HARI itu, sejumlah
pemuka Quroisy berkumpul di Daarun Nadwah.
Al-Walid ibn al-Mughiroh yang dituakan membuka pembicaraan dengan nada
meninggi. “Ayyuhal Quroisy!” katanya,
“Sesungguhnya pekan raya ini telah tiba. Utusan-utusan bangsa Arab akan datang
kepada kalian, dan mereka telah mendengar tentang urusan kawan kalian itu
–Muhammad-. Karena itu, satukanlah pendapat kalian! Jangan sampai kalian
berbeda pendapat lantas sebagian mendustakan sebagian yang lain, yang satu
menyangkal yang lain!”
Setelah hiruk pikuk sejenak, seseorang
bicara, “Lantas, bagaimana dengan pendapatmu sendiri, wahai ayah ‘Abdu Syams?
Katakanlah satu pendapat untuk kami, sehingga kami akan satu suara
mengikutimu.” Sambil melangkah pendek dan mengibaskan jubahnya dengan elegan,
al-Walid menjawab, “Tidak! Tidak… Kalian saja yang berpendapat. Aku akan
mendengarkan!”
“Kita katakan saja bahwa dia itu tukang
tenung!”
“Tidak! Demi Alloh!” kata al-Walid, “Dia
bukan tukang tenung! Kita sudah mengenal tukang-tukang tenung, tetapi apa yang
dikatakan Muhammad bukanlah suara tukang tenung, dan bukan pula mantranya!”
“Kalau begitu, katakan saja bahwa Muhammad
telah gila!”
“Tidak! Demi Alloh, dia tidak gila! Kita
sudah tahu bagaimana pertingkah orang gila, dan betapa Muhammad yang kita kenal
tidak seperti itu! Dia tidak dicekik syaithon, tidak dikacaukan, dan tidak
dibisikinya!”
“Katakan saja bahwa dia adalah penyair!”
“Hmm… Dia bukan penyair. Kita sudah
mengenal syair, baik rojaz maupun hajaz-nya, bacaannya, yang dipanjangkan
maupun dipendekkan. Karena itu, apa yang dikatakannya bukanlah syair!”
“Katakan saja bahwa dia adalah tukang
sihir!”
“Tidak! Tidak! Dia bukan tukang sihir!
Kita sudah mengetahui tukang sihir dan sihir-sihir mereka. Apa yang
dikatakannya itu bukan tiupan dan buhulan tukang sihir!”
Mereka, dalam kebingungan berkata, “Kalau
demikian, apa yang seharusnya kita katakan tentang Muhammad, wahai ayah ‘Abdu
Syams?”
“Demi Alloh, sungguh kata-katanya itu
manis, kuat batangnya, banyak dahan, cabang, dan reranting, serta buahnya yang
ranum. Tidak ada satu kalimat pun yang kalian katakan tentang al-Qur’an,
melainkan pasti akan terlihat bahwa perkataan kalian itu bathil. Oleh karena
itulah, tampaknya yang paling mendekati adalah jika kita katakan bahwa dia
mempelajari sihir yang memisahkan seseorang dari ayahnya, saudaranya,
isterinya, dan keluarganya, hingga jadilah mereka tercerai-berai!”
Begitulah kegemparan para pemuka Quroisy
menyikapi al-Qur’an, sebagaimana dibahas oleh Ibnu Ishaq. Saya terngiang-ngiang
akan kekata al-walid ibn al-Mughiroh, “Tidak ada satu kalimat pun yang kalian
katakan tentang al-Qur’an, melainkan pastia kan terlihat bahwa perkataan kalian
itu bathil.”
Yah, saya terngiang-ngiang kalimat itu
saat membaca bahwa Nashr Hamid Abu Zayd menyebut al-Qur’an sebagai produk
budaya (Muntaj ats-Tsaqofi), dan
rasanya ingin tertawa. Tergelak-gelak. Sungguh para musyrikin Quroisy itu jauh
lebih cerdas dari Abu Zayd ketika dengan empirik mengatakan tentang al-Qur’an,
“Memisahkan seseorang dari ayahnya, saudaranya, isterinya, dan keluarganya,
hingga jadilah mereka tercerai-berai!” Kalimat ini jauh lebih cerdas jika akan
digunakan untuk menentang kebenaran wahyu. Dan itu pun gagal!
Produk budaya seperti kata Abu Zayd. Atau
puncak kesusasteraan Arab seperti kata Arkoun. Atau membaginya buta menjadi
yang universal dan yang kasuistik untuk menolak syari’ah seperti Fazlur Rohman
dan Ashghor Ali Engineer. Atau sebutlah rekayasa politik ‘Utsman ibn ‘Affan
seperti diyakini beberapa orientalis. Katakanlah itu pada al-Walid ibn
al-Mughiroh maka sebelum selesai kalimatnya, ia pasti sudah berkata
membawa-bawa nama Tuhan yang tak disembahnya, “Tidak! Demi Alloh… Bukan!”
“Sesungguhnya
Kami, Kami, Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar pasti memeliharanya.” (Qs.
al-Hijr: 9)
Keterjagaan orisinalitas adalah nilai
paling mahal bagi sebuah karya manusia, apatah lagi Kalamulloh, pedoman hidup sepanjang zaman yang memang terjaga
sepanjang zaman.
Ia diriwayatkan mutawatir, melalui banyak sekali jalur, sejak zaman Rosululloh.
Beribu-ribu otak merekamnya, sampai detail huruf dan tanda baca. Jangan
tanyakan apakah ada kitab ‘suci’ lain yang bisa dihafal di luar kepala.
Al-Qur’an takkan tertandingi karena yang tak tahu artinya pun bisa menghafal
banyak bagiannya tanpa cela. Malang nian orang yang berusaha memalsukan.
Kehilangan sebuah alif saja dalam satu cetakan, pasti para pembacanya akan
protes.
Sambil menyindir kitab ‘suci’ lain yang
penuh paradoks, Alloh menegaskan bahwa al-Qur’an benar-benar berasal dari
sisi-Nya,
“Maka apakah
mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Sekiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi
Alloh, tentu mereka akan mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. an-Nisa’: 82)
Ia diturunkan dengan metode pengajaran
terbaik yang pernah ada. Mungkin istilah ‘learning
by doing’ tak cukup agung untuk menggambarkannya. Ia turun kepada
orang-orang yang bermental pengamal, secara berangsur, perlahan, dan teratur.
“Dan al-Qur’an itu
Kami turunkan secara berangsur-angsur, agar kamu membacakannya perlahan-lahan
kepada manusia. Dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Qs. al-Isro’: 106)
Ada jutaan lisan yang melafalkannya tiap
hari. Lagi, ini bukti keunggulannya. Ia bisa diselesaikan lengkap 30 juz dalam
satu roka’at sholat malam seperti yang dilakukan Tamim ibn Aus ad-Dariy. Ia
bisa selesai dibaca lengkap dalam satu hari seperti salaful ummah melalui
hari-hari Romadhonnya. Tiga hari, tujuh hari, sepuluh hari, dan sebulan adalah
jenjang-jenjang yang lebih mulia untuk waktu pengkhotaman berikutnya.
“Alloh telah
menurunkan perkataan yang paling baik, al-Qur’an yang serupa (kualitas
ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Gemetar karenanya kulit orang-orang yang
takut kepada Robbnya, kemudian tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Alloh…” (Qs. az-Zumar: 23)
Cendekiawan besar Quroisy, al-Walid ibn
al-Mughiroh, orang yang paling tahu kebenaran tapi mendustakannya, pernah
mengatakan tentang al-Qur’an, “Sesungguhnya al-Qur’an ini mengandung kenikmatan
dan keindahan. Bagian atasnya mengulurkan buah dan bagian bawah memberikan
kesuburan. Ini bukan perkataan manusia!”
Kalau dihitung-hitung, buku best seller yang paling the best tak ada yang mencapai seujung
kuku jumlah pencetakan dan penjualan al-Qur’an. Sebergengsi apa pun Guiness Book, belum layak baginya untuk
mencantumkan rekor seagung ini.
Dengan standar bahasa Arab yang jelas,
segala salinan dan terjemahan dapat dikoreksi. Terjamin sudah otentisitasnya
dan jadilah al-Qur’an pembawa peringatan sepanjang zaman.
“Dan sesungguhnya
al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Robb semesta alam. Dia dibawa turun
oleh ar-Ruh al-Amin –Jibril- ke dalam hatimu –Muhammad- agar kamu menjadi salah
satu di antara para pemberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas,” (Qs. asy-Syu’aro: 192-195)
Tantangan al-Qur’an
“… Andaikan (kamu
penuh membaca dan menulis), niscaya benar-benar ragulah orang yang
mengingkarinya!” (Qs. al-‘Ankabut: 48)
Sebagai bukti kebenaran al-Qur’an, Alloh
berkehendak menurunkannya kepada seorang yang ummi (tak mengerti baca-tulis). Melihat ini saja sudah cukup bukti
kiranya. Tetapi Alloh tetap menantang para hamba-Nya yang mendustakan untuk
berbuat yang serupa al-Qur’an.
“Katakanlah, ‘Jika
sekiranya manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini,
niscaya mereka tidak akan pernah dapat membuat yang serupa dengan dia,
sekalipun sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain.’” (Qs. al-Isro’: 81)
Kalau pun tantangan itu lebih ringan, maka
benarkah mereka mampu menghasilkan sepuluh surat saja yang semisalnya?
“Katakanlah,
‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat yang dibuat untuk
menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kalian sanggupi selain Alloh, jika
kalian memang orang-orang yang benar’. Jika mereka yang kalian seru tidak
menerima seruan kalian maka ketahuilah al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu
Alloh.” (Qs. Hud: 13-14)
Meski mereka tak bisa membuatnya, tapi
hati yang penuh keraguan itu masih saja berusaha menentangnya. Maka inilah
tantangan terakhir sekaligus ancaman untuk mereka.
“Dan jika kalian
tetap dalam keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami,
buatlah satu surat saja yang semisalnya dan ajaklah penolong-penolong kalian
selain Alloh, jika kalian memang orang-orang yang benar. Maka jika kalian tidak
dapat membuatnya, dan pasti kalian tidak akan pernah bisa membuatnya,
peliharalah diri kalian dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,
disediakan bagi orang-orang yang kafir.” (Qs.
al-Baqoroh: 23-24)
O, tuan… Katakanlah benar memang yang
menuliskan ini tak pernah tahu bagaimana orang seperti Nashr Hamid
Abu Zayd, Arkoun, Mohamed Abed al-Jabiri, dan nama-nama yang fotonya selalu
berwajah suram itu begitu serius mengkaji al-Qur’an. Katakanlah benar begitu.
Tetapi ia punya sebuah cerita menarik. Boleh?
Ada seorang pengusaha sukses, berlimpah
karunia hidup padanya. Isteri yang cantik, anak-anak yang cerdas, harta yang
terus berkembang. Satu hal yang ia yakini, betapa kerja kerasnya, tanpa sedikit
pun campur tangan Tuhan, telah memberikan semua itu padanya. Betapa sebalnya ia
mendengar orang bicara tentang akhirat, mendengar orang ‘membual’ tentang
Tuhan, dan menyerah dengan jawaban teologis ketika kegagalan menimpa.
Pengusaha kebanggaan kita ini punya satu
hobi elegan. Main golf. Dan suatu hari seorang temannya dengan usil menutup
hole-hole di lapangan tempatnya bermain. Dan benar, tak satupun bola bisa
masuk. Begitulah firman Tuhan, kawan. Kata sang teman. Ia seperti bola golf.
Untuk bisa kita menghayatinya, dia harus masuk dulu ke dalam sebuah lubang di
hati kita. Lubang itu bernama iman.
Adakah kau bayangkan ia yang bermain golf
tanpa hole? Adakah kau bayangkan seseorang yang mengkaji firman tanpa iman?
Tanpa ada getar di hati ketika mendengar, tanpa gemetar kulit ketika
makna-makna tersingkap. Jawabannya, seperti kata al-Walid ibn al-Mughiroh,
pemuka Quroisy itu, “Tidak! Demi Alloh, tidak!” Karena sungguh tanpa itu, sulit
bagimu untuk mendengarkan gema suara yang menggetarkan wujud,
memabukkan jiwa, menyihir akal, dan mengaburkan mata. Sesulit engkau meniupkan nafas
cinta pada kuncup yang mekar jadi bunga. []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar