Kamis, 23 April 2015

Seburuk-buruk Penyesalan

Saudaraku,
Menurut Imam Ibnul Jauzi rohimahulloh, ada dua sebab yang menjadikan para sahabat Rosululloh lebih utama dan unggul dibanding kaum Muslimin yang lainnya.

Pertama, kebersihan hati mereka dari ragam keraguan, yang berarti mereka memiliki kekuatan iman yang tinggi. Kedua, pengorbanan mereka dalam hal jihad dan kesungguhan.

Dua keadaan ini memang pantas disandang oleh para sahabat yang mulia. Itu sebabnya Rosululloh SAW pernah menyitir perkataan, “Sebaik-baik zaman adalah zamanku, kemudian zaman setelahnya, kemudian zaman setelahnya dan seterusnya.” Generasi sahabat rodhiyallohu anhum, dilanjutkan dengan generasi tabi’in dan generasi tabi’it tabi’in dan seterusnya. Itulah siklus masa kondisi kaum Muslimin yang sangat indah.

Mereka, bukan manusia yang tak punya keinginan dunia. Bukan manusia yang tak mempunyai hawa nafsu. Mereka adalah manusia yang memiliki hasrat, ambisi, dan keinginan. Sama seperti kita. Itu diakui oleh ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz ra, Kholifah bani Umayah yang terkenal sholih dan sebagian orang menyebutnya sebagai kholifah ke lima (setelah ‘Ali).

“Jiwaku,” kata ‘Umar, “Memiliki sifat yang tidak pernah puas. Jika aku memperoleh sesuatu maka aku ingin sesuatu yang lebih baik lagi darinya. Ketika jiwaku mendapat khilafah dan tidak ada lagi kedudukan yang lebih tinggi dari khilafah, jiwaku menginginkan akhirat.”

Saudaraku,
Hidup di dunia memang sarat dengan ambisi dan keinginan keduniaan. Ingin hidup lebih baik, ingin memperoleh harta benda, ingin mendapat kedudukan tinggi dan dihormati karena kedudukan, ingin ada jaminan hidup yang pasti bahkan setelah kehidupan sudah bukan milik kita lagi. Aneh sebenarnya.

Tapi mau tidak mau, itulah kenyataan ambisi keduniaan yang ada dalam benak banyak orang. Mungkin termasuk kita. Hanya keimanan yang mampu mengekang dan mengontrol ambisi keduniaan itu agar tidak berlebihan dan merusak.

Di zaman Dinasti Umayah, ada salah seorang gubernur yang sangat berkuasa, Hisyam ibn ‘Abdul Malik namanya. Suatu ketika ia menunaikan haji di Baitulloh dan bertemu seorang ulama hadits, Salim ibn ‘Abdulloh bin ‘Umar. Hisyam mendekati Salim dan berkata, “Wahai Salim, mintalah kepadaku apa keperluanmu.” Salim mengatakan, “Demi Alloh saya sangat malu untuk meminta selain kepada-Nya di rumah-Nya ini.”

Kemudian ia keluar dari wilayah Ka’bah dan ternyata ia diikuti oleh Hisyam bin ‘Abdul Malik yang penasaran dengan penolakannya itu. “Sekarang engkau sudah keluar dari Baitulloh, mintalah padaku apa yang kau perlukan,” tanya Hisyam.

Salim berhenti. Ia menoleh ke arah Hisyam lalu berkata, “Apa yang perlu kuminta padamu? Kebutuhan dunia atau kebutuhan akhirat?” Hisyam menjawab, “Tentu saja kebutuhan dunia.” Salim berkata, “Sesungguhnya aku tidak meminta kebutuhan dunia pada Yang Memiliki dunia. Bagaimana aku meminta dunia kepada yang tidak memiliki dunia?”Subhanalloh, Maha Suci Alloh yang telah menciptakan keluhuran hati Salim ibn ‘Abdulloh ibn ‘Umar ra.

Saudaraku,
Tahanlah segala ambisi keduniaan itu. Kekang ia agar tetap ada dalam batas-batas tertentu. Tinggalkan keinginan yang berlebihan. Cukupkan ia dengan berbagai amal sholih yang akan memberi ketenangan dan kepuasan batin.

Ingatlah, segala yang berlebihan, pasti membawa keburukan. Seorang ahli hikmah pernah mengungkapkan, “Barangsiapa yang meninggalkan berlebihan dalam bicara, ia akan memperoleh hikmah. Barangsiapa yang meninggalkan berlebihan dalam pandangan, ia akan memperoleh kekhusyu’an. Barangsiapa yang meninggalkan berlebihan dalam makanan, maka ia akan diberi kelezatan ibadah. Barangsiapa yang meninggalkan kelebihan tertawa, ia akan rnemperoleh kewibawaan. Barangsiapa yang meninggalkan cinta dunia, ia akan mendapatkan cinta akhirat. Dan barangsiapa yang meninggalkan sibuk oleh aib orang lain, maka ia akan memperoleh kesibukan memperbaiki aibnya sendiri.”

Kita di sini, bukan hanya menghadapi badai laut, hutan belantara, atau angin topan. Semakin lama melangkah di jalan ini, maka ancaman keimanan kita semakin berat dan keras. Ancaman yang bukan hanya merupakan taruhan hidup dan mati, tapi soal surga atau neraka.

Seseorang pernah berkata pada ‘Ali ibn Abi Tholib, “Ceritakan padaku kewajiban yang paling wajib, keanehan yang paling aneh, kesulitan yang paling sulit, dan kedekatan yang paling dekat.” ‘Ali berkata, “Taubat itu wajib bagi seseorang. Tapi lebih wajib lagi baginya untuk meninggalkan dosa.”

Perjalanan waktu ini sangat mengherankan, tapi lebih mengherankan lagi kelalaian manusia terhadap waktu. Sabar dalam menghadapi musibah itu sulit tapi hilangnya kesabaran itu lebih sulit lagi. Semua yang bisa dicapai itu dekat tapi kematian lebih dekat dari semuanya.”

Saudaraku,
Sudah terlampau lama kita bermain-main dan merenggangkan pegangan tangan pada hidayah Alloh. Mari kuatkan kembali pegangan itu. Syafiq ibn Ibrohim pernah mengatakan, “Pintu taufik (bantuan Alloh) akan tertutup dari makhluk dalam enam keadaan.

Kesibukan mereka dengan nikmat daripada mensyukurinya. Keinginan untuk menuntut ilmu dan meninggalkan pengamalannya. Bersegera melakukan dosa dan menunda-nunda taubat. Bangga berteman dengan orang sholih tanpa mencontoh apa yang mereka lakukan. Dunia akan mereka tinggalkan, tapi mereka mengejar dunia. Akhirat pasti akan mereka datangi, tapi mereka justru berpaling dari akhirat.”

Saudaraku,
Seburuk-buruk buta adalah buta hati. Seburuk-buruk kesesatan adalah kesesatan setelah menerima petunjuk. Seburuk-buruk permintaan maaf adalah ketika meminta maaf menjelang mati. Seburuk-buruk penyesalan adalah penyesalan di hari kiamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar