Jama’ah yang Alloh muliakan,
Ada kenyataan hidup yang membagi-bagi kita menjadi kaya-miskin, bahagia-sedih, cantik-buruk, sehat-sakit dan semacamnya. Tapi yang harus menjadi tolok ukur pandangan kita adalah, perbedaan yang menyangkut ketaatan dan kemaksiatannya kepada Alloh swt. Bukan kondisi-kondisi yang memang sudah menjadi sunnatul hayah (prinsip dan garis hidup) di luar kuasa kita sebagai makhluk Alloh.
Mari perhatikan lebih seksama, apa yang dituliskan Imam Ahmad ra tentang perkataan Abu Darda ra, salah seorang sahabat Rosululloh yang dikenal sebagai ahli ibadah dan zuhud terhadap dunia. Ia mengatakan, “Kefakiran yang paling aku sukai adalah ketundukan dan ketawadhu’an kepada Alloh swt. Kematian yang paling aku cintai adalah kematian saat merindukan Alloh swt. Sakit yang paling aku inginkan adalah sakit yang menghapuskan dosa-dosaku.” (Az-Zuhd, Imam Ahmad, 187)
Subhanalloh... Maha suci Alloh...
Kefakiran, kematian, dan rasa sakit bisa mengguncangkan jiwa seseorang. Tapi kondisi-kondisi itu menjadi memiliki nilai yang lain ketika dilihat dari sudut kedekatan pada Alloh swt. Itulah yang mengubah pandangan sahabat Rosululloh saw, Abu Darda ra, kala menyikapi kefakiran, kematian, dan sakit seseorang.
Jama’ah yang Alloh muliakan,
Mendekat dan bersandarlah kepada Alloh swt. Sebab kehidupan ini memang kerap menipu dan menjebak, jika kita berdiri tanpa bersandar dan mendekat kepada Alloh swt. Dunia ini, seperti ungkapan Ibnu Muqoffa’, seperti air laut yang setiap kali dihirup, akan semakin memunculkan dahaga dan haus bagi orang yang meminumnya. Seperti juga tulisan seorang ulama tentang apa yang diperolehnya dari kehidupan ini. Ia menuliskan: “Hidup telah mengajariku, bahwa di sekolah kita belajar kemudian baru menghadapi ujian. Tapi di dalam hidup ini, kita menghadapi ujian dan setelah itu barulah kita belajar. Hidup telah mengajariku, bahwa seseorang lebih baik menyesali kekeliruan yang telah ia lakukan daripada menyesali apa yang belum ia lakukan. Karena seseorang bisa belajar dari kekeliruannya dan tidak belajar bila ia tidak melakukan apa-apa. Hidup telah mengajariku bahwa kebahagiaan tidak diperoleh dengan kehidupan yang tanpa masalah, tapi kebahagiaan bisa diperoleh dengan mengatasi masalah dalam hidup.”
Karena itulah, jama’ah yang Alloh muliakan,
Cobalah pandang segala keadaan hidup ini dari jendela yang lain. Karena dari jendela itu, ternyata sebuah peristiwa hidup ini, menyimpan banyak penilaian yang kemungkinan justru bertolak belakang dari penilaian kita sebelumnya. Perhatikanlah wasiat Imam Hasan Al-Bashri rohimahulloh berikut ini. “Jangan terpedaya dengan gedung dan tempat yang bagus. Karena tak ada tempat yang lebih baik dari surga. Dan dahulu di dalam surga ayah kita Adam as pernah hidup di surga, tapi lihatlah bagaimana kondisi akhirnya! Jangan terpedaya dengan banyak ibadah yang engkau lakukan. Karena dahulu Iblis juga pernah tinggal di dalam surga juga dan melakukan ibadah, tapi lihatlah bagaimana keadaan selanjutnya! Jangan terpedaya dengan hanya kagum melihat orang-orang sholih. Karena tak ada orang yang lebih mulia dari Rosululloh saw, tapi ternyata orang-orang kafir dan munafiq tidak pengambil manfaat dari kemuliaan Rosululloh saw.”
Sungguh luar biasa sudut pandang mereka, jama’ah. Ketajaman pandangan mereka bisa menembus kulit sebuah peristiwa yang telah banyak menipu manusia. Ketundukan mereka kepada Alloh telah memunculkan perasaan yang sangat berbeda dengan perasaan banyak orang terhadap suatu masalah. Hingga salah seorang salafushsholih itu pun mewasiati anaknya dengan pandangan yang tajam pula. Sa’ad ibn Abi Waqqosh ra berkata, “Anakku, jika engkau ingin mencari kekayaan, carilah dia dengan qona’ah (merasa puas dengan apa yang ada). Karena qona’ah adalah harta yang tak pernah habis. Jangan sekali-kali engkau mencari kekayaan dengan ketamakan, karena ketamakanlah yang mendatangkan kefakiran.”
Lihatlah, Saudaraku,
Bagaimana Sa’ad ibn Waqqosh menegaskan bahwa ketamakan tak pernah mendatangkan kekayaan, melainkan sebaliknya, kefakiran. Sedangkan kepuasan dengan apa yang ada, justru memberikan kekayaan yang tak pernah habis.
Jama’ah yang Alloh muliakan,
Marilah beralih untuk menyikapi keadaan sulit ini dengan pandangan yang berbeda. Kita tidak boleh terjebak pada kondisi yang mungkin secara lahir sempit dan menyakitkan. Kita tidak boleh terkurung pada keadaan yang barangkali secara kasat kita merasakannya sebagai musibah atau penderitaan. Yang harus kita lakukan adalah, memandang dan merasakannya dari sudut yang berbeda. Dari sudut kecintaan kita kepada Alloh swt, dan dari sisi keridhoan Alloh swt kepada kita.
Kesedihan, tangis, tampilan sakit, memang tak selamanya menyimpan kepahitan dan kesulitan. Asy-Sya’bi (wafat tahun 104 H) bercerita tentang pengalamannya mendampingi Syuroih Al-Qodhi (wafat tahun 29 H). Syuroih adalah tokoh hakim Islam yang terkenal keadilannya dalam memutuskan perkara. Dialah hakim yang dengan berani memutuskan merugikan Amirul Mukminin ‘Ali ibn Abi Tholib perihal ‘baju besi’ milik ‘Ali yang diambil oleh seorang Yahudi.
Jama’ah yang Alloh muliakan,
Suatu ketika Syuroih pernah didatangi seorang perempuan tua yang menangis tersedu-sedu. Ia menangis dan mengadu perilaku suaminya sambil terus menangis. Asy-Sya’bi yang juga seorang hakim, berkata kepada Syuroih, “Semoga Alloh memudahkan urusanmu. Aku melihat ia benar-benar wanita yang dizholimi.” Tapi Syuroih mengatakan kepada Asy-Sya’bi, “Apa yang kamu ketahui tentang kezholiman atas dia?” Asy-Sya’bi mengatakan, “Tangisannya.” Syuroih dengan tenang mengatakan, “Sesungguhnya dahulu saudara-saudara Yusuf juga mendatangi ayah mereka dalam kondisi menangis dan melapor telah dizholimi. Padahal justru merekalah yang berlaku zholim.”
Lihatlah jendela lain, saudaraku. Kita pasti masih berada dalam naungan kasih sayang Alloh, disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar