Rabu, 29 April 2015

Teluk Mutiara

Hari itu, 07 Desember 1941, demikian Encarta Encyclopedia mencatat, serbuan kilat Jepang atas Pearl Harbor menenggelamkan sedikitnya 21 kapal perang, menghancurkan 200 pesawat tempur, dan menewaskan sekitar 3000 personel Angkatan Laut Amerika Serikat. Membicarakan awal perang Pasifik ini, kita bisa merujuk dua film: Pearl Harbor, dan Tora! Tora! Tora! Nah, saya sarankan menonton untuk melihat gambaran pertempuran dahsyat itu, bukan kisah cintanya!

Adalah Laksamana Isoroku Yamamoto, inisiator penyerbuan gemilang itu, menunjukkan kepada kita tentang nilai penting ‘warisan leluhur’. Jika kita perhatikan, rudal-rudal torpedik Jepang yang menghancurkan kapal-kapal Amerika itu, ternyata didesain untuk mengambang di dekat permukaan begitu dijatuhkan dari pesawat tempur ke lautan. Artinya, pesawat tempur Jepang tidak menjatuhkan bom ke atas kapal hingga mudah menjadi sasaran tembak meriam anti-pesawat AS. Mereka cukup menjatuhkan rudal torpedik dengan arah yang tepat dari kejauhan, dan rudal itu akan meluncur di permukaan air lalu menghantam tepat di lambung kapal. Anda tahu apa yang membuat rudal itu mengambang? Tepat! Kayu dan bambu.

Memakai kayu dan bambu adalah salah satu nilai tradisi Jepang ysang terlestari. Ya, Jepang dikenal dengan komitmennya pada warisan nenek moyang. Tetapi Jepang harus melalui Perang Dunia II dengan kepahitan terlebih dahulu untuk bisa sedikit memilah mana warisan leluhur yang layak dihidupkan, dan mana yang tidak.

Kaisar Hirohito merasa, bahwa titik tolak politik ekspansif yang membawa Jepang pada kesengsaraan itu adalah anggapan rakyat dan para prajurit Jepang bahwa dirinya, Sang Tenno, merupakan turunan langsung Amaterasu Omikami, dewa Matahari. Dengan asumsi itulah, para prajurit Jepang tega membumihanguskan banyak negeri –bahkan dengan kamikaze- karena merasa sedang memberikan pengabdian tertinggi, dan membawa tugas suci menebarkan cahaya Sang Matahari ke seluruh penjuru bumi. Betapa mengerikan! Maka dengan bijak, pada tanggal 01 Januari 1946, Kaisar Hirohito mengumumkan dengan tegas bahwa dirinya adalah manusia biasa yang sama sekali tak bersangkut paut dengan ‘kedewaan’.

Hirohito telah sukses mematahkan salah satu tradisi nenek moyangnya yang membahayakan. Jika kita tengok sejarah dakwah, tradisi nenek moyang adalah salah satu logika yang paling sering digunakan untuk menjadi legitimasi perilaku jahiliah dan penentangan terhadap risalah. Mudah sekali untuk berkata, “Bapak-bapak kita berada di atas suatu nilai, dan kita akan mendapat petunjuk dengan mengikuti jejaknya.”

“Jika dikatakan pada mereka, ”Ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Alloh!”, mereka menjawab, “Tetapi kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqoroh: 170)

Keterbelakangan terhadap tradisi adalah wujud lain dari jahiliah. Pakem-pakem warisan nenek moyang menjadi sandaran penolakan terhadap ajakan menuju perbaikan kondisi. Bagaikan air menggenang yang tak mau terusik riak, umat yang dijiwai persepsi ini akan membusuk. Ia menjadi medium perkembangbiakan penyakit peradaban. Sungguh lestari nilai-nilai jahiliah dalam atmosfir ini, atmosfir yang penuh romantisme masa lalu yang basi.

Adakah orang yang semalang Abu Tholib? Menjelang kematiannya, sang Nabi dengan berlinang berjaga di samping kanannya dan terus berkata lembut, ”Wahai paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallooh, maka engkau akan selamat,” tetapi Abu Tholib melirik ke atas dan ke kiri, dimana Abu Lahab dan Abu Jahl yang memasang tampang seram mengulang-ulang kalimat intimidatif, ”Apakah engkau menghina tuhan-tuhan kita, wahai Abu Tholib? Apakah engkau hendak mengikuti anak muda ini dan meninggalkan warisan nenek moyang kita yang agung? Apakah engkau hendak mengkhianati 'Abdul Mutholib?”

Akhir yang menyedihkan pun terjadilah. Saat gumaman terakhir di bibir tua Abu Tholib terdengar lemah, ”…tetap pada agama 'Abdul Mutholib. Tetap pada millah nenek moyang kita.”

“...dan apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka, walaupun syaithon itu merayu mereka ke dalam siksa api yg menyala-nyala?” (QS. Luqman: 21)

Abu Tholib adalah korban nilai tradisi lepas dari pembelaan habisnya terhadap Sang Nabi, keyakinannya bahwa sang keponakan berada di atas kebenaran, dan perlindungan pada insan-insan beriman yang kelak meringankan adzab baginya. Ia adalah korban dari propaganda tradisi. Hari ini, kita menyaksikan banyak korban yang lain. Bedanya mereka dengan Abu Tholib adalah, bahwa Abu Tholib hanya korban propaganda, tetapi Abu Lahab dan Abu Jahl adalah pengguna propaganda untuk kepentingan sendiri. Sebagaimana ada banyak yang menggunakan propaganda Tenno-Amaterasu untuk kepentingannya. Sementara para prajurit kamikaze Jepang yang rela melakukan serangan bunuh diri itu, mereka adalah korban.

Dan mengapa dalam film Tora! Tora! Tora! kalah masyhur dibanding Pearl Harbor padahal dalam segi penggarapan dan kualitasnya juga luar biasa? Karena ending-nya, dalam Pearl Harbor, endingnya adalah keberhasilan misi pemboman balasan Doolittle terhadap kota Tokyo. Artinya, Amerika yang dicitrakan menang. Sementara Tora! Tora! Tora! diakhiri segera setelah keberhasilan penyerbuan Jepang ke Teluk Mutiara dengan ucapan salah seorang Laksamana Jepang, ”Kita baru saja membangunkan raksasa yang terlelap!” Bagaimana pun di film ini Amerika tercitakan sebagai pihak yang kalah. Makanya, publik Amerika tak begitu mengapresiasinya.

Nah, jika ending sangat menentukan, sudah saatnya kita berorientasi masa depan, tempat dimana ending kita ditentukan. Surgakah atau Nerakakah. Atau masih ada yang ingin bernyanyi “nenek moyangku orang berambut”?

“...apakah demikian, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqoroh: 170)[]

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar