Rabu, 29 April 2015

Hilful Fudhul

“Sesungguhnya telah kusaksikan di rumah ‘Abdulloh ibn Jad’aan satu sumpah, yang jika aku diajak melakukannya dalam Islam tentu aku sambut.” (HR. al-Humaidi, sanadnya shohih sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah [2/315])


DI LUAR fakta kecerdikan sang produser yang membagikan DVD gratis pada 7000 orang kru Academy Award mulai clearing service sampai top leader sebelum film-nya dirilis, menurut saya CRASH memang layak menang dalam penghargaan bergengsi itu. Dengan menyabet 3 Academy Awards 2006, dan Best Picture di Golden Globe 2006, latar human interest-nya terbukti telah memikat para juri. Oh iya, ingat film apik KETIKA garapan Deddy Mizwar atas skenario Musfar Yasin? Cara pengambilan judul CRASH juga mirip; dari satu kata yang muncul dalam kalimat prolog.

Paul Haggis, sutradara film ini yang mungkin namanya belum banyak kita dengar, menghadirkan satu kisah elips, bukan linear. Film ini terasa sebagai suatu kumpulan fakta-fakta pilu, melingkar berkelindan tentang banyak tokoh yang menjalani skenarionya masing-masing. Persinggungan antar tokoh yang banyak itu, terasa sangat natural dengan membawa satu tema besar yang ternyata masih melingkupi Amerika hingga kini: rasisme. Mungkin kita kehilangan akting menawan Matt Dillon atau Sandra Bullock karena memang film berjalan tanpa penonjolan tokoh tertentu, tapi keseluruhan film ini hanya mengandung satu kata; apik!

Bayangkan jika rasisme membuat seorang wanita kulit putih memeluk lebih erat suaminya ketika berpapasan dengan dua orang lelaki kulit hitam, dan mereka merasa tersinggung. Bayangkan jika dalam sehari Anda harus mengganti gembok beberapa kali hanya karena tukang kunci pertama yang kita panggil berkulit hitam. Atau Anda seorang Iran yang memintanya memperbaiki kunci, lalu dia berkata, “Kuncinya sudah kuperbaiki, tapi Anda harus mengganti pintunya!” dan Anda merasa ditipu. Ketika pintu tak diperbaiki, toko Anda dirampok dan penuh tulisan menyinggung ke-Iran-an, “Hei Osama, hei Arab!”

Bayangkan jika seorang kulit hitam mengendarai mobil curian lalu menabrak seorang China, lalu memilih meninggalkannya karena dia China. Bayangkan jika Anda adalah isreri seorang sutradara terhormat, lalu karena Anda berkulit hitam -dan sangat cantik- seorang polisi rasis menggeledah dengan sangat tidak sopan pada bagian tubuh terlarang. Lalu suatu ketika anda mengalami kecelakaan dan orang pertama yang akan menolong adalah polisi peleceh itu?

Satu kesimpulan film tanpa solusi ini; betapa mengerikan ketidakadilan itu! Saya lalu mengenang kisah seorang tak bernama dalam sejarah. Dia datang dari pedalaman Zabid, memasuki Makkah dengan membawa niaganya. Al-‘Ash ibn Wail as-Sahmi, pemuka Quroisy itu, kemudian memborong semua dagangannya. Tetapi al-‘Ash, entah mengapa, tidak mau membayarnya. Kalang kabut ia berlari pada Ahlaaf, suku.suku Quroisy yang terikat sumpah. Ia berkeliling dari Bani ‘Abdid Daar, lalu Bani Makhzum, Bani Jum’ah, dan Bani Sahm untuk minta advokasi. Semua menolak. Dan pada yang terakhir, Sahm, -tentu saja adalah klan dari mana al-‘Ash ibn Wail berasal-, ia si pendatang, justru dihardik dan diusir.

Seperri kehilangan akal, ia lalu mendaki Jabal Abu Qubais. Di singsing fajar yang mentarinya merona menjadi latar, ia berteriak keras-keras dengan sebuah sya’ir ke arah Ka’bah, ke arah para pemuka Quroisy yang sedang berkumpul di bawah sana.

Walai anak keturunan Fihr, barang dagangan seseorang terzholimi
Di lembah Makkah, milik seorang yang datang dari jauh dan akan pergi
Dalam ihrom, berambut kusut masai dan belum selesai menunaikan ‘umroh
Wahai para lelaki yang ada di seputar Hajar al-Aswad
Sungguh tanah suci hanya pantas untuk yang berakhlaq mulia
Sungguh tak pantas ia bagi seorang yang jahat lagi pengkhianat

Mendengar teriakan itu, bangkitlah putera tertua dari orang mulia, Az-Zuban ibn ‘Abdul Mutholib. “Haruskah ada orang yang terzholimi semacam ini sementara kita hanya diam?”, serunya. Maka Bani Zuhroh, Bani Taim, Bani Hasyim, dan klan-klan Quroisy yang lain berkumpul di rumah ‘Abdulloh ibn Jad’aan. Mereka membuat sebuah pakta berdasarkan sumpah, untuk membela semua yang terzholimi dan menuntut yang zholim sampai segala sesuatunya dikembalikan pada yang berhak. Pakta advokasi itu dikenal dengan nama Hilful Fudhuul. Pagi itu, kerja besar mereka dimulai. Dan al-‘Ash ibn Wail as-Sahmi bertekuk lutut mengembalikan hak si pendatang dari Zabid. Sejak saat itu, mereka yang terzholimi dan memerlukan advokasi akan naik ke Jabal Abu Qubais dan berteriak, “Hilful Fudhuul!

Hilful Fudhuul, teterjemahkan sebagai pakta sumpah kepedulian. Fudhuul memang punya banyak arti -kelebihan, karunia, kemurahan, kasihan-, tapi kita pilih ‘kepedulian’ karena seseorang yang bergelar al-Fudhuuliy biasanya berarti orang yang punya kepedulian. Dalam redaksi lain, Nabi yang begitu terkenang pada manisnya Hilful Fudhuul dalam pembelaan mereka yang tertindas menyebutnya sebagai Hilful Muthoyyibiin, pakta sumpah yang menenteramkan hati.

“Telah kusaksikan Hilful Muthoyyibiin bersama para pamanku saat aku masih kecil. Aku takkan membatalkannya walau untuk mendapat unta merah!” (HR. Ahmad, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menshohihkannya dalam Tahqiq Musnad Ahmad, demikian pula Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah (4/542).

Sebagai penutup, ada pertanyaan usil. Rosululloh jelas sangat merindukan Hilful Fudhul. Tetapi selama beliau memimpin Madinah dalam cahaya Islam, Hilful Fudhul tak pernah muncul. Mengapa? Ah, sepertinya memang bukan pada tempatnya. Ketika itu, Negara Madinah sungguh dipenuhi keadilan hingga tak ada tempat untuk kezholiman. Bahkan sampai di masa Kholifah Abu Bakr pun, ‘Umar ibn al-Khoththob sang Qodhi memilih mengundurkan diri. “Kaum Muslimin begitu tenteram, tak ada kasus yang harus kuselesaikan.”

Jangan bandingkan dengan saat ini, saudaraku. Karena inilah saatnya Hilful Fudhul muncul kembali! []

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar