Rabu, 29 April 2015

Budaya

Nobunaga menumbuk padi
Hideyoshi menanak nasi
Ieyashu memakannya 300 tahun!

Dalam sejarah Jepang abad XVI hingga XVII, tiga nama ini mengabadi. Ketika keshogunan Ashikaga yang telah uzur tak lagi memberi kedamaian dan kesejahteraan dan sang Tenno semakin terboneka, para Daimyo, -adipati-, meluaskan pengaruhnya masing-masing, menjajah provinsi tetangga, menguras sumberdaya, dan memeras rakyatnya. Nobunaga dari marga Oda, Daimyo provinsi Owari, memimpin sebuah kampanye penyatuan yang berdarah-darah, brutal, namun efektif. Dia dipuja rakyat Jepang dengan kerja kerasnya, perang yang tanpa henti, dan lebih dari itu, dia memang mencintai negerinya sehingga kharismanya menyihir. Tapi hidupnya berakhir dalam sebuah pengkhianatan yang dramatis, terkepung di istana kecilnya tanpa pengawal, melawan habis-habisan, lalu melakukan seppuku, membedah perutnya sendiri di tengah kobaran api kastil yang terbakar. Mati di tangan musuh atau jasad jatuh ke tangan mereka adalah kehinaan tak tertanggungkan baginya, penganut jalan Samurai.

Lalu Hideyoshi Toyotomi? Ah, dia hanya pembawa sandal Nobunaga yang dijuluki si muka monyet. Awalnya. Tetapi lidahnya jauh lebih tajam dari pedang samurai manapun. Kemampuan berdiplomasi, kekuatan argumentasi, dan retorika yang memukau sering menjadikannya penakluk tanpa darah saat kariernya menanjak di barisan Nobunaga. Mengubah keraguan menjadi keyakinan, kecurigaan menjadi kepercayaan, dan musuh menjadi kawan; itu keahliannya. Setelah menghancurkan kaum pemberontak yang membunuh Nobunaga, dia mengambil alih kendali dari para ahli waris marga Oda yang tidak cakap. Dan di puncak kariernya, dia mengganti sistem keshogunan dengan sebuah sistem pemerintahan yang progresif di bawah kendalinya, Sang Taiko. Mungkin ini cikal bakal jabatan ‘Perdana Menteri’ modern di Jepang. Kisah hidupnya bisa kita baca dalam novel Eiji Yoshikawa, Taiko.

Likulli marhalatin rijaaluhaa, tiap fase memiliki tokohnya. Sistem yang dibangun Sang Taiko tidak bertahan lama. Ada kekuatan yang besar, namun sangat sabar dan telaten menunggu untuk mereposisinya. Bersama berakhirnya kekuasaan Hideyoshi Toyotomi, sistem keshogunan dikembalikan dengan seorang shogun baru yang sangat matang dan sabar. Itulah Ieyashu Tokugawa, sekutu terkuat sang Taiko, sesama pejuang di barisan Nobunaga. Dalam darahnya mengalir kebangsawanan yang dibesarkan oleh nestapa tak terelakkan. Perhatikan bagaimana anak-anak Jepang bersyair menggambarkan karakter ketiganya.

Jika seekor burung tak mau bernyanyi
Tanyakanlah pada mereka bertiga!
Jawabnya:
“Bunuh saja!”, kata Nobunaga.
“Buat agar dia suka menyanyi…”, kata Hideyoshi
“Tunggu!”, kata Ieyashu.

Ide tentang karakter tiga orang dalam sejarah Jepang ini mengalir sepanjang zaman berikut dalam syair sederhana yang riang hingga anak-anak bisa memilih akan seperti siapa mereka kelak. Inilah proyek budaya yang dipakai untuk membangun karakter bangsa. Jangan lupa, sejak tahun 1980-an Jepang mencanangkan prestasi dalam Piala Dunia di tahun 2002, hingga semua film kartun anak diarahkan ke sepakbola. Hasilnya? Minimal mereka menjadi tuan rumah bersama Korea.

Dalam sejarah Islam, pertanyaan menggelitik itu saya temukan. “Mengapa pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah tidak bisa populer, padahal gagasan-gagasannya brilian? Dan padahal banyak gagasan-gagasan lain yang jauh lebih remeh menjadi begitu populer.” Jelas, gagasan Ibnu Taimiyah sangat genuine dan cerdas. Bahkan Adam Smith pun mengutip mentah Majmu’ Fatawa untuk membangun teori ekonominya. Tetapi pertanyaan itu kembali menggantung, “Mengapa tidak populer?” Jawaban telaknya hanya satu, kata Ustadz Musyaffa’ Abdurrahim dalam Membangun Ruh Baru, “Karena Ibnu Taimiyah tidak didukung oleh para penyair!”

Kita ingat Omar Al-Khoyyam, Dia seorang ahli Matematika brilian sekaligus Astronom yang luar biasa. Tapi, karya warisnya yang menjaya hingga kini justru adalah Ruba’iyyat, kumpulan puisi empatan. Isinya? Ekspresi perasaan dan curahan hati. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan Matematika dan Astronomi. Dan di kedua bidang itu, apakah dia meninggalkan karya? Tentu. Tapi tidak dalam bentuk sya’ir. Dan, mungkin karena itu, tidak populer.

Ini juga menjawab mengapa buku Al-Ahkam As-Sulthoniyah karya Imam Al-Mawardi lebih masyhur dibanding buku dengan judul sama yang ditulis Imam Abu Ya’la Al-Farro’. Dua buku ini, kata sang peneliti, ditulis dalam kurun yang tak jauh, topik-topik dan subbab yang berkelindan, referensi yang nyaris mirip, hingga aspek tata letak dan artistik yang tak jauh beda. Bedanya, Al-Mawardi menggunakan metode muqoronah yang membandingkan pandangan berbagai madzhab, lalu menegaskan pendapatnya sementara Al-Farro’ hanya mau mengutip bulat pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal. Dan yang istimewa, buku Al-Mawardi kaya dengan syair yang indah dan penuh ‘ibroh sekaligus mudah dihafal.

Demikian juga keagungan jilbab di negeri ini. Saat seorang wartawan majalah Al-Mujtama’ mengunjungi Indonesia di bulan Romadhon akhir tahun 80-an, ia tertakjub. Dia ikut sholat tarawih. Dan dia melihat wanita-wanita berpakaian seksi memasuki Masjid dengan santainya, menenteng tas plastik hitam. Begitu duduk, tas plastik itu dibuka dan mukena putih pun dikenakan. Saat salam diucap dan kultum masih berlangsung, wanita itu telah kembali seksi, mukenanya dilepas. Dan dia khusyu’ mengikuti ceramah. Indonesia memang ajaib, katanya. Di negerinya, tak berjilbab berarti tak sholat. Tapi tak berapa lama Indonesia bangkit. Lagu Aisyah Adinda Kita dan Bimbo menyulut semangat jilbab, dan puisi Emha Ainun Najib, Lautan Jilbab menjadi penegas proyek da’wah itu.

Ternyata, untuk menjadi sebuah peradaban, setiap proyek pemikiran harus disupport oleh proyek budaya. Kelebihan gerakan tarekat, di antaranya adalah menonjolnya aspek budaya hingga lihatlah di manapun betapa populisnya lagu yang disenandungkan dalam mengabarkan prinsip aqidahnya. Maka, adalah tawazun, ketika kemudian Ustadz Hasan Al-Banna menggariskan, bahwa karakteristik gerakannya adalah:
1.       Da’wah Salafiyah (Da’wah Salaf)
Karena mereka berda’wah untuk mengajak kembali kepada sumbernya yang jernih dari Kitab Alloh dan sunnah RosulNya.
2.       Thoriqah Sunniyah (Jalan Sunnah)
Karena mereka membawa jiwa untuk beramal dengan sunnah yang suci, -khususnya dalam masalah ‘aqidah dan ibadah- semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan mereka.
3.       Haqiqoh Shufiyah (Hakikat ‘Sufi’)
Karena mereka memahami bahwa asas kebaikan adalah kesucian jiwa, kejernihan hati, kontinuitas amal, berpaling dari ketergantungan kepada makhluq, mahabbah fillah, dan keterikatan pada kebaikan.
4.       Haiah Siyasiyah (Lembaga Politik)
Karena mereka menuntut perbaikan dari dalam terhadap hukum pemerintahan, meluruskan persepsi yang terkait dengan hubungan ummat Islam terhadap bangsa-bangsa lain di luar negeri, mentarbiyah bangsa agar memiliki ‘Izzah, dan menjaga identitasnya.
5.       Jama’ah Riyadhiyah (Kelompok Olahraga)
Karena mereka sangat memperhatikan masalah fisik dan memahami benar bahwa seorang mukmin yang kuat itu lebih baik daripada seorang mukmin yang lemah. Seperti sabda Rosululloh, “Sesungguhnya jasadmu memiiiki hak atasmu!” Dan sesungguhnya semua kewajiban dalam Islam -semisal sholat, puasa, zakat, haji, jihad, bekerja- tidak mungkin terlaksana dengan sempurna dan benar tanpa fisik yang kuat.
6.       Robithoh ‘Ilmiyah Tsaqofiyah (Ikatan Ilmiah Berwawasan)
Karena sesungguhnya Islam menjadikan tholabul ‘ilmi sebagai kewajiban bagi setiap muslim. Majelis-majelis ikhwan pada dasarnya adalah madrasah-madrasah ta’lim dan peningkatan wawasan. Ma’had-ma’had yang ada adalah untuk mentarbiyah fisik, akal, dan ruh.
7.       Syirkah Iqtishodiyah (Perserikatan Ekonomi)
Karena Islam sangat memperhatikan perolehan harta dan pendistribusiannya. Inilah yang disabdakan Rosululloh, “Sebaik-baik harta sholih adalah yang ada di tangan lelaki sholih.”
8.       Fikroh Ijtima’iyah (Pemikiran Sosial)
Karena mereka sangat menaruh perhatian pada segala penyakit yang ada dalam masyarakat Islam dan berusaha menterapi serta mengobatinya. []

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar