Senin, 27 April 2015

Antara Khilafah, Kerajaan, dan Demokrasi

"Assalamu 'alaikum, wahai Raja!" ujar Sa'd ibn Abi Waqqosh ketika membai'at Mu'awiyah ibn Abi Sufyan.

Al-Imam Ibnul Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh 3/405, merekam adegan pembai'atan Mu'awiyah oleh Sa'd ibn Abi Waqqosh ini. Awalnya Mu'awiyah marah. "Apa salahnya Anda memanggilku "Amirul Mukminin"?" katanya. "Demi Alloh," kata Sa'd, "aku tidak suka memperoleh apa yang kau dapat dengan cara yang kau gunakan!" Ya, wajar bagi Sa'd mengatakan demikian. Beberapa hari sebelumnya, sang keponakan, Hasyim ibn 'Utbah ibn Abi Waqqosh menghadapnya disertai perwakilan berbagai kabilah. "Demi Alloh, wahai Paman," kata Hasyim, "ada seratus ribu pedang terhunus yang berpendapat bahwa engkaulah yang paling berhak memegang kepemimpinan Muslimin!" Sang keponakan mungkin benar. Dari kesepuluh sahabat Rosululloh yang beliau jamin surga, tinggal Sa'd ibn Abi Waqqosh yang kini masih hidup. Ketika itu, Sa'd menunduk dan menitikkan air mata. "Demi Alloh, Ananda," jawabnya sambil menatap lekat mereka yang hadir dengan mata berkaca-kaca. "Aku hanya menginginkan satu saja dari seratus ribu pedang itu. Yang jika dipukulkan pada seorang Mukmin, pedang itu tak akan berdaya. Tapi jika kupukulkan pada musuh Alloh, maka ia akan membelah dengan ketajamannya." Kata-kata Sa'd, paman kebanggaan sang Nabi ini, diabadikan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah 8/72.

Mungkin sejak itulah, Mu'awiyah menyadari bahwa dia memang seorang raja, dan Daulah Umayyah yang didirikannya adalah sebuah kerajaan. Bukan khilafah. Apalagi setelah sampai kepadanya riwayat tentang nubuwat Rosululloh yang berbunyi, "Khilafah sepeninggalku 30 tahun lamanya. Setelah itu akan datang masa kerajaan." Maka suatu saat Mu'awiyah pun berkata, "Aku adalah raja pertama!" Kalimat ini beserta penjelasannya ada dalam karya Ibn 'Abdil Barr, al-Isti'aab, 1/254.

Maka berakhir sudah masa khilafah dan datanglah masa kerajaan; Daulah Bani Umayyah. Sistem mulk atau monarki yang telah ribuan tahun mengisi kehidupan manusia, -jauh mendahului demokrasi awal yang konon lahir di Athena- dengan berbagai kebaikan dan keburukannya kini menaungi sekaligus mengangkangi kaum Muslimin. Sistem ini, yang direpresentasikan dua kekuatan dunia di masa sang Nabi; Romawi dan Persia, kini memerancah negeri Islam. Segala tata kehidupan yang indah dan meriah di bawah khilafah berubah drastis sejak berdirinya Daulah Umayyah ini. Abul A'la al-Maududi dalam al-Khilafah wal Mulk mendata berbagai perubahan itu menjadi pokok-pokok pembahasan yang diuraikan begitu luas dengan berbagai riwayat dan analisis. Beberapa yang bisa kita lihat di sana antara lain: perubahan aturan pengangkatan, perubahan cara hidup, perubahan anggaran dan Baitul Maal, hilangnya kebebasan berpendapat, hilangnya kemerdekaan peradilan, berakhirnya pemerintahan berdasar syuro, munculnya fanatik kesukuan, dan hilangnya kekuasaan hukum. Penjelasan gamblang oleh beliau bisa kita seksamai dalam al-Khilafah wal Mulk 183-204.

Dari sederet perubahan yang menimbulkan banyak masalah itu, fenomena kebobrokan yang paling mencolok adalah soal merebaknya kezholiman. Untuk sekadar mengambil misal, di masa kekuasaan Mu'awiyah terjadilah hal ini: Muhammad ibn Abi Bakr, saudara Aisyah, ipar sang Nabi, dibunuh. Dan jasadnya dimasukkan ke dalam bangkai keledai lalu dibakar (al-Isti'aab 1/235 karya Ibnu 'Abdil Barr; Tarikhul Umam wal Muluk 4/79 karya ath-Thobari).

Demikian hal yang tak kalah kejam terjadi pada sahabat kesayangan Nabi: 'Ammar ibn Yassir, 'Amr ibn Hamk, dan lainnya sebagaimana diabadikan para alim sejarawan. Simak: Ahmad, al-Musnad 6538, 6929; Ibnu Sa'd, ath-Thobaqot 3/253, 6/25; Ibnu Katsir, al-Bidayah 8/48; dan Ibnu Hajar al-Asqolani, Tahdzibut Tahdzib 8/24.

Juga tentang dikubur hidup-hidupnya seorang alim lagi sholih bernama Hujur ibn Adi yang membuat Aisyah, Hasan al-Bashri, dan para sahabat mulia memprotes ke Mu'awiyah. Ini bisa kita lihat dalam karya ath-Thobari, at-Tarikh 4/190-207; Ibnu Kholdun, at-Tarikh 3/14.

Di masa Yazid ibn Mu'awiyah, yang ditunjuk oleh ayahnya menjadi penguasa dan menjadi bukti teguh berakhirnya khilafah dan mulainya mulk, kita tahu sejarah kekuasaan semakin tak enak dibaca. Katakanlah kita abai atas perdebatan apakah tindakan cucu tercinta Rosululloh, Husain ibn Ali itu sah atau tidak. Apa yang terjadi kemudian sungguh adalah tragedi. Detail pembantaian keluarga mulia dan bagaimana perlakuan kejam itu tidak saya sampaikan di sini. Silakan periksa halaman-halaman ath-Thobari, at-Tarikh 4/309; Ibnu Atsir, al-Kamil 3/282-299.

Kalaupun kita menerima riwayat bahwa Yazid tak punya niat membunuh al-Husain dan menyesali kejadian itu, kita masih bertanya: mengapa pelaku tak dia tindak? Kejadian paling memilu di masa Yazid terjadi tahun 73 H; penyerbuan Madinah, kota yang dijamin sang Nabi dengan sabdanya dalam riwayat Bukhori, Muslim, Ahmad, dan Nasa'i.

"Tak seorang pun memperlakukan Madinah dengan kejahatan melainkan Alloh pasti akan lumerkan ia di dalam neraka seperti lumernya timah hitam."

Berdasar riwayat az-Zuhri, atas tuduhan pemberontakan yang dipimpin walinya, 'Abdulloh ibn Hanzholah, kota Madinah ditaklukkan. Dan para pasukan diizinkan melakukan apa pun sesukanya selama 3 hari hingga tiap sudutnya dirampok habis-habisan. 7.000 orang asyrofdari kalangan keluarga Nabi, sahabat, dan putra-putranya dibunuh. Ibnu Katsir bahkan menulis bahwa 1.000 wanita hamil tanpa pernikahan dari kejadian di hari-hari itu. Rincian kejadian ini bisa kita periksa dalam ath-Thobari, at-Tarikh 4/372-379; Ibnu al-Atsir, al-Kamil3/310-313.

Dengan maksud tak memperpanjang daftar hal-hal yang menggidikkan ini, mari melompat ke saat-saat menjelang tampilnya 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz. Ya, di sana masih ada al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi, seorang alim yang punya andil merumuskan sistem harokat untuk mushaf yang kita baca. Tetapi bukankah dia seperti kata 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz sendiri, "Andai ummat-ummat dan bangsa datang dengan segala kejahatan mereka, dan kita Bani Umayyah datang dengan al-Hajjaj seorang, demi Alloh takkan ada yang bisa mengalahkan kita."?

Para penulis riwayat menghitung, al-Hajjaj bertanggung jawab atas pembunuhan sekitar 120.000 orang yang kebanyakan adalah ulama dan orang-orang sholih. Belum lagi ketika dia meninggal, masih ada sekitar 80.000 jasad yang ditemukan di penjaranya, mati tanpa peradilan yang hak. Rincian ini bisa kita teliti dalam redaksi Ibnu 'Abdil Barr, al-Isti'aab1/353 dan 2/571; Ibnu Kholdun, at-Tarikh 3/39.

Di antara mereka yang dibunuh al-Hajjaj, terdapat sahabat-sahabat utama Rosululloh, seperti 'Abdulloh ibn az-Zubair ibn al-Awwam, putra Asma' binti Abu Bakr, an-Nu'man ibn Basyir, 'Abdulloh ibn Shofwan, dan Imaroh ibn Hazm. Kepala mulia 'Abdulloh yang pernah dicium Rosululloh itu dipenggal dan diarak ke Makkah, Madinah, dan Damaskus. Jasad-jasad mereka disalibkan di kota Makkah, dijadikan tontonan hingga berbulan-bulan lamanya. Keterangan ini bisa di telusuri dlm tulisan Ibnu 'Abdil Barr, al-Isti'aab 1/353-354; ath-Thobari, at-Tarikh 5/33-34; Ibnu Katsir, al-Bidayah 8/245 dan 332.

Selain itu, patut dicatat nama Sa'id ibn Jubair, tabi'in agung, murid kesayangan 'Abdulloh ibn Abbas yang dikuliti dan disayati dagingnya oleh al-Hajjaj. Juga tindakan dan cercaannya yang mengancam 'Abdulloh ibn 'Umar, 'Abdulloh ibn Mas'ud, Anas ibn Malik, dan Sahl ibn Sa'd as-Sa'idi, ra. Di masa ini pula para penguasa melaksanakan khuthbah pertama Jum'at sambil duduk, menjadikan caci maki terhadap 'Ali ibn Abi Tholib dan keluarganya sebagai rukun khuthbah. Dan melangsungkan khuthbah hari raya sebelum sholatnya. Bid'ah-bid'ah yang dahsyat ini bisa dilihat pada karya Ibnu al-Atsir, al-Kamil 4/119, 300; ath-Thobari, at-Tarikh 6/26; Ibnu Katsir, al-Bidayah 8/258, 10/30-31.

Itu baru sebagian dari apa yang dilakukan al-Hajjaj. Padahal ada banyak penguasa lain yang menebar kezholiman pada masa itu. Saat itu, 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz mengeluh dalam doanya, "Al-Hajjaj di Irak, al-Walid ibn 'Abdul Malik di Madinah, Kholid ibn 'Abdulloh al-Qoshri di Makkah! Ya Alloh, sepenuh bumi ini telah penuh dengan angkara murka. Maka selamatkanlah ummat ini!" (Ibnu al-Atsir, al-Kamil fit Tarikh 4/132).

Alhamdulillah. Segala puji bagi-Nya. Alloh menjawab doa 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz itu dengan dirinya. Menakdirkan untuknya dua tahun masa kekuasaannya yang akan menjadi buah bibir sepanjang sejarah. Dua tahun yang menyelamatkan muka Bani Umayyah di hadapan ummat Rosululloh. Dua tahun yang lahir dari ikhtiyar seorang alim yang tak berputus asa terhadap rohmat Alloh ditengah sistem monarki yang bobrok. Dari fakta di atas, keadaan ummat saat itu di bawah sistem Mulk, jauh lebih menyedihkan dibandingkan kita di Indonesia kini di bawah demokrasi. Alim agung yang ingin saya sebut itu adalah Roja' ibn Haiwah. Betapa gigih upayanya memasukkan nama 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz sebagai pengganti Sulaiman ibn 'Abdul Malik. Konspirasi kesholihan ini dapat dibaca pada karya Imam 'Abdulloh ibn 'Abdil Hakam, al-Kholifatul 'Adil 'Umar ibn 'Abdil 'Aziz Khomisu Khulafair Rosyidin, 43-47.

Maafkan, tentang keadilan yang kemudian tergelar. Tentang kemakmuran hingga tak seorang pun bersedia menerima zakat. Tentang kesejukan yang kemudian dirasakan setiap jiwa. Tentang ketenteraman hingga serigala pun enggan memangsa domba. Tentang kezholiman dan bid'ah-bid'ah yang terhapus. Maafkan, saya tak ingin mengisahkan lagi. Kita telah tahu dengan setumpuk rindu. Dan semua itu Alloh kehendaki terjadi atas ikhtiyar seorang Roja' ibn Haiwah; alim yang tahu bagaimana harus bertindak dalam sistem yang rusak dan keadaan yang bobrok. Kita kemudian sepakat, baik mulk maupun demokrasi jauh dari ideal yang kita citakan. Keduanya jauh dari khilafah yang kita rindukan. Tetapi dari alim agung bernama Roja' ibn Haiwah, kita belajar agar tak pernah hilang harapan untuk hadirkan kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan dalam sistem serusak apapun.

Demi Alloh, seburuk-buruk pencuri adalah pencuri harapan. Sabda Rosululloh, "Siapa yang mengatakan manusia telah hancur, maka dialah orang yang paling hancur." (HR. Bukhori dan Muslim) Kita belajar dari Roja' untuk mengamalkan kaidah ushul; "Maa laa tudroku kulluhu, fa laa tutroku kulluh. Apa-apa yang tak bisa kita raih sepenuhnya, jangan tinggalkan sepenuhnya." Dan Roja' tidak mengutuk sistem mulk itu sebagai kekufuran warisan Romawi dan Persia, betapapun itu fakta dan seperti apa kerusakan ummat yang ada di sana. Dia tidak meninggalkannya. Dia terus berikhtiyar di dalamnya.

Dia mendekati sang raja, Sulaiman ibn 'Abdul Malik dan mencari peluang menghadirkan kebajikan dalam tiap kebijakan yang akan ditetapkan. Dan akhirnya, dengan sebuah konspirasi unik, dia hadirkan 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz untuk ummat di tengah sebuah sistem yang rusak dan keadaan yang bobrok. Roja' dan bahkan 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz sendiri memang tak kuasa mengubah sistem itu. Ya, mereka tak mampu. Setelah 'Umar wafat, kembalilah kekuasaan diwariskan turun-temurun, Baitul Maal kembali melayani penguasa, foya-foya istana berjaya, dan kezholiman merebak. Roja' dan 'Umar tidak mampu mengubah sistem itu, tapi mereka telah berbuat apa yang mereka mampu. Dan hingga kini ummat mengenang mereka dengan penuh cinta. Untuk rekan-rekan yang sepakat, mari nyalakan lilin bersama Roja' ibn Haiwah. Mari lakukan sesuatu. Bukan hanya mengutuk gelap dan sistem yang tak sreg di hati.

Mari nyalakan lilin bersama Roja'. Siapa tahu Alloh karuniakan kepada kita kesempatan tuk hadirkan 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz di tengah demokrasi yang tak kita suka. Sebagaimana dulu Alloh karuniakan peluang pada Roja' dan kawan-kawannya di tengah mulk yang rusak. @salimafillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar