Senin, 27 April 2015

Menjadi Orang Besar

Jama’ah yang Alloh muliakan,
Kita semua bisa menjadi orang besar. Kita semua bisa menjadi seperti para orang tua, para guru, para pejuang, para pahlawan yang telah meninggalkan jejak kehidupannya penuh nilai itu. Kita semua bisa menjadi seperti mereka yang telah melukis perjalanan hidupnya dengan penuh prestasi. Karena sesungguhnya kita mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi seperti mereka. Karena kita sebenarnya mempunyai kemampuan untuk memahat hidup ini dengan sangat indah, seperti yang kita mampu dan kita inginkan.

Ingatlah, saudaraku...
Hidup ini tidak mungkin dan tidak pernah sia-sia, bagaimanapun keadaan kita. Merasa sia-sia dalam hidup adalah salah satu perasaan yang selalu ditumbuhsuburkan oleh syaitan, yang ingin kita tidak berkutik, mati, dan tidak mampu melihat banyak kebaikan. Sama saja seperti bisikan jahatnya saat kita merasa sia-sia dan merasa percuma bertaubat kepada Alloh lantaran sudah terlampau banyak dosa. Atau merasa percuma melakukan ketaatan karena malu dengan tumpukan dosa yang sudah terlalu banyak dilakukan. Sama dengan perasaan kita, tak mempunyai apa-apa yang bisa disumbangkan dalam kehidupan yang baik, lantaran keadaan kita sangat jauh lebih buruk daripada orang lain. Perasaan-perasaan ‘mati’ seperti itulah yang membuat kita takluk dan tidak mampu meraba banyak sekali kebaikan yang Alloh berikan di hadapan kita.

Semoga Alloh merahmati seorang buta dari sahabat Rosululloh saw yang tetap memaksa ingin ikut berjihad bersama Rosululloh. Ketika para sahabat mengatakan, bahwa Alloh telah memberi rukhshoh (keringanan) kepadanya untuk tidak berjihad karena kebutaannya, ia dengan tegas hanya mengatakan, “Uriidu an ukatsiro sawadal muslimin”, aku hanya ingin memperbanyak titik hitam pasukan kaum Muslimin. Maksud “titik hitam” adalah bayangan pasukan kaum Muslimin saat mereka dilihat oleh pasukan musuh dari kejauhan. Hanya titik hitam. Sekali lagi, hanya titik hitam. Itulah kemampuannya. Itulah yang benar-benar ia sumbangkan kepada agamanya. Itulah yang kemudian mengangkat derajatnya di mata Alloh swt. Itulah tahap prestasi hidupnya yang menjadikan kisah dan peran hidupnya diingat orang lain. Bukan fisiknya dan bukan keadaan lahirnya.

Maka sebenarnya tak ada keadaan yang bisa menjadi tembok penghalang bagi kita untuk menjadi orang-orang besar.

Jama’ah yang Alloh muliakan,
Yakinlah bahwa bagaimana pun penampakan dan kondisi lahir adalah urusan manusia yang sama sekali tak menjadi prestasi hidup kita sebenarnya. Dahulu, ketika orang memandang Imam An-Nawawi, umumnya mereka akan menduga Imam Nawawi sebagai orang fakir miskin berasal dari desa dan layak diacuhkan. Namun ketika Imam Nawawi mulai bercerita dan menyampaikan ilmunya, orang-orang mulai takjub kepadanya, seperti menyaksikan sebuah berlian yang tersingkap di hadapan mereka. Kecerdasannya, sifat zuhud, dan takwa yang begitu melekat pada dirinya.

Jama’ah yang Alloh muliakan,
Tanah yang tampak kotor bisa jadi merupakan tempat tersimpannya bongkahan emas. Hanya saja kita sekarang sering tertipu dan mengikuti arus penilaian keindahan melalui penampilan. Bertepuk tangan dan memuji orang yang berpenampilan bagus dan menutup mata tentang apa yang ada di balik penampilan orang tersebut. Ingin menjadi sosok yang dikagumi karena penampilan dan melupakan apa yang terjadi di balik penampilan yang menarik itu. Padahal berapa banyak orang yang secara lahir begitu mengesankan, namun perasaan orang itu kering, hatinya kusam, pikirannya kalut, dan bingung.

Dengarkanlah dialog yang pernah terjadi antara ‘Umar ibn Khoththob ra dengan Abu ‘Ubaidah ibn Jarroh. Ibnu Syihab bercerita bahwa suatu saat ‘Umar ibn Khoththob berangkat menuju Syam bersama dengan Abu ‘Ubaidah ibn Jarroh. Namun, mereka terhadang arus sungai. ‘Umar kemudian turun dari untanya, melepaskan alas kaki dan menggantungkannya di bahu. Kemudian ia memegang tali kekang untanya dan menyeberangi sungai itu.

Melihat hal tersebut, Abu ‘Ubaidah berkata, “Wahai Amirul mukminin, kenapa engkau melakukan hal itu? Menanggalkan alas kaki dan meletakkannya di atas bahumu lalu engkau berjalan dengan untamu menyeberangi parit itu? Aku kira penduduk tidak akan memuliakanmu karena apa yang engkau lakukan itu.” ‘Umar berkata, “Ya Abu ‘Ubaidah, andai saja bukan engkau yang mengucapkan itu, niscaya aku akan menghukummu sebagai pelajaran bagi umat Muhammad. Sesungguhnya kita dahulu adalah kaum yang hina lalu Alloh memuliakan kita dengan Islam. Andai kita mencari kemuliaan di luar kemuliaan yang Alloh berikan, niscaya ia akan menghinakan kita.”

Jama’ah yang Alloh muliakan,
Kebesaran itulah yang disampaikan oleh Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam sebuah nasihatnya. Menurut Ibnul Qoyyim, kebesaran dan kemuliaan seseorang diukur dari tingkatshiddiqnya dalam beribadah. “Jadilah engkau orang yang shiddiq dalam beribadah. Jika Alloh dan Rosul-Nya ada di satu sisi, berhati-hatilah agar kita tidak berada di sisi yang lain... Jadilah engkau orang yang selalu berada di sisi di mana Alloh dan Rosul-Nya berada disana meski seluruh manusia ada di tepi yang berbeda.”

Dalam kitab Al-Fawa’id ia menguraikan, kita harus mengantisipasi kondisi bahwa kebanyakan manusia pasti akan berada di sisi yang berbeda dari sisi keberadaan Alloh dan Rosul-Nya. “Kebanyakan manusia berada di sisi yang berbeda, apalagi jika kesenangan dan keinginan semakin menguat bisa saja engkau tidak mendapati seorang pun yang berada di sisi keberadaan Alloh dan Rosul-Nya. Sedangkan orang yang berada di sisi Alloh dan Rosul-Nya bisa dianggap kurang akal, salah memilih, hingga menganggap mereka tidak waras. Seperti itulah warisan perkataan yang ditinggalkan musuh para Rosul.”

Jama’ah yang Alloh muliakan,
Kita bisa menjadi orang besar itu. Selama kaki kita berpijak di jalan Alloh dan Rosul-Nya. Hidup ini, sejak lahir sampai mati, adalah rantai perjuangan yang semakin lama semakin sulit dan tidak bisa kita hindari.

Tapi sesungguhnya kebesaran hidup kita akan terbentuk lewat perjuangan kita menghadapi rintangan dan tantangan yang semakin sulit itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar