Membaca
kiprah ‘Amr ibn Luhay beberapa halaman lalu, saya dan Anda pasti akan
bertanya-tanya, ”Masa' sih semudah itu pemahaman baru tentang peribadahan dan
keyakinan disebarluaskan?” Atau “Adakah perangkat logika yang meyakinkan bagi
bangsa Arab atas paganisme yang datang melalui perantara ‘Amr ibn Luhay?
Ternyata memang ada ‘Amr Ibn Luhay, Sang Perantara yang lihai, telah
memproklamasikan sebuah logika yang gampangnya juga kita sebut sebagai ‘logika
perantara’.
“…Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya…” (QS. Az-Zumaar:
3)
“Alloh,”
kata logika itu, “Dzat yang Menciptakan kita. Dia itu Maha Mulia, Maha Tinggi, dan
Maha Suci. Kita hanya makhluk yang rendah, hina, penuh noda. Sungguh tak
pantas, mahkluk yang rendah menengadah langsung pada Yang Maha Tinggi. Sungguh
tak patut makhluk yang hina bersimpuh di dekatNya Yang Maha Mulia. Dan sungguh
tak layak bagi insan penuh noda mencoba meraih kasihNya Yang Maha Suci. Sungguh
Dia Maha Agung di langit, takkan terjangkau oleh kita yang berkubang di palung
samudera kehinaan.”
“Jadi?”
“Kita
butuh perantara. Ya, kita butuh perantara. Yuhuu…!”
“…Kami tidak menyembah mereka melainlan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya” (QS. Az-Zumaar:
3)
Kita
ambil Al-Latta sebagai contoh. Nama ini ditafsir sebagai bentuk feminin dari
kata Alloh. Tersebut bahwa Lataa adalah Al-Fayyadh,
laqob yang sama dengan Dodi yang
tewas bersama dengan Princess of Wales, Diana Francess Spencer, dalam
kecelakaan di France. Al-Fayaadh
berarti dermawan besar. Jika datang jama’ah haji ke Makkah, maka mereka akan menyempatkan
mampir ke rumah Lataa. Menikmati jamuan roti nan lebar yang dicelup ke dalam
kuah daging kental dan minuman menyegarkan. Bahkan kalau memerlukan akomodasi,
katakan pada Lataa, dan dia akan menyantuni para tamu Alloh itu.
Logika
itu diteruskan, ”Melihat kedekatan Lataa dengan Alloh, maka dialah perantara
yang tepat. Bagaimana tidak? Lataa sangat ‘berjasa’ pada Alloh dalam
pelayanannya kepada tetamuNya”. Luar biasa logika ini.
“Jadi,
kalau minta hal yang remeh temeh, nggak usah kepada Alloh. Malu-maluin! Masa’
Alloh ngurusin hal-hal seremeh itu? Sudah, minta saja pada Lataa. Pasti karena ‘jasanya’
Lataa sudah diberi banyak kewenangan oleh Alloh di surga sana untuk menentukan
nasib kita di dunia. Mudahnya, Lataa sudah jadi asisten Alloh yang mengurusi
bidang tertentu. Jadi buat apa repot-repot menyembah Alloh?
Dan
begitulah, Manat, ‘Uzza, Hubal, dan ratusan berhala lain -bahkan para malaikat
dilogika. Merunut sejarahnya, logika ini juga terpakai dalam penuhanan ‘Isa
sebagai juru selamat yang dianggap menebus dosa manusia di kayu salib. Atau
ketika orang Yahudi begitu bersemangat mengatakan Uzair anak Alloh bertitah
begini begitu. Dan bahkan pada penuhanan orang-orang sholih dari kaum Nabi Nuh
yaitu Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Logika perantara ini begitu
mendarah daging di tubuh kemusyrikan.
“…Kami
tidak menyembah mereka melainlan supaya mereka mendekatkan kami kepada Alloh
dengan sedekat-dekatnya” (QS. Az-Zumaar: 3)
Sedihnya
logika ini tak kunjung lenyap. Bahkan hingga kini. Dapatilah banyak dukun,
paranormal, hingga yang menyebut diri Ustadz dan Kyai menggunakan logika ini
untuk meraih sesuatu disisi manusia. Mereka mengambil peran ‘perantara’. Dan
manusia pun berbondong-bondong memakainya untuk memintas jalan hajat hidup
mereka.
Lebih
sedih lagi, ada beberapa sholawat yang disusun memperlihatkan cengkeraman
logika ini. Misalnya tawassul dalam sholawat Badriyah. Setelah melafal aneka
permohonan dalam syair yang enak, kita harus menutup dengan “bi ahlil badri, ya
Alloh”; dengan hak dan kedudukan para pahlawan Badar, ya Alloh!”
Mohon
teliti kembali lafal sholawat favorit Anda. Jangan-jangan ada susupan logika
perantara di sana. Demi Alloh, itu logika jahiliyah meskipun kedudukan Rosululloh
yang disebut. Berharap syafa’at memang diperkenankan. Tetapi Abu Huroiroh
pernah bertanya, ”Siapakah orang yang akan beruntung dengan syafa’atmu, ya Rosululloh?”
Beliau menjawab, ”Orang yang mengucapkan Laa
ilaaha illalloh dengan ikhlas dari dalam hatinya.” Hadits shohih ini yang
membawakannya Imam Bukhori dan Imam Ahmad.
Jikalau
kita memperbanyak sholawat, itulah kecintaan kita pada Rosul dan ketaatan kita
pada Alloh yang juga bersholawat pada Nabi. Bukan dalam rangka ‘menyuap’ Rosululloh
agar memberikan syafa’atnya. Jatuhlah kita dalam logika perantara jika
demikian. Apalagi jika sholawat itu mengandung kemusyrikan seperti Nariyah yang
dimulai dengan “Allohumma
sholli sholatan, kaamilatan wa sallim salaaman tamman ‘alaa sayyidina Muhammadiniladzi…”
Sungguh benar ‘Abdulloh ibn Mas’ud, “Bercukup-cukup dengan sunnah jauh lebih
indah daripada berpayah-payah dengan bid’ah.” Termasuk dalam hal sholawat.
Sesungguhnya
logika perantara ala jahiliyah ini bertentangan diametral dengan logika Islam.
Setiap yang berbuat, dia yang bertanggung jawab. Siapa yang menanam, mengetam.
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu
kelak akan diperlihatkannya.” (QS. An-Najm: 40)
Jadi,
apa hubungannya kita dengan amal Ahli Badr dan kedudukan Rosululloh? Tidak ada.
Tidak ada, kecuali hubungan cinta dan peneladanan. Karena yang ini insyaalloh
menyatukan kita dengan mereka. “Anta ma’a
man ahbabta; Engkau akan beserta orang yang kau cintai,” kata Rosululloh.
Tetapi ekspresi cinta itu bukan memohon hajat dengan logika perantara seperti
ini. Sama sekali bukan.
Dan katanlah, ”Beramallah kalian,
maka Alloh dan RosulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian
itu, dan kalian akan dikembalikan kepada Alloh Yang Maha Mengetahui akan yang
ghoib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kamu
kerjakan.”
(QS. At-Taubah: 105).
Sepanjang
sejarah, dari dua ‘Amr –‘Amr ibn Luhay hingga ‘Amr ibn Hisyam– logika perantara
adalah logika jahiliah. Berhati-hatilah pada logika perantara. Dalam hubungan
dengan Alloh atas hajat kita, perantara adalah logika kemusyrikan, logika
jahiliah. Islam mengajarkan kedekatan hamba dengan Robbnya. Kedekatan langsung
yang indah. Tanpa perantara.[]
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar