“Sesungguhnya telah kusaksikan di rumah ‘Abdulloh ibn
Jad’aan satu sumpah, yang jika aku diajak melakukannya dalam Islam tentu aku sambut.”
(HR. al-Humaidi, sanadnya shohih
sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah [2/315])
DI LUAR fakta
kecerdikan sang produser yang membagikan DVD gratis pada 7000 orang kru Academy
Award mulai clearing service sampai top leader sebelum film-nya dirilis,
menurut saya CRASH memang layak menang dalam penghargaan bergengsi itu. Dengan
menyabet 3 Academy Awards 2006, dan Best Picture di Golden Globe 2006, latar human interest-nya terbukti telah
memikat para juri. Oh iya, ingat film apik KETIKA garapan Deddy Mizwar atas
skenario Musfar Yasin? Cara pengambilan judul CRASH juga mirip; dari satu kata
yang muncul dalam kalimat prolog.
Paul Haggis,
sutradara film ini yang mungkin namanya belum banyak kita dengar, menghadirkan
satu kisah elips, bukan linear. Film ini terasa sebagai suatu kumpulan
fakta-fakta pilu, melingkar berkelindan tentang banyak tokoh yang menjalani
skenarionya masing-masing. Persinggungan antar tokoh yang banyak itu, terasa
sangat natural dengan membawa satu tema besar yang ternyata masih melingkupi
Amerika hingga kini: rasisme. Mungkin kita kehilangan akting menawan Matt Dillon
atau Sandra Bullock karena memang film berjalan tanpa penonjolan tokoh tertentu,
tapi keseluruhan film ini hanya mengandung satu kata; apik!
Bayangkan jika
rasisme membuat seorang wanita kulit putih memeluk lebih erat suaminya ketika
berpapasan dengan dua orang lelaki kulit hitam, dan mereka merasa tersinggung.
Bayangkan jika dalam sehari Anda harus mengganti gembok beberapa kali hanya
karena tukang kunci pertama yang kita panggil berkulit hitam. Atau Anda seorang
Iran yang memintanya memperbaiki kunci, lalu dia berkata, “Kuncinya sudah kuperbaiki,
tapi Anda harus mengganti pintunya!” dan Anda merasa ditipu. Ketika pintu tak
diperbaiki, toko Anda dirampok dan penuh tulisan menyinggung ke-Iran-an, “Hei
Osama, hei Arab!”
Bayangkan jika
seorang kulit hitam mengendarai mobil curian lalu menabrak seorang China, lalu
memilih meninggalkannya karena dia China. Bayangkan jika Anda adalah isreri
seorang sutradara terhormat, lalu karena Anda berkulit hitam -dan sangat
cantik- seorang polisi rasis menggeledah dengan sangat tidak sopan pada bagian
tubuh terlarang. Lalu suatu ketika anda mengalami kecelakaan dan orang pertama
yang akan menolong adalah polisi peleceh itu?
Satu kesimpulan
film tanpa solusi ini; betapa mengerikan ketidakadilan itu! Saya lalu mengenang
kisah seorang tak bernama dalam sejarah. Dia datang dari pedalaman Zabid,
memasuki Makkah dengan membawa niaganya. Al-‘Ash ibn Wail as-Sahmi, pemuka Quroisy
itu, kemudian memborong semua dagangannya. Tetapi al-‘Ash, entah mengapa, tidak
mau membayarnya. Kalang kabut ia berlari pada Ahlaaf, suku.suku Quroisy yang terikat sumpah. Ia berkeliling dari
Bani ‘Abdid Daar, lalu Bani Makhzum, Bani Jum’ah, dan Bani Sahm untuk minta advokasi.
Semua menolak. Dan pada yang terakhir, Sahm, -tentu saja adalah klan dari mana al-‘Ash
ibn Wail berasal-, ia si pendatang, justru dihardik dan diusir.
Seperri kehilangan
akal, ia lalu mendaki Jabal Abu Qubais. Di singsing fajar yang mentarinya
merona menjadi latar, ia berteriak keras-keras dengan sebuah sya’ir ke arah Ka’bah,
ke arah para pemuka Quroisy yang sedang berkumpul di bawah sana.
Walai anak keturunan Fihr, barang dagangan seseorang
terzholimi
Di lembah Makkah, milik seorang yang datang dari jauh
dan akan pergi
Dalam ihrom, berambut kusut masai dan belum selesai
menunaikan ‘umroh
Wahai para lelaki yang ada di seputar Hajar al-Aswad
Sungguh tanah suci hanya pantas untuk yang berakhlaq
mulia
Sungguh tak pantas ia bagi seorang yang jahat lagi
pengkhianat
Mendengar teriakan
itu, bangkitlah putera tertua dari orang mulia, Az-Zuban ibn ‘Abdul Mutholib. “Haruskah
ada orang yang terzholimi semacam ini sementara kita hanya diam?”, serunya.
Maka Bani Zuhroh, Bani Taim, Bani Hasyim, dan klan-klan Quroisy yang lain
berkumpul di rumah ‘Abdulloh ibn Jad’aan. Mereka membuat sebuah pakta berdasarkan
sumpah, untuk membela semua yang terzholimi dan menuntut yang zholim sampai
segala sesuatunya dikembalikan pada yang berhak. Pakta advokasi itu dikenal
dengan nama Hilful Fudhuul. Pagi itu,
kerja besar mereka dimulai. Dan al-‘Ash ibn Wail as-Sahmi bertekuk lutut mengembalikan hak si pendatang dari Zabid.
Sejak saat itu, mereka yang terzholimi dan memerlukan advokasi akan naik ke
Jabal Abu Qubais dan berteriak, “Hilful Fudhuul!”
Hilful Fudhuul,
teterjemahkan sebagai pakta sumpah kepedulian. Fudhuul memang punya banyak arti -kelebihan, karunia, kemurahan,
kasihan-, tapi kita pilih ‘kepedulian’ karena seseorang yang bergelar al-Fudhuuliy biasanya berarti orang yang
punya kepedulian. Dalam redaksi lain, Nabi yang begitu terkenang pada manisnya Hilful Fudhuul dalam pembelaan mereka
yang tertindas menyebutnya sebagai Hilful
Muthoyyibiin, pakta sumpah yang
menenteramkan hati.
“Telah kusaksikan Hilful Muthoyyibiin bersama para
pamanku saat aku masih kecil. Aku takkan membatalkannya walau untuk mendapat unta
merah!” (HR. Ahmad, Syaikh Ahmad
Muhammad Syakir menshohihkannya dalam Tahqiq Musnad Ahmad, demikian pula Syaikh
al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shohihah (4/542).
Sebagai penutup,
ada pertanyaan usil. Rosululloh jelas sangat merindukan Hilful Fudhul. Tetapi selama beliau memimpin Madinah dalam cahaya
Islam, Hilful Fudhul tak pernah
muncul. Mengapa? Ah, sepertinya memang bukan pada tempatnya. Ketika itu, Negara
Madinah sungguh dipenuhi keadilan hingga tak ada tempat untuk kezholiman. Bahkan
sampai di masa Kholifah Abu Bakr pun, ‘Umar ibn al-Khoththob sang Qodhi memilih
mengundurkan diri. “Kaum Muslimin begitu tenteram, tak ada kasus yang harus kuselesaikan.”
Jangan bandingkan
dengan saat ini, saudaraku. Karena inilah saatnya Hilful Fudhul muncul kembali! []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar