Hari itu, 07
Desember 1941, demikian Encarta
Encyclopedia mencatat, serbuan kilat Jepang atas Pearl Harbor
menenggelamkan sedikitnya 21 kapal perang, menghancurkan 200 pesawat tempur,
dan menewaskan sekitar 3000 personel Angkatan Laut Amerika Serikat. Membicarakan
awal perang Pasifik ini, kita bisa merujuk dua film: Pearl Harbor, dan Tora! Tora!
Tora! Nah, saya sarankan menonton untuk melihat gambaran pertempuran
dahsyat itu, bukan kisah cintanya!
Adalah
Laksamana Isoroku Yamamoto, inisiator penyerbuan gemilang itu, menunjukkan
kepada kita tentang nilai penting ‘warisan leluhur’. Jika kita perhatikan,
rudal-rudal torpedik Jepang yang menghancurkan kapal-kapal Amerika itu,
ternyata didesain untuk mengambang di dekat permukaan begitu dijatuhkan dari
pesawat tempur ke lautan. Artinya, pesawat tempur Jepang tidak menjatuhkan bom
ke atas kapal hingga mudah menjadi sasaran tembak meriam anti-pesawat AS.
Mereka cukup menjatuhkan rudal torpedik dengan arah yang tepat dari kejauhan,
dan rudal itu akan meluncur di permukaan air lalu menghantam tepat di lambung
kapal. Anda tahu apa yang membuat rudal itu mengambang? Tepat! Kayu dan bambu.
Memakai
kayu dan bambu adalah salah satu nilai tradisi Jepang ysang terlestari. Ya,
Jepang dikenal dengan komitmennya pada warisan nenek moyang. Tetapi Jepang
harus melalui Perang Dunia II dengan kepahitan terlebih dahulu untuk bisa
sedikit memilah mana warisan leluhur yang layak dihidupkan, dan mana yang
tidak.
Kaisar
Hirohito merasa, bahwa titik tolak politik ekspansif yang membawa Jepang pada
kesengsaraan itu adalah anggapan rakyat dan para prajurit Jepang bahwa dirinya,
Sang Tenno, merupakan turunan langsung Amaterasu Omikami, dewa Matahari. Dengan
asumsi itulah, para prajurit Jepang tega membumihanguskan banyak negeri –bahkan
dengan kamikaze- karena merasa sedang
memberikan pengabdian tertinggi, dan membawa tugas suci menebarkan cahaya Sang
Matahari ke seluruh penjuru bumi. Betapa mengerikan! Maka dengan bijak, pada
tanggal 01 Januari 1946, Kaisar Hirohito mengumumkan dengan tegas bahwa dirinya
adalah manusia biasa yang sama sekali tak bersangkut paut dengan ‘kedewaan’.
“Jika
dikatakan pada mereka, ”Ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Alloh!”, mereka
menjawab, “Tetapi kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang
kami.” (QS. Al-Baqoroh: 170)
Keterbelakangan
terhadap tradisi adalah wujud lain dari jahiliah. Pakem-pakem warisan nenek
moyang menjadi sandaran penolakan terhadap ajakan menuju perbaikan kondisi. Bagaikan
air menggenang yang tak mau terusik riak, umat yang dijiwai persepsi ini akan
membusuk. Ia menjadi medium perkembangbiakan penyakit peradaban. Sungguh lestari
nilai-nilai jahiliah dalam atmosfir ini, atmosfir yang penuh romantisme masa
lalu yang basi.
Adakah
orang yang semalang Abu Tholib? Menjelang kematiannya, sang Nabi dengan
berlinang berjaga di samping kanannya dan terus berkata lembut, ”Wahai paman,
ucapkanlah Laa ilaaha illallooh,
maka engkau akan selamat,” tetapi Abu Tholib melirik ke atas dan ke kiri,
dimana Abu Lahab dan Abu Jahl yang memasang tampang seram mengulang-ulang
kalimat intimidatif, ”Apakah engkau menghina tuhan-tuhan kita, wahai Abu Tholib?
Apakah engkau hendak mengikuti anak muda ini dan meninggalkan warisan nenek
moyang kita yang agung? Apakah engkau hendak mengkhianati 'Abdul Mutholib?”
Akhir
yang menyedihkan pun terjadilah. Saat gumaman terakhir di bibir tua Abu Tholib
terdengar lemah, ”…tetap pada agama 'Abdul Mutholib. Tetap pada millah nenek moyang kita.”
“...dan
apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka, walaupun syaithon itu merayu
mereka ke dalam siksa api yg menyala-nyala?” (QS. Luqman:
21)
Abu
Tholib adalah korban nilai tradisi lepas dari pembelaan habisnya terhadap Sang
Nabi, keyakinannya bahwa sang keponakan berada di atas kebenaran, dan
perlindungan pada insan-insan beriman yang kelak meringankan adzab baginya. Ia
adalah korban dari propaganda tradisi. Hari ini, kita menyaksikan banyak korban
yang lain. Bedanya mereka dengan Abu Tholib adalah, bahwa Abu Tholib hanya
korban propaganda, tetapi Abu Lahab dan Abu Jahl adalah pengguna propaganda
untuk kepentingan sendiri. Sebagaimana ada banyak yang menggunakan propaganda Tenno-Amaterasu
untuk kepentingannya. Sementara para prajurit kamikaze Jepang yang rela
melakukan serangan bunuh diri itu, mereka adalah korban.
Dan
mengapa dalam film Tora! Tora!
Tora! kalah masyhur dibanding Pearl Harbor padahal dalam segi penggarapan dan
kualitasnya juga luar biasa? Karena ending-nya,
dalam Pearl Harbor, endingnya adalah keberhasilan
misi pemboman balasan Doolittle terhadap kota Tokyo. Artinya, Amerika yang
dicitrakan menang. Sementara Tora!
Tora! Tora! diakhiri segera
setelah keberhasilan penyerbuan Jepang ke Teluk Mutiara dengan ucapan salah
seorang Laksamana Jepang, ”Kita baru saja membangunkan raksasa yang terlelap!”
Bagaimana pun di film ini Amerika tercitakan sebagai pihak yang kalah. Makanya,
publik Amerika tak begitu mengapresiasinya.
Nah,
jika ending sangat menentukan, sudah saatnya
kita berorientasi masa depan, tempat dimana ending kita ditentukan. Surgakah
atau Nerakakah. Atau masih ada yang ingin bernyanyi “nenek moyangku orang berambut”?
“...apakah
demikian, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun,
dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Baqoroh:
170)[]
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar