Pada setiap bulan April, masyarakat Indonesia selalu mengingat dua kosa kata berikut: emansipasi dan Kartini. Sebenarnya apa itu emansipasi, dan siapakah Kartini? Mengapa keduanya harus selalu berhubungan? Kita coba memahami keduanya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan makna emansipasi dengan dua pengertian (1) pembebasan dari perbudakan; (2) persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria). Kartini adalah tokoh wanita Indonesia. Demikian penjelasan dari KBBI Online. Wikipedia Indonesia memuat makna emansipasi sebagai berikut: “emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu.”
Dari penjelasan tersebut, bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan emansipasi adalah persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan, seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria. Namun, apakah Kartini pernah menyebut kata ‘emansipasi’? Ternyata tidak. Itu bukan istilah yang digunakan oleh Kartini untuk menyebut sisi perjuangan yang dilakukan. Jika pun Kartini disebut sebagai tokoh yang mengusung emansipasi, pasti tidak pernah bisa dilepaskan dari latar belakang dan kultur yang berada di sekitarnya. Kartini mewakili bangsawan Jawa, sosok ningrat yang dikekang dengan berbagai aturan tradisi.
Kartini lahir di desa Mayong, Kabupaten Jepara, 21 April 1879 dan meninggal dunia di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun. Sebagai anak seorang bupati, Kartini hidup dalam keluarga yang berkecukupan. Saat kecil, Kartini dimasukkan ke sekolah elit orang-orang Eropa, Europese Lagere School (ELS) dari tahun 1885-1892. Di sekolah ini, Kartini banyak bergaul dengan anak-anak Eropa.
Ahmad Mansur Suryanegara (ahli sejarah Unpad) mencatat, “Sebagai keluarga priyayi Jawa, kultur mistis dan kebatinan begitu melekat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun bagi Kartini, ikatan adat istiadat yang telah berurat akar dalam itu, dianggap mengekangnya sebagai perempuan. Setelah tamat dari sekolah ELS, Kartini memasuki masa pingitan. Sementara itu, Kartini merasakan betul betapa haknya mendapatkan pendidikan secara utuh dibatasi. Di luar, ia melihat pendidikan Barat-Eropa begitu maju.”
Kartini banyak bergaul dan melakukan korespondensi dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi, seperti J. H Abendanon dan istrinya Ny Abendanon Mandri, seorang humanis yang ditugaskan oleh Snouck Hurgronye untuk mendekati Kartini. Ny Abendanon Mandri adalah seorang wanita kelahiran Puerto Rico dan berdarah Yahudi.
Kartini dan Perjuangan Kaum Perempuan
Perjuangan Kartini kita kenal tertuang dalam buku yang memuat surat-surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Eropa, Door Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn Pane diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Buku ini diterbitkan semasa era Politik Etis oleh Menteri Pengajaran, Ibadah, dan Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H. Abendanon tahun 1911.
Buku ini dianggap sebagai pemikiran besar yang layak menempatkan Kartini sebagai orang yang sangat berpikiran maju pada zamannya. Konon, saat itu, tidak ada wanita yang berpikiran sekritis dan semaju itu. Benarkah klaim ini? Klaim yang selalu diajarkan di semua sekolah kita setiap memperingati Hari Kartini.
Padahal dua abad SEBELUM Kartini lahir, di Kerajaan Aceh Darussalam sudah ada empat perempuan yang menjadi Sultan (Sultanah) dari 31 Sultan yang ada. Mereka adalah Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin (memerintah tahun 1050-1086 H), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H), Sri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah (1088-1098 H), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1098-1109 H). Aceh dipimpin oleh Sultanah perempuan selama empat periode (1641-1699 M). Posisi Sultanah menjadi bukti nyata bahwa kaum perempuan di Indonesia sejak lama sudah memiliki pemikiran yang maju dan perjuangan yang besar.
Jika Raden Ajeng Kartini berdiskusi melalui surat menyurat dengan Abendanon, maka para perempuan Aceh sudah berperang melawan penjajah bersama para lelaki, bahkan beberapa di antara mereka menjadi Panglima Perang memimpin kaum laki-laki. Di antara yang sangat terkenal adalah Laksamana Malahayati yang gagah berani dalam memimpin armada laut Kerajaan Aceh Darussalam melawan Portugis. Malahayati tercatat sebagai Laksamana Perempuan Pertama di dunia. Dialah yang memimpin armada perang Kesultanan Aceh menggempur armada-armada Portugis dan Belanda di Selat Malaka. Armadanya terdiri dari 100 buah kapal. Tiap kapal terdiri dari 400 - 500 pasukan.
Malahayati hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Atjeh dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun 1589 -1604 M. Malahayati pada awalnya dipercaya sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan luar istana, berpasangan dengan Cut Limpah yang bertugas sebagai petugas Dinas Rahasia dan Intelijen Negara. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Meunasah/ Pesantren, beliau meneruskan pendidikannya ke Akademi Militer Kerajaan, “Ma’had Baitul Maqdis”, akademi militer yang dibangun dengan dukungan Sultan Selim II dari Turki Utsmaniyah.
Akademi ini didukung oleh 100 dosen angkatan laut yang sengaja didatangkan dari kerajaan Turki tersebut. Disini pula dirinya bertemu jodohnya sesama kadet yang akhirnya menjadi Laksamana, namun sampai kini nama suaminya belum dapat diketahui dengan pasti. Lulus dari akademi, Malahayati diangkat menjadi Komandan Protokol Istana Darud-Dunia Kerajaan Aceh Darussalam, begitu juga dengan suami yang diangkat menjadi Laksamana.
Nama Malahayati sangat ditakuti oleh Armada-armada Portugis, Belanda dan Inggris. Karena Malahayati lah yang berhasil membunuh Cornelis De Houtman di tahun 1599. Cornelis De Houtman adalah orang Belanda yang pertama kali menancapkan kuku imperialisme di Indonesia. Sungguh sangat sulit mencari perempuan segagah Malahayati di zaman sebelumnya atau sesudahnya.
Yang relatif satu generasi dengan Kartini, juga sangat banyak tokoh perempuan lainnya. Di Aceh ada Cut Nyak Din (1848 – 1908), yang memimpin perang melawan Belanda setelah suaminya, Teuku Umar, syahid. Kita juga mengenal Teungku Fakinah (1856 – 1938), seorang ustadzah yang memimpin resimen laskar perempuan dalam perang melawan Belanda. Bahkan usai perang, Teungku Fakinah mendirikan pusat pendidikan Islam bernama Dayah Lam Diran.
Kita mengenal Cut Meutia (1870 – 1910), yang selama 20 tahun memimpin perang gerilya dalam belukar hutan Pase dan akhirnya meninggal dunia karena bersumpah tidak akan menyerah hidup-hidup kepada Belanda. Ada pula Pocut Baren (1880 – 1933), seorang pemimpin gerilya yang sangat berani dalam perang melawan Belanda di tahun 1898-1906. Berikutnya Pocut Meurah Intan, yang juga sering disebut dengan nama Pocut Biheu, bersama anak-anaknya—Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin—berperang melawan Belanda di hutan belukar hingga tertawan setelah terluka parah di tahun 1904.
Sejarah juga mencatat Cutpo Fatimah, teman seperjuangan Cut Meutia, puteri ulama besar Teungku Chik Mata Ie yang bersama suaminya bernama Teungku Dibarat melanjutkan perang setelah Cut Meutia syahid, hingga dalam pertempuran tanggal 22 Februari 1912, Cutpo Fatimah dan suaminya syahid bertindih badan diterjang peluru Belanda.
Salah seorang pemimpin gerilya Aceh Darussalam, Pocut Baren, namanya diabadikan menjadi nama sebuah resimen laskar perempuan Aceh “Resimen Pocut Baren” yang merupakan bagian dari Divisi Pinong di Aceh semasa revolusi fisik melawan Belanda. Resimen perempuan Aceh ini sangat ditakuti Belanda karena terkenal tidak pernah mundur atau pun melarikan diri dalam setiap pertempuran. Mereka bahkan pantang menyerah hidup-hidup kepada penjajah.
Sangat mungkin, disebabkan ruang gerak perempuan Aceh yang sangat luas, maka mempengaruhi cara berpakaian mereka. Prof. Dr. Hamka menulis, “Di seluruh tanah air kita ini, hanya di Aceh pakaian asli perempuan memakai celana. Sebab mereka pun turut aktif dalam perang. Mereka menyediakan perbekalan makanan, membantu di garis belakang dan pergi ke medan perang mengobati yang luka.”
Buya Hamka juga menyatakan, “Pikirkanlah dengan dalam! Betapa jauh perbedaan latar belakang wanita Aceh 358 tahun yang lalu itu dengan perjuangan wanita zaman sekarang. Mereka itu didorong oleh semangat jihad dan syahid karena ingin bersama menegakkan agama Allah dengan kaum laki-laki, jauh daripada arti yang dapat kita ambil dari gerakan emansipasi wanita atau Feminisme zaman modern sekarang ini.”
Sangat Banyak “Kartini” Lainnya
Kita ingat Sekolah Kartini baru berhasil didirikan tahun 1915, setelah 11 tahun dari wafatnya Kartini. Bisa dikatakan Kartini belum berhasil mewujudkan cita-cita besarnya saat masih hidup. Kedua adiknya --yaitu Kardinah dan Rukmini-- dibantu oleh TH Van Deventer serta JH. Abendanon yang mewujudkan mimpi-mimpi Kartini melalui Yayasan Kartini. Berbeda dengan Rohana Kudus. Ia berhasil mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia di tahun 1911 ketika Rohana berusia 27 tahun.
Rohana Kudus (1884-1972) hidup sezaman dengan Kartini, usianya lebih muda lima tahun. Ketika Kartini mencetuskan ide-ide perjuangannya melalui korespondensi surat dengan para sahabat Belandanya, maka Rohana mengeluarkan ide-ide perjuangannya melalui koran yang ia pimpin. Rohana Kudus mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911) dan Rohana School (1916). Selain itu ia menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis perempuan pertama di negeri ini. Rohana Kudus menyebarkan idenya melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).
Jika Kartini dianggap memiliki pembelaan yang kuat terhadap Islam, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”, begitu kata Rohana Kudus.
Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum perempuan. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Sekolah ini merupakan Sekolah Perempuan pertama di tanah Jawa, bahkan Sekolah Perempuan pertama se-Hindia Belanda. Sekolah ini bediri di tahun wafatnya Kartini.
Di Sulawesi Selatan tercatat nama Siti Aisyah We Tenriolle, seorang Ratu dari Kerajaan Tanette yang menjadi ratu perempuan terlama di Indonesia (1855-1910). Siti Aisyah We Tenriolle adalah seorang ratu yang cerdas. Tak hanya cakap di bidang pemerintahan, ia juga berhasil menyelamatkan sastra warisan dunia I La Galigo. Suatu epos terpanjang di dunia.
I La Galigo adalah suatu sajak mahakarya, yang mencakup lebih dari 6.000 halaman folio. Setiap halaman naskah tersebut terdiri dari 10-15 suku kata yang berarti cerita I La Galigo ditulis dalam sekitar 300.000 baris panjangnya. Satu setengah kali lebih panjang dari epos terbesar anak Benua India, Mahabharata yang hanya terdiri dari 160.000-200.000 baris.
Tidak hanya cerdas di bidang kesusateraan, Siti Aisyah We Tenriolle juga cerdas di bidang pemerintahan dan pendidikan. Aisyah berhasil mendirikan sekolah bagi rakyatnya. Sekolah tersebut tidak hanya diperuntukan bagi laki-laki, tetapi juga perempuan. Meski kurikulumnya masih sangat sederhana, hanya membaca, menulis dan berhitung tapi pada masa itu tergolong sudah sangat hebat.
Karena pada masa itu anak perempuan banyak tidak bersekolah. Aisyah lah tokoh yang pertama kali mendirikan sekolah yang menerima murid putra dan putri dalam satu kelas. Dia berhasil mewujudkan kesetaraan hak pendidikan bagi laki-laki dan perempuan jauh sebelum Kartini dilahirkan. Aisyah menginginkan rakyatnya melek pendidikan, tidak terkecuali perempuan.
Ternyata, para tokoh perempuan itu semua sudah sederajat dengan kaum laki-laki dalam berbagai dinamika kehidupan, baik sebelum era Kartini, maupun pada era Kartini. Sudah ada perempuan menjadi Sultan di Kerajaan Aceh selama empat periode kepemimpinan. Sudah ada perempuan menjadi Laksamana Perang. Sudah ada perempuan menjadi Sultan di Sulawesi Selatan. Sudah ada perempuan mendirikan koran dan sekolahan. Kartini bahkan hanya ‘surat-suratan’ saja. Tidak mendirikan sekolahan, tidak membuat koran, tidak memimpin perang melawan penjajahan.
Kartini Tekun Belajar Agama Islam
Kartini mengalami proses pembelajaran Islam yang sangat terbatas. Pada awalnya ia hanya mendapatkan pengajaran baca tulis Al Qur’an, namun tidak diberi penjelasan makna dari apa yang ditulis dan dibaca tersebut. Hal ini tampak dari surat Kartini kepada Stella:
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).
“Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 15 Agustus 1902).
Suatu ketika, Kartini menghadiri pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat yang juga adalah pamannya. Pengajian dibawakan oleh seorang ulama bernama Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar, atau dikenal Kyai Soleh Darat, tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertarik sekali dengan materi yang disampaikan. Usai pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat.
Berikut ini dialog Kartini sebagaimana ditulis oleh Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat.
Kartini: “Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Kyai Soleh: “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”
Kartini: “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Setelah pertemuan itu Kyai Soleh Darat mulai menuliskan terjemah Al Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Pada pernikahan Kartini, Kyai Soleh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran yang diberi judul “Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran”, jilid pertama terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Kartini mulai mempelajari Islam melalui kitab yang ditulis Kyai Soleh Darat. Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Soleh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.
Kartini belum mengenal “tarbiyah”, belum mengenal bimbingan keislaman yang intensif. Kartini belum bertemu ustadz dan ustadzah yang berkafa’ah syar’i yang bisa membimbingnya secara rutin dalam kajian Islam pekanan. Maka pemahaman keislamannya masih sangat terbatas, namun ia memiliki semangat yang tampak dari berbagai tulisan suratnya.
Kartini menemukan dalam surat Al-Baqarah ayat 257 bahwa Allah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya, minazh zhulumati ilan nur. Rupanya, Kartini terkesan dengan kata-kata itu. “Dari kegelapan menuju cahaya”. Dalam surat-suratnya kemudian, Kartini banyak sekali mengulang-ulang kalimat “dari gelap menuju cahaya” ini. Istilah “dari gelap menuju cahaya” yang dalam Bahasa Belanda adalah “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan makna setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Akhirnya sampailah, “Hari yang membawa perubahan dalam jiwa kami. Sudah kami dapatkan Dia (Allah, pen) yang bertahun-tahun lamanya didahagakan oleh jiwa kami dengan tiada setahu diri.” Selanjutnya Kartini menyatakan kepada E. C. Abendanon. ”Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan (Al-Qur’an, pen) di samping kami” (15 Agustus 1902).
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Al-Qur’an yang dikaji Kartini telah menumbuhkan sikap baru, “Kami bersedia, bersedia berbuat apa juapun, bersedia memberikan diri kami sendiri.” Selanjutnya Kartini bersedia berkorban dan korbannya ini dinilai sebagai, “Bersedia menerima: luka hati, air mata darah akan mengalir banyak-banyak, tetapi tiadalah mengapa: kesemuanya itu akan membawa ke arah kemenangan. Manakah akan terang, bila tiada didahului gelap gulita. Hari fajar lahir pada malam” (17 Agustus 1902).
Jadi, Apa Perjuangan Kartini?
Jadi, bagaimana kita bisa menganggap Kartini mencita-citakan persamaan antara perempuan dan laki-laki seperti paradigma Barat? Apa ini bukan propaganda Barat untuk menunjukkan keberhasilan mereka dalam mencerahkan perempuan Indonesia melalui Kartini? Kasihan Kartini, kalau kita posisikan seperti ini. Nyatanya, Kartini bahkan menyerang peradaban Barat. Hal ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?“
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau orang-orang Jawa Kebarat-baratan” (surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 10 Juni 1902).
Yang diperjuangkan Kartini adalah pengajaran dan pendidikan untuk kaum perempuan. Bukan memperjuangkan emansipasi. Perhatikan surat Kartini berikut:
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama" (Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902).
Sebagai seorang muslimah, Kartini juga menyerang upaya Kristenisasi terhadap umat Islam yang dilakukan penjajah Belanda. “Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” (Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903).
Ahmad Mansur Suryanegara memberikan catatan, “Di tengah perjuangannya menentang adat dan mencari ajaran agama, Kartini mendapatkan semacam ajaran agama Kristen dari Ny. van Kol. Tetapi Kartini sekalipun masih muda, namun tidaklah kehilangan identitasnya sebagai pemeluk agama islam. Tidak silau dan terpukau oleh kemajuan Barat, Kartini menunjukkan kematangan sikapnya: ‘Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami (Agama Islam, pen) yang sekarang ini’ (21 Juli 1902). Demikianlah jawaban Kartini menolak ajakan Ny. van Kol”.
Jika Kartini sekarang masih hidup, sepertinya beliau akan sedih melihat peringatan Hari Kartini selalu dikaitkan dengan emansipasi seperti yang dipahami masyarakat Indonesia sekarang ini. Seakan dia mengajak berperang melawan kaum laki-laki untuk menuntut persamaan hak. Padahal Allah sudah memberikan persamaan hak, derajat dan posisi antara laki-laki dan perempuan, tanpa harus dituntut. Kartini bahkan berjuang untuk membuat Islam bisa diterima secara baik oleh umat lain.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
“Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 5 Maret 1902).
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: Hamba Allah (Abdulloh)” (Surat Kartini kepada Ny. Abandanon, 1 Agustus 1903).
“Kesusahan kami hanya dapat kami keluhkan kepada Alloh, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya Dia-lah yang dapat menyembuhkan” (Surat Kartini kepada Nyonya Abandanon, 1 Agustus 1903).
“Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia pun, ia sebenar-benarnya bebas” (Surat kepada Ny. Ovink, Oktober 1900).
Bahkan peradaban Barat tidak memberikan contoh perjuangan emansipasi seperti yang diopinikan selama ini. Lihat saja Amerika Serikat yang sudah berusia lebih dari dua ratus tahun, Presidennya selalu laki-laki. Belum ada perempuan yang dianggap pantas untuk menjadi Presiden Amerika Serikat. Lebih maju Indonesia dong...smile emotiko
Jadi, apa sebenarnya emansipasi itu? Dan siapa yang memperjuangkannya? Bahkan Kartini sendiri mungkin tidak mengerti.
Oleh: Cahyadi Takariawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar