuk sang ummi, ia menulis buku induk fiqihnya yang luar
biasa. Ia memberinya judul al-Umm, Sang Ibunda.
Buku, sang
cinderajiwa juga menjadi sisi lain yang mengutama. Hasan al-Banna memang
berkata, “Saya tidak mencetak buku, saya mencetak kader!” Tetapi kecintaannya
yang begitu tinggi pada da’wah tak dapat ditutupi dari Majmuu’atur Rosaail, kumpulan risalah kecilnva dan bahkan Mudzakkirotud Da’wah wad Da’iyyah,
memoarnya yang ditujukan untuk da’wah dan para da’inya.
Atau, cinderajiwa
itupun mengabadikan ruh perjuangan, spirit menyala, dan jihad penulisnya.
Benarlah ‘Abdulloh ‘Azzam ketika mengatakan bahwa sejarah Islam hanya ditulis
dengan nuansa dua warna. Hitam tinta para ‘ulama dan merah darah para syuhada’.
Ia, lelaki yang meninggalkan duduk manis mengajar mahasiswa untuk tegak
mengokang Kalashnikov di antara hujan peluru itu telah menuliskan kedua
warnanya untuk kita.
Saat hadir pertama
kali, di jalanan Kairo 8000 jilid Fii
Zhilaalil Qur’an dibakar. Cukuplah memiliki Ma’alim fith Thoriq sebagai alasan untuk memasuki penjara perang
Abdel Nasser sepuluh tahun lamanva. Subhanallooh.
Sesungguhnya, tak seorangpun mengetahui kapan dan di mana ruhnya pergi
dipanggil Ilahi. Tetapi Sayyid Quthb, lelaki kurus dengan kata-kata menyala
yang menulis kedua buku itu telah meyakini dan menuliskan kalimat ini jauh
sebelum kematian menjemputnya:
Kalimat-kalimat kita menjadi boneka lilin
Jika kita mati untuk mempertahankannya
Maka saat itulah ruh merambahnya
Hingga kalimat-kalimat itu hidup selamanya
Kalau saja dia
hanya bicara, kata-kata ini akan menjadi hampa. Tetapi Sayyid Quthb menyongsong
janji pada Robbnya. Ia menjemput syahidnya. Maka salam untuknya, “Kalimat-kalimat
itu hidup selamanya. Abadilah cinderajiwa!” []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar