Cinta adalah penyakit nikmat, yang kedatangannya
justru dinanti.
(Ibnu Hazm, The
Neck Ring of The Dove)
MARI sejenak
mengunjungi semenanjung Iberia. Di luar data bahwa kaum Muslimin hanyalah 8
persen dari total penduduk kekhilafahan ‘Umayyah di Andalusia, ternyata memang
komunitas Yahudi terampil dalam administrasi dan birokrasi. Maka jabatan administratif
yang mengelola kepentingan publik hampir seluruhnya diserahkan pada orang-orang
Yahudi.
Ibnu Hazm, ulama
besar madzhab Zhohiriyah itu, bersahabat
erat dengan Samuel ibn Nagrilla, Perdana Menteri ‘Umayyah yang sekaligus adalah
Nagid, pemimpin tertinggi komunitas
Yahudi. Tapi di akhir kisah, ketika Samuel Nagid berperan meruntuhkan khilafah
dan mengubah tata pemerintahan Andalusia menjadi thoifah, atau polis state,
yang masing-masing memiliki Sultan, beliau dirundung duka. Dan jadilah Ibnu
Hazm seorang pejuang pengembalian khilafah yang kesepian, dari penjara ke
penjara. Syair terkenal yang digubahnya untuk budak yang paling dicintainya,
mungkin juga adalah refleksi kenangannya tentang khilafah yang hilang di
Cordoba. Setidaknya itulah yang diyakini Maria Rosa Menocal dalam buku sejarah
lirisnya, Ornament of The World.
Tahun 1064
tercatat suram. Ibnu Hazm, pejuang khilafah yang kesepian itu wafat, sekira 50
tahun setelah penjarahan mengerikan yang menghancurkan Madinatuz Zahro. Istana-kota ini adalah pusat kekuasaan berkilauan
di atas bukit Cordoba yang seolah menjadi mahkota bersusun-susun bagi kota
termewah di seluruh dunia itu. Tapi, itulah wajah kita di Andalusia, pemimpin
dan pelayan ummat yang tidak kokoh.
Lalu mari ke tanah
air kita. Di keping-keping kesultanan Mataram di awal abad XIX, ada catatan
menarik tentang gerbang tol. Atau orang Jawa menyebutnya bandar. Di luar
berbagai faktor yang kita pertimbangkan menjadi penyebab perang Diponegoro 1825–1830,
mungkin bandar adalah gambaran paling kasat dari rakyat banyak atas apa yang kita
sebut kezholiman. Dan ternyata memang akar masalah pembauran dengan etnis
Tionghoa juga ada di sana; pemungutan pajak jalan di gerbang-gerbang tol itu
diserahkan pada etnis Tionghoa. Sekali lagi, itulah kita di sana; Sayidin Panotogomo
yang tidak kokoh. Maka etnis Tionghoa menjadi sasaran kebencian dalam perang
yang paling menyibukkan pemerintah kolonial itu. Hingga kini.
Koh Pin Lay, tentu
bukanlah nama salah seorang pemungut pajak Tionghoa itu. Meski kata “Koh”
sering kita pakai untuk memanggil mereka. Saya hanya mencoba menyingkat visi
kita; da’wah yang koKOH, memimPIN, dan meLAYani. Kokoh, pimpin, layani! Nah,
masalah kekokohan tentu solusi kuantitatifnya dengan merekrut kader. Dan solusi
kualitatifnya dengan membina kader. Tapi sudahkah pula kita bermental pemimpin
sekaligus pelayan? Karena prinsip amanah kita adalah sayyidul ummah, khoodimuhum; pemimpin suatu ummat adalah pelayan
mereka. Apa saja karakter kepemimpinan da’wah yang perlu kita miliki?
Silakan
berkenyang-kenyang dengan aneka ragam teori kepemimpinan. Saya hanya ingin
menambahkan catatan tentang kepemimpinan da’wah. Katakanlah itu kepemimpinan
yang memandu da’wah, bernilai da’wah, dan menginspirasi da’wah.
1. Menggenapkan an-Nafyu
dengan al-Itsbaat
Tentang kalimat Laa ilaaha illallooh, ‘ulama kita
membaginya menjadi an-Nafyu (penafian)
dan al-Itsbaat (penetapan). Nah,
sebagai ‘Abdulloh, kita menafikan
segala yang disembah selain Alloh, lalu menetapkan hanya Alloh saja yang punya haq untuk itu. Tetapi tauhid kita tak
berhenti sampai di situ. Sebagai Khalifah,
kita tak boleh berhenti sekedar menafikan sistem Barat, peradaban Barat, budaya
Barat, gaya hidup Barat, perlakuan Barat, dan seterusnya. Kita harus
melengkapkan tauhid itu, dengan memberi alternatif sistem, peradaban, budaya,
gaya hidup, perlakuan, dan seterusnya. Di situlah sifat dasar pemimpin; bukan
cuma mengutuk gelap, tapi menyalakan lilin.
Ini kisah tentang
Ibu Theresa. Ia lahir di Skopje, Albania, tanah yang juga telah menghadiahi
kaum Muslimin dengan muhaddits agung abad
ini, Muhammad Nashiruddin al-Albani. Jika Rosululloh pun mengakui keadilan
Anusyirwan, Kisra Persia yang bertahta seabad sebelum kelahiran beliau, maka
bagi saya, Agnes Maria Bojaxhiu –nama asli sang ‘Beata’- tetaplah misionaris paling mengagumkan. India menjadi
saksi kesuksesan ‘da’wah’-nya.
Cobalah sempatkan
menonton film Mother Theresa, In The Name of God’s Poor. Saya
menyeksamai secuplik adegan menarik di film ini. Ketika para Pandit dan masyarakat fanatik Hindu
berdemonstrasi menuntut pengusiran misionaris Ibu Theresa, kepala polisi pun
turun tangan. Ia menginspeksi kerja kemanusiaan suster itu di rumah sewaannya.
Ia melihat penderita kusta, para fakir, orang cacat, jompo, semua mendapatkan
perawatan dan pelayanan. Ia melihat sendiri bagaimana Ibu Theresa mengangkat
seorang berpenyakit menular ke pangkuannya, memandikannya, menyuapinya, dan
menyelimutinya. Ia lalu keluar menemui para demonstran yang masih
berteriak-teriak.
“Tenang semua!
Demi dewa, aku pasti akan mengusir wanita itu!”,” ia berkata penuh wibawa. “Aku
akan mengusir wanita itu jika isteri-isteri dan anak perempuan kalian telah
menggantikan dan menangani semua yang mereka kerjakan di panti ini! Salam!”
Nah, begitupun
kira. Dalam hal paling sederhana, da’wah bukanlah yang mengutuk kristenisasi
bermodal mie instan, apalagi menyalahkan mereka yang membutuhkan mie instan.
Kepemimpinan da’wah menjawab lebih dari sekedar, “Mengapa iman bisa ditukar mie
instan?”, tapi, “Bagaimana agar hal itu tidak terjadi?” dan bahkan, “Bagaimana
mencukupkan gizi bangsa, hingga orang tak lagi makan mie instan?”
2. Menggenapkan Skill Manajerial dengan Tawadhu’
Seorang pemimpin,
simpul Mohammad Fauzil ‘Adhim dalam Da’wah
yang Mengubah, Kepemimpinan yang Memberdayakan, melihat yang tak terlihat,
mendengar yang tak terdengar. Pemimpin menemukan ‘jalan’. Pemimpin
menggabungkan titik-titik potensi, mengetahui yang terpenting untuk mereka.
Pemimpin menyambungkan segenap kekuatan. Pemimpin menyadari kekuatan dan
menghargai kekuatan. Pemimpin melihat yang lain, pemimpin mampu melihat celah
kesempatan. Wah, siapa mau jadi pemimpin? Oh, sungguh setiap kita adalah
pemimpin, kata sang Nabi. Dan tak sampai di situ. Kita juga bertanggungjawab.
Maka skill manajerial seorang pemimpin memang
seharusnya dimiliki tiap orang. Apa saja itu? Masing-masing punya teori. Rosululloh
datang membawa motivasi, tawaran surga dan neraka. Lalu mendidik para sahabat
dalam tarbiyah yang intens. Lalu menginstruksi mereka untuk hijrah dan
berjihad. Beliau melakukan syuro
dalam menghadapi persoalan-persoalan berat. Dan yang terpenting, beliau adalah
inspirasi yang tak pernah habis. Motivating, educating, instructing discussing, dan inspiring. Selebihnya? Tawadhu’.
Bayangkan bahwa
Anda adalah seorang ibu tua berpendidikan rendah yang tinggal di pelosok hingga
Anda sama sekali belum pernah mendengar tentang PKS. Suatu hari, pelayanan
kesehatan partai da’wah ini hadir di dekat Anda. Maka Anda pun bertanya pada
petugas yang sedang mengukur tekanan darah Anda, “Mbak, ini yang menyelenggarakan
pengobatan gratis dari mana to?”
“Ini dari PKS, Bu!”
jawab si Mbak sambil tetap sibuk dengan tensimeternya.
“Lha PKS itu apa
to?”
“PKS itu ya yang
jelas beda dengan PKU!”
Dinilai dari sisi
manapun, jawaban ini bukan jawaban seorang da’i, bukan seorang pelayan ummat,
apalagi pemimpin. Bahkan bukan jawaban orang yang bisa menjawab pertanyaan.
Gajah itu apa to? Oh, gajah itu bukan kudanil. Menyedihkan, tapi mungkin pernah
terjadi. Dengan jawaban ini, sang ibu tak menjadi tahu tentang PKS, dan jadi
takut bertanya lagi karena merasa terbentak. Terlebih lagi unsur dengki dalam jawaban
itu mengundang murka Alloh dan murka manusia. Jawaban yang tidak cerdas dan
berefek menjauhkan manusia dari da’wah ini, tentu berawal dari akhlaq yang error.
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya
Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs.
Luqman [31]: 18-19)
Bahkan, Alloh
menegur ekspresi ringan semacam mimik wajah, cara berjalan, dan gaya bicara,
jika itu semua menunjukkan keangkuhan dan menjauhkan manusia dari da’wah. Rosululloh
mulia sebagai da’i, bukan karena mengatakan “Abu Jahl nggak bisa kan merawat
anak yatim kayak kamu?!” Tapi Syaikh Shofiyurrohman al-Mubarokfury dalam ar-Rohiiqul
Makhtuum mencatat, “Beliau bicara dengan ekspresi yang penuh. Tidak menoleh
kecuali dengan seluruh badan. Penuh perhatian untuk mendengarkan. Memberi
penekanan dengan memukulkan ibu jari kanan pada telapak tangan kiri. Berjalan
dengan cepat seolah bumi dilandaikan.”
Kalau manusia
lemah dan tertindas lalu ia tawadhu’, mungkin memang begitu meski seharusnya ia
melawan penuh ‘izzah. Tapi ketika dia
berada di puncak sebuah piramida kepemimpinan, tawadhu’ jadi tantangan. Seperti
kata Solon, pemimpin demokrasi Athena itu saat ia mengundurkan diri, “Kepemimpinan
yang didukung penuh rakyat seperti ini memang manis. Tapi aku takut, tak ada
jalan turun.”
Suatu saat di masa
kepemimpinannya, ‘Umar menemui kaum Muslimin di masjid dengan wajah yang tidak
seperri biasa. Ada gurat aneh, ada air muka yang memasam, ada sorot mata yang
gundah. “Apa yang kau gelisahkan wahai Amirul Mu’minin, sedang kaum Muslimin hidup
dalam ketenteraman di bawah keadilanmu?”, tanya seseorang. Beliau menjawab, “Aku
tidak mengkhawatirkan kaum Muslimin. Yang aku khawatirkan justru, ketika tak
ada lagi yang mengingatkanku di kala aku khilaf karena rasa sungkan dan rasa
segan!”
“Demi Alloh!”,
kata seorang sahabat sambil menghunus pedangnya, “Jika engkau bengkok, kami
yang akan meluruskanmu dengan pedang ini!”
“Segala puji bagi
Alloh”, tukas ‘Umar, “Yang mengaruniakan pada ‘Umar orang yang akan
meluruskannya dengan pedang!”
***
Koh Pin Lay.
Mungkin mengingatkan Anda akan Zu Qou Ghu
yang ditulis KH. Rahmat Abdullah. Maka di sinipun saya ingin mengenang Syaikhut Tarbiyah dengan mara yang
basah, rindu akan keteduhan wajah itu. Saya mengenangnya dalam sajak ketawadhu’an,
dalam taujih pada para pemimpin da’wah. Pada semua da’i. Pada kita.
Jadilah kau bintang
Berkilau dipandang orang
Di atas riak air,
dan sang bintang jauh tinggi[]
Credit:
“Saksikan bahwa Aku SeorangMuslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar