“PADA MALAM ITU”,
Ka’b ibn Malik menuturkan, “Kami tidur di tengah rombongan kaum kami. Setelah
lewat sepertiga malam, kami keluar dari rombongan menuju tempat yang sudah kami
janjikan untuk bertemu Rosululloh Shollalloohu
‘Alaihi wa Sallam. Masing-masing dari kami satu demi satu berjalan
mengendap-endap dengan langkah hati-hati, hingga akhirnya kami semua berkumpul
di bukit ‘Aqobah.”
Begitulah sang
pelaku sejarah bai’at ‘Aqobah kedua, Ka’b ibn Malik al-Anshory mengisahkan
prolog peristiwa agung itu. Satu hal yang menarik perhatian saya adalah dipilihnya
bukit ‘Aqobah sebagai lokasi pertemuan top-secret
itu. Jika Quroisy sampai mengetahui kejadian ini, niscaya sejarah da’wah
sungguh akan ditulis berbeda. Ya, mengapa ‘Aqobah yang dipilih? Secara tidak
langsung, surat al-Balad yang mengisahkan negeri Makkah, menjawab pertanyaan
saya.
“Maka tidakkah sebaiknya dengan hartanya itu ia
menempuh ’Aqobah, jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang
mendaki lagi sukar itu? Melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada
hari kelaparan, anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang
sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan
untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang,” (Qs. al-Balad [90]: 11-17)
‘Aqobah, menurut
ayat ini teterjemahkan sebagai jalan yang mendaki lagi sukar. Pertimbangan
lokasi itu sempurna. Jalan menujunya pun mendaki lagi sukar. Dan mungkin
sempit. Karena Ka’b sampai mengatakan bahwa mereka harus satu-satu
mengendap-endap untuk mencapainya.
Membicarakan ‘Aqobah
dan segala rerupa geografisnya tentu menarik. Tetapi lalu, saya lebih tertarik
untuk mencermati susunan avat-ayat yang turun di awal-awal risalah seperti yang
dicontohkan Surat al-Balad ini. Basis da’wah ternyata dimulai dari pelayanan,
baru kemudian seruan. Ada kaidah da’wah untuk menjawab permasalahan sosial dulu
baru kemudian menyerukan iman, kesabaran, dan kasih sayang. Maaf, bukankah
tanpa kerja-kerja sosial -membebaskan budak, memerangi kelaparan-,
seruan-seruan itu bakal terasa omong kosong?
Tanpa didahului
kerja-kerja nyata itu, seruan-seruan hanya akan melahirkan tanya mengecam.
Misalnya, “Kasih sayangnya itu mana?” Atau, “Sabar… Sabar… Enak aja ngomong!”
Atau yang paling parah, “Apa gunanya iman? Nggak bisa dimakan!”
Untuk kemenangan da’wah,
kadang-kadang Alloh membuat sebuah skenario agar suatu wilayah membutuhkan
kerja-kerja sosial dari jama’ah da’wah. Walloohu a’lam. Ada perbudakan oleh Fir’aun
sehingga Musa gigih melakukan advokasi untuk Bani Isroil. Ada ketimpangan
ekonomi, kezholiman, dan kerusakan moral sehingga Muhammad menjadi sosok Al-Amin
yang sangat istimewa. Kini, terkadang Alloh berkehendak untuk menimpakan musibah
bencana alam agar terbuka peluang bagi da’wah untuk masuk dengan pelayanannya.
Dan lalu seruan.
Ini sepenggal yang
tersisa dari gempa Jogja. Menatap rumahnya yang hancur, seorang pemuda
menyenandungkan lagu Samsons yang dulu dihafalnya untuk mengenang jejak air
mata, “Bila… yang tertulis untukku adalah yang terbaik untukmu, kan ku jadikan
kau kenangan yang terindah dalam hidupku.” Jika ini ekspresi kesabaran, apa
yang bisa kita ungkapkan kecuali memuji pemahamannya tentang takdir dan mendekatkannya
pada kefahaman “Innaa lillaahi wa innaa
ilaihi rooji’uun.”
Inilah musibah.
Agar kita belajar tentang garis takdir dari sudut terdekat. Sesungguhnya
kematian yang kita lari darinya, pasti akan menemui kita pada waktu, tempat,
dan frekuensi yang tepat. Saya baru berhasil keluar setelah gempa besar itu
reda, dan yang saya saksikan di luar adalah kepiluan. Bukankah tetangga di
depan rumah saya itu sekeluarga berhasil lari keluar dari rumahnya? Iya. Tetapi
ke manakah lari dari takdir Alloh, karena tembok rumah tetangga merekalah yang menjadi
karunia timpaan bagi mereka? Dan rumah mereka, justrulah yang tetap berdiri
utuh, tegak di antara puing-puing berserakan.
Inilah musibah.
Agar kita belajar langsung tentang kesabaran dari mata airnya. Jika memang ini
peringatan Alloh, mungkin karena tanpa musibah kita jadi miskin rasa pinta.
Selama ini mungkin tanpa sadar, kita telah ber-istighna, merasa kaya di hadapan Alloh. Atau mungkin, hidup kita
selama ini bergerak menggelimang ke sebuah jurang. Lalu gempa membuat kita
menoleh, menghentikan laju ketersurukan itu. Seperti kenakalan seorang anak
kecil yang membahayakan dirinya, lalu sang ayah menjewernya dengan penuh cinta.
Maka sungguh, Alloh mencintai hamba-Nya.
Inilah musibah.
Agar kita belajar tentang syukur di sini, di labirin nurani yang terdalam.
Bukankah Sang Nabi menyabdakan, di antara tanda cinta Robb kita adalah
penyegeraan balasan segala dosa dengan rasa sakit, kepiluan, dan musibah-musibah
hingga pun tertusuk duri di jalan bagi orang yang beriman? Iya. Alloh balas
semua itu di dunia, agar sang hamba menghadap-Nya dengan kebersihan, seperti
kain putih yang tercuci dari noda. Ia telah dicuci dengan air, salju, dan embun
cinta-Nya.
Inilah musibah.
Agar kita menghayati tiap pernyataan, ikrar, dan sumpah yang menggetar di lisan
kita. Seperti cenung saya setelah mengisi kajian tentang shobar, benar-benar Ia
mempertanyakan kesabaran saya dengan mengambil kendaraan yang saya parkir di
Masjid Mardhiyyah. Innaa lillaahi wa
innaa ilaihi rooji’uun. Begitulah, kata -pernyataan, ikrar, dan sumpah-
memiliki episode penyambung. Masih ada ujian dan pembuktian.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan
(saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Qs. al-Ankabuut [29]: 2)
Pemaknaan kita
atas musibah ini sebagaimana umumnya seorang Muslim, cukuplah sampai di sini. Tetapi,
menjadi belum cukup ketika memasuki bagian yang paling kita banggakan dari diri
kita; kader da’wah dan jama’ah da’wah. Berpikirlah kita tentang da’wah. Maka musibah
adalah luka, yang hanya da’wah yang mampu menyembuhkannya. Maka musibah adalah
teka-teki, yang hanya da’wah yang mampu mengurainya. Maka musibah adalah
hidangan, yang hanya da’wah perangkat makannya. Tega tak tega, sebutiah musibah
adalah peluang da’wah.
Peluang ini,
peluang membukti. Adakah secara internal kita telah saling mencinta hingga
seperti satu tubuh, jika satu bagian merasakan sakit, maka yang lain menggigil
demam? Adakah jika seorang kader merasakan pedih, yang lain pun hatinya
tersembilu? Dan lebih dari itu, adakah jika seorang kerepotan, yang lain
memiliki tangan yang siap kelelahan? Adakah jika saudara ditimpa musibah,
kesanggupan berbagi menjadi jamak? Adakah jika bumi retak, cinta kan merekat?
Peluang ini,
peluang membukti. Adakah jama’ah kita ini telah mengukirkan peran kemanfaatan
di tengah ummat? Adakah kader-kadernya menjadi tumpuan harap bagi masyarakat
yang menjadi tetangganya? Adakah kesediaan menembus pelosok ketika yang lain berpose
dengan bantuannya di pinggir jalan? Adakah kesanggupan untuk mengelola da’wah
yang memberi jawab bagi kesulitan ummat? Bukanlah bendera-bendera kecil
berkibar yang akan mengenalkan manusia pada da’wah? Bukan pula slogan dan
teriakan dari atas mimbar yang melangit. Tapi gerak langkah dan desiran jiwa
yang kaya akan dzikrulloh, itulah yang akan mengetuk hati dan mempesona
fithrah. Bukan soal beban rekrutmen, bahkan kerja nyata jama’ah da’wah ini,
insya Alloh melampaui target-target manusiawi. Karena di atas sana ada tadbir Robbani. Retaknya bumi rekatnya
cinta.
Dari siroh Nabawi,
kita tahu bahwa da’wah ini hidup karena ruhnya disuburkan. Ruh itu bernama ihtimaam, kepedulian. Khodijah pernah memberi
jaminan kepada suaminya, Rosululloh Muhammad Shollalloohu ‘Alaihi wa Sallam, “Tidak, sekali-kali Alloh tidak
akan meninggalkanmu. Karena engkau senantiasa menyantuni yang fakir dan lemah, member
makan mereka yang kelaparan, memberi pakaian mereka yang telanjang, menyambung shilaturrohim,
dan memuliakan tamu.”
Lalu, wahai kader da’wah.
Apakah beban kejama’ahan untuk menegakkan ruh kepedulian itu hanya akan dipikul
oleh beberapa orang saja? Masihkah disebut jama’ah da’wah jika yang berperan
besar adalah beberapa orang yang menguras diri dan energi sementara beberapa yang
lain seperti kaum Musa, “Pergi berperanglah kamu bersama Tuhanmu, kami akan
duduk-duduk menunggu di sini”?
Semoga ini hanyalah
pergiliran antara barisan depan dan barisan belakang sebagaimana yang
diskenariokan Kholid ibn al-Walid dalam perang Mu’tah. Semoga mereka segera
kembali ke posnya di atas bukit Uhud, agar tak berguguran manusia-manusia utama
yang ada di garis depan. Semoga semua kita lolos dalam penyaringan Alloh untuk
melihat siapa kadernya yang sungguh-sungguh dan siapa yang bermain-main.
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sungguh Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Qs.
al-Ankabuut [29]: 3)
Ataukah kita harus
meratap, jika kita adalah kader da’wah sekualitas anak buah Tholut, yang
terlalu lahap minum air dan terlalu tebal berselimut fasilitas hingga kemudian
berkata, “Laa thooqota lanal yauma
bijaaluuta wa junuudih; tiada kesanggupan bagi kami pada hari ini untuk
bertempur melawan Jalut dan tentaranya”? Masih adakah kepekaan? Sebab, apapun
halnya diri, ada taujih Robbani yang telah menggerakkan tubuh renta Abu Ayyub al-Anshori
untuk bergerak meski gemetar, maju meski tertatih, dan bertarung meski
terhuyung.
“Berangkatlah
kalian baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah
dengan harta dan diri kalian di jalan Alloh. Yang demikian itu adalah lebih
baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” (Qs.
at-Taubah [9]: 41)
Jalan
itu, memang mendaki lagi sulit. []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar