THE SUGARLAND
EXPRESS yang digarap tahun 1974 adalah debut sukses Steven Spielberg, sutradara
penuh misi itu. Kisah nyata di Negara bagian Texas tahun 1969 yang diangkat
film ini memang memukau. Pasangan muda itu, Clovis Poplin (William Atherton),
dan Lou Jean Poplin (Goldie Hawn), mencoba untuk mendapatkan kembali anak mereka
yang telah diambil paksa oleh negara ke Adoptive
Home setelah sang suami diputus bersalah dalam satu kejahatan ringan.
Setelah berjuang
membebaskan sang suami dari penjara, Lou Jean berdua dengan Clovis membajak
sebuah mobil polisi dan menyeberangi negara bagian ke Sugarland. Dalam kejaran
ratusan patrol, dalam kebingungan yang mendesak, dalam semangat untuk
mendapatkan buah hatinya, lalu yang terjadi adalah aparat pemerintahan versus
ribuan rakyat yang memilih mendukung nurani seorang ibu.
Seorang teman yang
mencoba meresensi film ini akhirnya berkomentar, “Begitu menyentuh hati.
Ikhlaskan diri Anda, untuk sekedar memberi kesempatan mengalirnya air mata.” Oh
iya, Hal Barwood dan Matthew Robbins memenangi Best Scenario atas film ini di Cannes
Film Festival.
………
pertama kali kau
menyapaku
tanpa suara;
tetapi sangat asih
dari diriku yang
paling dalam
di sini
Ummi,
aku di sini
(F. Rene Van de Carr, M.D.)
Menjadi ibu. Bagi
kita adalah mimpi-rnimpi yang dilatih dengan kerinduan, cinta, dan asahan rasa.
Seruak cita itu adaiah fithrah paling indah yang dikaruniakan Alloh.
Kecenderungan, rasa, kemuliaan! Ibu! Mulia cukup dengan telapak kaki
perjuangan. Karena tak seorang pria pun, memiliki kedudukan ini: surga di
telapak kaki. Tak satu pria pun. Demi Alloh, tak satu pria pun!
Ibu!
Panggilan yang
begitu menggetarkan, membiruharu, menggemakan rasa terdalam di diri setiap
wanita, Selalu dan senantiasa. Ada nuansa, cita, imaji, dan gairah setiap kali
kata tiga huruf plus tanda seru itu diteriakkan oleh sosok-sosok mungil yang
menyambut kehadiran.
Ibu!
Ini kata tentang
penegasan madrasah agung. Tempat anak-anak mempertanyakan semesta dengan bahasa
paling akrab, harapan paling memuncak, dan keingintahuan paling dalam. Ini
dermaga pengaduan paling luas saat mereka rasa teraniaya. Ini belai paling
menenteramkan saat mereka gelisah. Dan ini dekapan paling memberi rasa aman saat
mereka ketakutan. Ibu, perpustakaan paling lengkap, kelas paling nyaman,
lapangan paling lapang, tak pernah ia bisa digantikan oleh gedung-gedung tak
bernyawa.
Ibu!
Panggilan yang
meneguhkan status kemanusiaan. Dan kehormatan. Ibumu disebut tiga kali di
depan, baru ayahmu menyusul kemudian. Begitulah Rosululloh menegaskan. Ia juga
panggilan yang membawa makna perjuangan. Pegalnya membawa kandungan, susahnya
posisi berbaring, dan sakitnya melahirkan. Tapi juga senyum manis di saat berdarah-darah
mendengar tangis sang putera pecah.
Ibu!
Banyak wanita yang
kini enggan menjadi kata itu, maka kata itu pun enggan menjadi mereka. Betapa
sulit meminta wanita bersedia punya anak di Singapura, misalnya. Ketika mereka
menolak janji-janji kata itu, kata Ustadz Anis Matta dalam Ayah, menganggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya
sebagai pintu penjara, kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri
dari jeratan kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengaran
matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu
hati, berlabuh dari galau kehidupan.
Ibu!
Mungkin memang tak
sesederhana itu. Karena posisi ibu adalah anugerah, yang keimanan pun bukan
jaminan Alloh pasti mengaruniakannya pada kita. Persis sebagaimana ‘Aisyah,
Hafshoh, Zainab binti Jahsy, dan lainnya. Ya, tapi mereka kan ummahatul mukminin, ibu dari semua orang
beriman, kata kita. Pada posisi ini, memang. Tetapi mengandung, melahirkan,
menyusui, menimang adalah bagian dari saat yang dinanti bersama hakikat kata
Ibu! Itu, yang juga tak dirasai oleh ‘Aisyah sekalipun.
Atau terkadang,
penantian panjang, kegelisahan, kecemasan, dan kata seterusnya jika panggilan
itu tak segera hadir adalah ujian lain dari Alloh. Alasan kesehatan, kerawanan
melahirkan pada usia tertentu, menjadi gurita kecemasan lain yang mencoraki
ujian itu. Lalu Alloh menjawab di antara doa hamba-Nya, isteri Ibrohim dengan
si sholih Ishaq, isteri ‘Imron dengan si suci Maryam, dan isteri Zakariyya
dengan si ‘alim Yahya. Setelah penantian panjang, doa yang menghiba, dan rasa
yang tersembilu.
Ibu!
Lepas dari itu,
sekali lagi, adalah menakjubkan setiap urusan orang Mukmin. Persis seperti kata
Rosululloh, menakjubkan! Karena setiap halnya adalah kebaikan. Dan itu tidak
terjadi kecuali bagi orang Mukmin. Jika disinggahi nikmat, ia bersyukur, maka
kesyukuran itu baik baginya. Jika ditamui musibah ia bersabar, maka sabar itu
baik baginya. Jika syukur dan sabar itu dua ekor tunggangan, kata ‘Umar, aku
tak peduli harus mengendarai yang mana.
Menjadi ibu
hakiki, yang melahirkan ataupun tidak, setelah ikhtiyar paling gigih, doa
paling tulus, dan tawakkal paling terpasrah, adalah kemuliaan tanpa berkurang
sepeserpun. Tidak sediklt pun. Semuanva mulia.
Ibu!
Kita akan berjumpa
dan meniti kemuliaan-kemuliaan beliau, mungkin di waktu lain, di buku lain,
insya Alloh. Sekedar agar bidadari cemburu padamu. Dengan menjadi Ibu, kau
takkan tersaingi olehnya selama-lamanya. Ya. Ibu, melodi paling harmoni yang
menggemakan jagad dengan jihad agungnya. []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar