“Alangkah inginnya
seorang wanita pezina,
agar semua wanita pun
menjadi pezina seperti dirinya.”
(‘Utsman ibn ‘Affan rodiyallohu ‘anhu)
MENONTON film Waterloo garapan
sutradara Rusia, Sergei Bondarchuk, saya membayangkan bahwa kondisi perang Uhud
mirip dengan kondisi Napoleon di film ini. Semula kemenangan, tetapi
kecerobohan Jenderal Ness, pemimpin kavaleri, mengubah semuanya. Harap-harap
cemas Duke of Wellington (Inggris), pemimpin koalisi Eropa, terjawab dengan
memutarnya Marshall Blucher (Prusia) untuk memukul hancur pasukan Napoleon.
Yang kita ingat dari Siroh Nabawiyah, Kholid ibn al-Walid-lah Marshall Blucher-nya perang Uhud. Ketika
barisan Muslimin centang langgang, seorang prajurit Quroisy berteriak, “Qod qotaltu Muhammadan!; Aku telah
membunuh Muhammad! Aku telah membunuh Muhammad!” Padahal pemegang panji yang diantarnya
menuju syahid adalah Mush’ab ibn ‘Umair rodhiyallohu
‘anhu. Memang, bisa jadi Mush’ab sangat mirip dengan Rosululloh. Mirip.
Dalam banyak hal agaknya.
Hal paling melekat pada diri Mush’ab adalah ketampanan, keanggunan, dan
daya pikat yang mempesona semua mata. Ia rapi dan wangi. Bicaranya lembut, tapi
atraktif dan menarik. Memandang wajahnya, menyalami tangannya, dan mendengarkan
kata-katanya adalah kenikmatan tersendiri. Maka benar, memilih Mush’ab sebagai
duta Islam untuk merekrut kader sebanyak-banyaknya di Yatsrib adalah cerdas.
Karena sisi lanjut personal appeal Mush’ab
adalah kemampuan besar untuk melakukan rekruitmen. Istilah yang sedang kita
akrabkan saat ini adalah “Isti’aab”,
yang secara bahasa berarti daya tampung.
Manusia itu beragam. Masing-masingnya unik. Dan da’i yang sukses adalah
mereka yang masuk untuk menggerlapkan keunikan dan keragaman itu menjadi
warna-warni pelangi di langit da’wah. Di sinilah sebagai da’i kita perlu mengkaji
isti’aab kita. Ustadz Fathi Yakan
dalam Al-Isti’aab fii Hayatid Da’wah wad
Da’iyyah memberikan pengertian yang cukup berat untuk isti’aab. “Isti’aab”,
kata beliau, “Merupakan kemampuan individu, kelayakan akhlaq, sifat keimanan
dan karunia Ilahiyah, yang membantu para da’i untuk menarik objek da’wah, merekrutnya,
dan menjadikan mereka sebagai suar dan poros bagi masyarakat.”
Tidak ada da’wah tanpa isti’aab.
Minimal, keberlangsungannya tak terjaminkan. Maka mengaca pada pribadi Mush’ab ibn
‘Umair sang perekrut, semoga membantu kita memahami hakikat yang digariskan Ustadz
Fathi Yakan. Kali ini, kita hanya akan sampai pada bagian pertama dari uraian
beliau dalam bukunya itu, yakni Isti’aab
Khoriji (eksternal). Beberapa hal yang berhasil kita potret dari pribadi Mush’ab
sebagai perekrut eksternal yang sukses akan kita kaji dalam tulisan ini.
1. Penampilan Bukan
Utama, Tapi Pertama
“Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda!” Begitulah
penampilan dan parfum Mush’ab yang konon dapat dinikmati wanginya dari jarak kadza wa kadza. Ada banyak kisah,
simpati berawal dari keanggunan dan kerapian. Seorang akhwat junior di sebuah
SMA, takjub ketika berkunjung ke kos Mbak pembinanya. Masyarakat sebuah kampung
akan jeli menilai kader da’wah yang baru pindah kontrakan ke kampung mereka, “Bertampang
teroris atau ustadz?” Profil kader menggambarkan pentingnya penampilan dengan “Selalu membawa sisir ke manapun.”
Tentang pentingnya kesan penampilan pada seorang yang membawa suatu misi, Rosululloh
pernah bersabda, “Jika kalian mengirim utusan pada kami, utuslah yang berwajah tampan
dan berakhlaq baik.” Begitu dikutip oleh Mahmud Mahdi al-Istanbuli dalam Tuhfatul ‘Arus. Penampilan memang bukan
utama. Tapi pertama. Maka menggenapkannya dengan yang selanjutnya adalah
kemuliaan. Di ruang tamu almarhum KH. Ali Maksum sebuah mahfuzhat Arab menggambarkan dengan tepat, “Pakaianmu memuliakanmu sebelum
dudukmu, ilmumu memuliakanmu sesudah dudukmu.”
2. Pemahaman: Diini, Tsaqofi, dan Da’aawi
Pemahaman yang dibutuhkan seorang da’i untuk merekrut kalangan intelektual
berbeda dengan pemahaman yang dituntut pada masyarakat yang mulia berpeluh
keringat mencari nafkah. Ada yang mernbutuhkan ilmu kita dalam bentuk jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan fiqh praktis. Ada yang ingin melihat ketajaman
analisis kita tentang persoalan ummat. Ada yang akan dilanda hasad karena
sebab-sebab unik.
“Apakah,” kata Ustadz Fathi Yakan, “Seorang da’i bisa dikatakan sebagai da’i
yang benar dan berada di atas petunjuk jika tidak membekali dirinya dengan
kepahaman tentang Islam?”
“Termasuk pemahaman agama adalah,” lanjut beliau, “berusaha mempelajari
berbagai macam pengetahuan dan wawasan yang telah memberi aneka warna dalam
kehidupan masyarakat. Dan tentu, bagaimana menghindari keterjebakan untuk
mengunggulkan harokahnya, dan bukan mengunggulkan Islam sehingga keterikatan mad’u adalah keterikatan haroki saja.
Padahal sebelum iru, harus ada keterikatan ‘aqidi.”
3. Yang Bisa
Dinikmati Manusia dari Keimanan Kita adalah Buahnya
Adalah Hamnah binti Jahsyi, ketika dikabarkan padanya syahidnya sang paman
dan sang kakak, ‘Abdulloh ibn Jahsyi, ekspresinya menunjukkan keteguhan yang mengagumkan.
Tetapi ketika dikabarkan padanya bahwa sang suami syahid, ia tak dapat menahan
diri dalam histeria kesedihan yang menyembilu hati. “Suami wanita ini..,” kata Rosululloh,
“Memiliki tempat tersendiri di hatinya.”
Tak lain, sang suami adalah Mush’ab ibn ‘Umair. Di sini, kita menjumpai
sebuah perangai dan akhlaq yang begitu menggores kenangan indah di hati seorang
isteri. Ini hanya gambaran, bahwa jika pada isteri ia bisa berakhlaq begitu
mulia, maka demikian pula pada tetangga dan mad’u-rya.
Begitulah, yang bisa dinikmati manusia dari iman kita adalah buahnya: akhlaq.
Senyum itu shodaqoh. Menebar salam menumbuhkan cinta. Sapaan mengikat rasa.
Kesopanan menawan hati mereka. Dan kesantunan serta penyantunan akan mengikat
mereka dalam ‘janji setia untuk menolong syari’at-Mu’. Masihkah kita berhenti
pada sekedar senyuman?
“lmam Syahid,” begitu kata Ustadz ‘Umar at-Tilmisani bercerita tentang
Hasan al-Banna, “Menangkap dengan lembut dan cermat semua hal yang bisa
menyenangkan para ikhwan dalam batas-batas yang diperkenankan syari’at. Pada
suatu hari, sang penyair, al-Akh ‘Umar al-Amiri, salah seorang pemimpin Ikhwan
di Suriah mengunjungi beliau. Ia minta izin untuk melakukan perjalanan ke
Iskandariyah bersama orangtuanya dengan menumpang kereta api yang berangkat
dari Kairo jam tujuh keesokan paginya.
‘Umar al-Amiri pun berangkat bersama orangtuanya. Semenit. Beberapa detik
sebelum kereta api bergerak, ia melihat Imam Syahid berjalan setengah berlari
di atas halte stasiun membawa seuntai bunga segar yang beliau persembahkan
kepada orangtua ‘Umar al-Amiri melalui jendela. Peristiwa ini, kata ‘Umar at-Tilmisani
menutup cerita, memberikan kesan yang amat mendalam di jirwa ‘Umar al-Amiri,
sang penyair besar.”
4. Keberanian Memulai
Komunikasi
“Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak mudah akrab.” Hadits al-Hakim
yang menyentak ini dicantumkan oleh Dr. Muhammad Faiz al-Math dalam Qobasun min Nuuri Muhammad. Keraguan,
ketakutan, dan keengganan memulai sebuah proses komunikasi adailah penghalang tersampaikannya
da’wah kepada yang berhak menerimanya. Apa yang dilakukan Mush’ab ketika As’ad
ibn Zuroroh maupun Sa’d ibn Mu’adz mendatanginya dengan tombak terhunus dan
ucapan penuh murka, “Kau menipu orang-orang lemah di antara kami dengan ucapan
yang berbisa!”?
Kalimat Mush’ab sama, “Bagaimana menurutmu sekiranya kau duduk terlebih
dahulu untuk mendengarkan apa yang kusampaikan. Jika engkau tak menyukainya aku
akan pergi dan tak mengungkitnya. Jika engkau suka, maka terserah padamu untuk
mengambil atau meninggalkannya.”
Keberanian memulai proses komunikasi begitu ditekankan dalam isti’aab. Bahkan, Ustadz Abbas as-Siisi
dalam ath-Thoriiq ilal Quluub mengusulkan
cara-cara ekstrim dalam membuka keakraban seperti menginjak kaki -lalu meminta
maaf-. Atau dengan berkata pada seorang yang kulitnya putih, “Antum orang Sudan,
ya?” Ketika si dia membelalakkan mata -karena umumnya orang Sudan berkulit
hitam-, lalu diteruskan dengan kalimat, “’Afwan, saya dengar beberapa orang Sudan
juga berkulit putih.”
5. Kejelian Melihat
Poin Strategis
Dalam sebuah masyarakat, ada poin-poin strategis yang dikaruniakan Alloh
sebagai pembuka jalan da’wah. Poin itu bisa berbentuk seorang tokoh. Seperti
yang dikatakan ‘Ubadah ibn Shomit dan As’ad ibn Zuroroh pada Mush’ab tentang Sa’d
ibn Mu’adz, “Yang akan datang ini, adalah pemimpin kaumnya. Jika dia masuk
Islam, maka begitupun seluruh manusia yang dipimpinnya akan masuk Islam.”
Adalah tugas seorang da’i untuk mengenali poin-poin strategis yang lain di
tengah masyarakatnya. Pembinaan remaja Masjid dan aktivitas kemasjidan lainnya,
misalnya. Jabatan struktural RT dan RW, misalnya. Ada lagi yang kita sebut
sebagai simpul komunitas. Apa yang menjadi pengikat suatu masyarakat, maka di
antara da’i harus mengambil peran untuk berada di sana. Pentingnya sebuah
pertemuan RT, pentingnya mengambil peran dalam kegiatan kifayah seperti
penyelenggaraan jenazah. Semuanya adalah saluran isti’aab yang potensial.
6. Kemampuan Menjawab
Permasalahan Mad’u
‘Afwan, yang ini berat untuk dijelaskan. Tapi saya yakin Antum faham.
7. Persahabatan yang
Menguatkan
Berkata Musa, “Ya
Robbku, sesungguhnya aku takut mereka akan mendustakanku. Dan sernpitnya dadaku
serta tak lancarnya lidahku. Maka utuslah kepadaku Harun. Dan aku berdosa pada
mereka (membunuh), maka aku takut mereka akan membunuhku.” (Qs. Asy-Syu’aroo [26]: 12-14)
Terkadang, ada wilayah-wilayah yang tak dapat dijangkau oleh kemampuan kita
sebagai da’i. Maka bantuan seseorang yang memiliki kapasitas di sana akan
menjadi nilai strategis baru. Saat mendatangi Madinah untuk pertama kali, tentu
Mush’ab sangar asing dengan kota di antara dua bukit berkurma ini. Bantuan ‘Ubadah
ibn Shomit, sahabat lamanya, menjadi sangat berarti. Demikian pun ketika
Mush’ab membawa hidayah Alloh pada Bani Aus, As’ad ibn Zuroroh, kenalan
barunyalah, yang membuat strategi ‘menjebak’ Sa’d ibn Mu’adz agar suka atau
tidak suka berhadapan langsung dengan keanggunan Mush’ab.
***
Yah, begitulah isti’aab khoriji.
Terpatok oleh target angka-angka memang bisa jadi berbahaya. Tetapi sebagai
awal sebuah proses isti’aab khoriji,
acuan itu terkadang juga penting. Jika sempat menonton film The Recruit bersama Al Pacino dan Collin
Farrel, mungkin kita akan menemukan pemahaman-pemahaman baru tentang isti’aab. Atau, seperti pesan Ustadz
Fathi Yakan menutup bukunya, “Sesungguhnya ideologi perubahan Islam menghendaki
adanya satu barisan yang terseleksi, dan mereka inilah para pelopor perbaikan.
Namun demikian, perubahan ini harus memasyarakat, karena di sinilah akar dan
kekuatan mereka.” Selamat merekrut!
Dan datanglah dari
ujung kota, seoratg laki-laki dengan bergegas-gegas, ia berkata, “Hai kaumku,
ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu;
dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Yaasin [36]: 20-21) []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar