Rabu, 29 April 2015

Jadilah Kau IBU

THE SUGARLAND EXPRESS yang digarap tahun 1974 adalah debut sukses Steven Spielberg, sutradara penuh misi itu. Kisah nyata di Negara bagian Texas tahun 1969 yang diangkat film ini memang memukau. Pasangan muda itu, Clovis Poplin (William Atherton), dan Lou Jean Poplin (Goldie Hawn), mencoba untuk mendapatkan kembali anak mereka yang telah diambil paksa oleh negara ke Adoptive Home setelah sang suami diputus bersalah dalam satu kejahatan ringan.

Setelah berjuang membebaskan sang suami dari penjara, Lou Jean berdua dengan Clovis membajak sebuah mobil polisi dan menyeberangi negara bagian ke Sugarland. Dalam kejaran ratusan patrol, dalam kebingungan yang mendesak, dalam semangat untuk mendapatkan buah hatinya, lalu yang terjadi adalah aparat pemerintahan versus ribuan rakyat yang memilih mendukung nurani seorang ibu.

Seorang teman yang mencoba meresensi film ini akhirnya berkomentar, “Begitu menyentuh hati. Ikhlaskan diri Anda, untuk sekedar memberi kesempatan mengalirnya air mata.” Oh iya, Hal Barwood dan Matthew Robbins memenangi Best Scenario atas film ini di Cannes Film Festival.

………
pertama kali kau menyapaku
tanpa suara;
tetapi sangat asih
dari diriku yang paling dalam
di sini
Ummi,
aku di sini
(F. Rene Van de Carr, M.D.)

Menjadi ibu. Bagi kita adalah mimpi-rnimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta, dan asahan rasa. Seruak cita itu adaiah fithrah paling indah yang dikaruniakan Alloh. Kecenderungan, rasa, kemuliaan! Ibu! Mulia cukup dengan telapak kaki perjuangan. Karena tak seorang pria pun, memiliki kedudukan ini: surga di telapak kaki. Tak satu pria pun. Demi Alloh, tak satu pria pun!

Ibu!

Panggilan yang begitu menggetarkan, membiruharu, menggemakan rasa terdalam di diri setiap wanita, Selalu dan senantiasa. Ada nuansa, cita, imaji, dan gairah setiap kali kata tiga huruf plus tanda seru itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil yang menyambut kehadiran.

Ibu!

Ini kata tentang penegasan madrasah agung. Tempat anak-anak mempertanyakan semesta dengan bahasa paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Ini dermaga pengaduan paling luas saat mereka rasa teraniaya. Ini belai paling menenteramkan saat mereka gelisah. Dan ini dekapan paling memberi rasa aman saat mereka ketakutan. Ibu, perpustakaan paling lengkap, kelas paling nyaman, lapangan paling lapang, tak pernah ia bisa digantikan oleh gedung-gedung tak bernyawa.

Ibu!

Panggilan yang meneguhkan status kemanusiaan. Dan kehormatan. Ibumu disebut tiga kali di depan, baru ayahmu menyusul kemudian. Begitulah Rosululloh menegaskan. Ia juga panggilan yang membawa makna perjuangan. Pegalnya membawa kandungan, susahnya posisi berbaring, dan sakitnya melahirkan. Tapi juga senyum manis di saat berdarah-darah mendengar tangis sang putera pecah.

Ibu!

Banyak wanita yang kini enggan menjadi kata itu, maka kata itu pun enggan menjadi mereka. Betapa sulit meminta wanita bersedia punya anak di Singapura, misalnya. Ketika mereka menolak janji-janji kata itu, kata Ustadz Anis Matta dalam Ayah, menganggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara, kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri dari jeratan kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengaran matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu hati, berlabuh dari galau kehidupan.

Ibu!

Mungkin memang tak sesederhana itu. Karena posisi ibu adalah anugerah, yang keimanan pun bukan jaminan Alloh pasti mengaruniakannya pada kita. Persis sebagaimana ‘Aisyah, Hafshoh, Zainab binti Jahsy, dan lainnya. Ya, tapi mereka kan ummahatul mukminin, ibu dari semua orang beriman, kata kita. Pada posisi ini, memang. Tetapi mengandung, melahirkan, menyusui, menimang adalah bagian dari saat yang dinanti bersama hakikat kata Ibu! Itu, yang juga tak dirasai oleh ‘Aisyah sekalipun.

Atau terkadang, penantian panjang, kegelisahan, kecemasan, dan kata seterusnya jika panggilan itu tak segera hadir adalah ujian lain dari Alloh. Alasan kesehatan, kerawanan melahirkan pada usia tertentu, menjadi gurita kecemasan lain yang mencoraki ujian itu. Lalu Alloh menjawab di antara doa hamba-Nya, isteri Ibrohim dengan si sholih Ishaq, isteri ‘Imron dengan si suci Maryam, dan isteri Zakariyya dengan si ‘alim Yahya. Setelah penantian panjang, doa yang menghiba, dan rasa yang tersembilu.

Ibu!

Lepas dari itu, sekali lagi, adalah menakjubkan setiap urusan orang Mukmin. Persis seperti kata Rosululloh, menakjubkan! Karena setiap halnya adalah kebaikan. Dan itu tidak terjadi kecuali bagi orang Mukmin. Jika disinggahi nikmat, ia bersyukur, maka kesyukuran itu baik baginya. Jika ditamui musibah ia bersabar, maka sabar itu baik baginya. Jika syukur dan sabar itu dua ekor tunggangan, kata ‘Umar, aku tak peduli harus mengendarai yang mana.

Menjadi ibu hakiki, yang melahirkan ataupun tidak, setelah ikhtiyar paling gigih, doa paling tulus, dan tawakkal paling terpasrah, adalah kemuliaan tanpa berkurang sepeserpun. Tidak sediklt pun. Semuanva mulia.

Ibu!

Kita akan berjumpa dan meniti kemuliaan-kemuliaan beliau, mungkin di waktu lain, di buku lain, insya Alloh. Sekedar agar bidadari cemburu padamu. Dengan menjadi Ibu, kau takkan tersaingi olehnya selama-lamanya. Ya. Ibu, melodi paling harmoni yang menggemakan jagad dengan jihad agungnya. []

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar