Nobunaga menumbuk
padi
Hideyoshi menanak
nasi
Ieyashu memakannya
300 tahun!
Dalam
sejarah Jepang abad XVI hingga XVII, tiga nama ini mengabadi. Ketika keshogunan
Ashikaga yang telah uzur tak lagi memberi kedamaian dan kesejahteraan dan sang
Tenno semakin terboneka, para Daimyo,
-adipati-, meluaskan pengaruhnya masing-masing, menjajah provinsi tetangga, menguras
sumberdaya, dan memeras rakyatnya. Nobunaga dari marga Oda, Daimyo provinsi Owari,
memimpin sebuah kampanye penyatuan yang berdarah-darah, brutal, namun efektif. Dia
dipuja rakyat Jepang dengan kerja kerasnya, perang yang tanpa henti, dan lebih dari
itu, dia memang mencintai negerinya sehingga kharismanya menyihir. Tapi hidupnya
berakhir dalam sebuah pengkhianatan yang dramatis, terkepung di istana kecilnya
tanpa pengawal, melawan habis-habisan, lalu melakukan seppuku, membedah perutnya sendiri di tengah kobaran api kastil yang
terbakar. Mati di tangan musuh atau jasad jatuh ke tangan mereka adalah kehinaan
tak tertanggungkan baginya, penganut jalan Samurai.
Lalu
Hideyoshi Toyotomi? Ah, dia hanya pembawa sandal Nobunaga yang dijuluki si muka
monyet. Awalnya. Tetapi lidahnya jauh lebih tajam dari pedang samurai manapun. Kemampuan
berdiplomasi, kekuatan argumentasi, dan retorika yang memukau sering
menjadikannya penakluk tanpa darah saat kariernya menanjak di barisan Nobunaga.
Mengubah keraguan menjadi keyakinan, kecurigaan menjadi kepercayaan, dan musuh
menjadi kawan; itu keahliannya. Setelah menghancurkan kaum pemberontak yang membunuh
Nobunaga, dia mengambil alih kendali dari para ahli waris marga Oda yang tidak cakap.
Dan di puncak kariernya, dia mengganti sistem keshogunan dengan sebuah sistem pemerintahan
yang progresif di bawah kendalinya, Sang Taiko. Mungkin ini cikal bakal jabatan
‘Perdana Menteri’ modern di Jepang. Kisah hidupnya bisa kita baca dalam novel Eiji
Yoshikawa, Taiko.
Likulli marhalatin
rijaaluhaa,
tiap fase memiliki tokohnya. Sistem yang dibangun Sang Taiko tidak bertahan lama.
Ada kekuatan yang besar, namun sangat sabar dan telaten menunggu untuk
mereposisinya. Bersama berakhirnya kekuasaan Hideyoshi Toyotomi, sistem keshogunan
dikembalikan dengan seorang shogun baru yang sangat matang dan sabar. Itulah Ieyashu
Tokugawa, sekutu terkuat sang Taiko, sesama pejuang di barisan Nobunaga. Dalam
darahnya mengalir kebangsawanan yang dibesarkan oleh nestapa tak terelakkan. Perhatikan
bagaimana anak-anak Jepang bersyair menggambarkan karakter ketiganya.
Jika seekor burung
tak mau bernyanyi
Tanyakanlah pada
mereka bertiga!
Jawabnya:
“Bunuh saja!”,
kata Nobunaga.
“Buat agar dia
suka menyanyi…”, kata Hideyoshi
“Tunggu!”, kata Ieyashu.
Ide
tentang karakter tiga orang dalam sejarah Jepang ini mengalir sepanjang zaman berikut
dalam syair sederhana yang riang hingga anak-anak bisa memilih akan seperti siapa
mereka kelak. Inilah proyek budaya yang dipakai untuk membangun karakter bangsa.
Jangan lupa, sejak tahun 1980-an Jepang mencanangkan prestasi dalam Piala Dunia
di tahun 2002, hingga semua film kartun anak diarahkan ke sepakbola. Hasilnya? Minimal
mereka menjadi tuan rumah bersama Korea.
Dalam
sejarah Islam, pertanyaan menggelitik itu saya temukan. “Mengapa pemikiran-pemikiran
Ibnu Taimiyah tidak bisa populer, padahal gagasan-gagasannya brilian? Dan padahal
banyak gagasan-gagasan lain yang jauh lebih remeh menjadi begitu populer.”
Jelas, gagasan Ibnu Taimiyah sangat genuine
dan cerdas. Bahkan Adam Smith pun mengutip mentah Majmu’ Fatawa untuk membangun teori ekonominya. Tetapi pertanyaan itu
kembali menggantung, “Mengapa tidak populer?” Jawaban telaknya hanya satu, kata
Ustadz Musyaffa’ Abdurrahim dalam Membangun
Ruh Baru, “Karena Ibnu Taimiyah tidak didukung oleh para penyair!”
Kita
ingat Omar Al-Khoyyam, Dia seorang ahli Matematika brilian sekaligus Astronom yang
luar biasa. Tapi, karya warisnya yang menjaya hingga kini justru adalah Ruba’iyyat, kumpulan puisi empatan. Isinya?
Ekspresi perasaan dan curahan hati. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Matematika dan Astronomi. Dan di kedua bidang itu, apakah dia meninggalkan karya?
Tentu. Tapi tidak dalam bentuk sya’ir. Dan, mungkin karena itu, tidak populer.
Ini
juga menjawab mengapa buku Al-Ahkam As-Sulthoniyah
karya Imam Al-Mawardi lebih masyhur dibanding buku dengan judul sama yang ditulis
Imam Abu Ya’la Al-Farro’. Dua buku ini, kata sang peneliti, ditulis dalam kurun
yang tak jauh, topik-topik dan subbab
yang berkelindan, referensi yang nyaris mirip, hingga aspek tata letak dan artistik
yang tak jauh beda. Bedanya, Al-Mawardi menggunakan metode muqoronah yang membandingkan pandangan berbagai madzhab, lalu menegaskan
pendapatnya sementara Al-Farro’ hanya mau mengutip bulat pendapat Imam Ahmad ibn
Hanbal. Dan yang istimewa, buku Al-Mawardi kaya dengan syair yang indah dan
penuh ‘ibroh sekaligus mudah dihafal.
Demikian
juga keagungan jilbab di negeri ini. Saat seorang wartawan majalah Al-Mujtama’
mengunjungi Indonesia di bulan Romadhon akhir tahun 80-an, ia tertakjub. Dia
ikut sholat tarawih. Dan dia melihat wanita-wanita berpakaian seksi memasuki Masjid
dengan santainya, menenteng tas plastik hitam. Begitu duduk, tas plastik itu dibuka
dan mukena putih pun dikenakan. Saat salam diucap dan kultum masih berlangsung,
wanita itu telah kembali seksi, mukenanya dilepas. Dan dia khusyu’ mengikuti ceramah.
Indonesia memang ajaib, katanya. Di negerinya, tak berjilbab berarti tak sholat.
Tapi tak berapa lama Indonesia bangkit. Lagu Aisyah Adinda Kita dan Bimbo menyulut semangat jilbab, dan puisi Emha
Ainun Najib, Lautan Jilbab menjadi
penegas proyek da’wah itu.
Ternyata,
untuk menjadi sebuah peradaban, setiap proyek pemikiran harus disupport oleh proyek
budaya. Kelebihan gerakan tarekat, di antaranya adalah menonjolnya aspek budaya
hingga lihatlah di manapun betapa populisnya lagu yang disenandungkan dalam mengabarkan
prinsip aqidahnya. Maka, adalah tawazun, ketika kemudian Ustadz Hasan Al-Banna menggariskan,
bahwa karakteristik gerakannya adalah:
1. Da’wah
Salafiyah (Da’wah Salaf)
Karena mereka berda’wah untuk mengajak kembali
kepada sumbernya yang jernih dari Kitab Alloh dan sunnah RosulNya.
2. Thoriqah
Sunniyah (Jalan Sunnah)
Karena mereka membawa jiwa untuk beramal
dengan sunnah yang suci, -khususnya dalam masalah ‘aqidah dan ibadah- semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuan mereka.
3. Haqiqoh
Shufiyah (Hakikat ‘Sufi’)
Karena mereka memahami bahwa asas kebaikan
adalah kesucian jiwa, kejernihan hati, kontinuitas amal, berpaling dari ketergantungan
kepada makhluq, mahabbah fillah, dan keterikatan
pada kebaikan.
4. Haiah
Siyasiyah (Lembaga Politik)
Karena mereka menuntut perbaikan dari dalam
terhadap hukum pemerintahan, meluruskan persepsi yang terkait dengan hubungan ummat
Islam terhadap bangsa-bangsa lain di luar negeri, mentarbiyah bangsa agar memiliki
‘Izzah, dan menjaga identitasnya.
5. Jama’ah
Riyadhiyah (Kelompok Olahraga)
Karena mereka sangat memperhatikan masalah
fisik dan memahami benar bahwa seorang mukmin yang kuat itu lebih baik daripada
seorang mukmin yang lemah. Seperti sabda Rosululloh, “Sesungguhnya jasadmu memiiiki
hak atasmu!” Dan sesungguhnya semua kewajiban dalam Islam -semisal sholat,
puasa, zakat, haji, jihad, bekerja- tidak mungkin terlaksana dengan sempurna dan
benar tanpa fisik yang kuat.
6. Robithoh
‘Ilmiyah Tsaqofiyah (Ikatan Ilmiah Berwawasan)
Karena sesungguhnya Islam menjadikan tholabul
‘ilmi sebagai kewajiban bagi setiap muslim. Majelis-majelis ikhwan pada dasarnya
adalah madrasah-madrasah ta’lim dan peningkatan wawasan. Ma’had-ma’had yang ada
adalah untuk mentarbiyah fisik, akal, dan ruh.
7. Syirkah
Iqtishodiyah (Perserikatan Ekonomi)
Karena Islam sangat memperhatikan perolehan
harta dan pendistribusiannya. Inilah yang disabdakan Rosululloh, “Sebaik-baik harta
sholih adalah yang ada di tangan lelaki sholih.”
8. Fikroh
Ijtima’iyah (Pemikiran Sosial)
Karena mereka sangat menaruh perhatian
pada segala penyakit yang ada dalam masyarakat Islam dan berusaha menterapi serta
mengobatinya. []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar