Rabu, 29 April 2015

Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam

KETIKA orang-orang musyrik mempertanyakan, mengapa risalah tidak diturunkan kepada dua intelektual besar zaman itu, dua orang paling terpelajar, dua orang yang pantas bergelar cendekiawan: al-Walid ibn al-Mughiroh dari Makkah atau Mas’ud ibn ‘Amr ats-Tsaqofi dari Thoif?

Mereka berkata, “Mengapakah al-Qur’an ini tidak diturunkan pada seorang besar dari dua negeri (Makkah dan Thoif) ini?” (Qs. az-Zukhruf: 31)

Alloh memberi jawaban telak, yang kalau diakui jujur tak bisa dibantah bahwa memang hanya Muhammad yang pantas!

“… Alloh lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerosulan…” (Qs. al-An’am: 124)

“Sepuluh tahun aku tinggal di rumah Rosululloh, dan selama ini aku belum pernah mendengar kata-kata kasar dan pertengkaran.” Kesaksian Anas ibn Malik ini boleh jadi menjadi gambaran umum dari perihidup manusia paling mulia sepanjang zaman itu.

Beliau orang besar, tak ada yang membantah. Yatim seketika sejak lahirnya, lalu hidup di pedesaan Bani Sa’d yang penuh kesegaran dan kesantunan. Persusuan itu memberi makna yang lebih dari sekedarnya. Lalu ia kembali ke asuhan ibunda. Hanya sesaat, lalu ia piatu. Sang kakek membawa kanak-kanak ini ke inner circle pemerintahan Quroisy. Itu pun, lagi-lagi, tak lama. Hingga ia dibawa berkenalan oleh paman termiskinnya ke dunia nyata; menggembala kambing untuk melanjutkan hidup. Jauh dari hingar-bingar politik, tapi imajinasinya membangun sebuah ‘kepemimpinan’ pada kambing-kambingnya seperti yang ia saksikan saat kakeknya mengelola Makkah.

Di usia dua belas tahun ia menjadi ‘manajer unit usaha internasional’ Abu Tholib sampai ke Syam, dan dialah sales yang menjadi kunci sukses kafilah dengan kejujurannya. Usia duapuluhan dia menjadi pengelola utama bisnis besar yang diinvestasikan Khodijah. Dia, entrepreneur dengan sifat nabawi; shiddiq (jujur), amanah (kapabel), fathonah (smart), dan tabligh (informatif); sifat-sifat yang kini dirujuk teori entrepreneurship modern.

Beliau seorang panglima, administrator militer yang tak ada bandingannya dalam sejarah. Sepuluh tahun di Madinah, 30-an ghozwah beliau pimpin sendiri di samping 300-an sariyah (detasemen) yang beliau bentuk dan berangkatkan. Dari segi jumlah ini saja, Napoleon Bonaparte kebanggaan Eropa, George Washington ataupun Simon Bolivar-nya Amerika Latin tak ada seujung kukunya.

Adakah orator dengan daya tahan sekaligus daya mempertahankan massa seperti beliau? Menjelang wafat, beliau pernah berkhuthbah setelah shubuh sampai zhuhur, dilanjutkan lagi sampai ashr, lalu dilanjutkan lagi sampai maghrib tanpa seorang pun bosan, tertidur, mengantuk, ataupun bersuara kecuali untuk memenuhi seruan beliau. Bahkan, sebagaimana dituturkan Tsauban dalam haditsnya, para shohabat begitu terbawa suasana sendu, semua mencucurkan air mata, seolah khuthbah itu merupakan salam perpisahan dari sang kekasih tercinta. Saya ragu, apakah Soekarno dan Napoleon III mampu menyamainya.

Beliau adalah pemimpin negara, yang saat mengimami sholat atau memimpin perjalanan jauh sempat bertanya, “Di mana si Fulan? Mengapa ia tak tampak?” ‘Urwah ibn Mas’ud ats-Tsaqofi yang menemui beliau bersaksi, “…Demi Alloh, aku pernah menjadi utusan untuk menemui para raja, Caesar dan Kisra. Demi Alloh, tidak pernah kulihat seorang raja yang diagung-agungkan rekan-rekannya, seperti yang dilakukan rekan-rekan Muhammad terhadapnya…”

Bentuk keagungannya berbeda dengan Kisra Persia dan Caesar Romawi. ‘Umar pernah menangis menyaksikan beliau tidur beralas tikar kulit kasar yang dijalin rerumputan, alas yang membuat punggung beliau berbekar bilur. “Sungguh, ya Rosululloh, Kisra dan Caesar bertelekan di atas bantal dan permadani suteranya, pelayan pun hilir mudik menyediakan keperluannya, sementara kedudukanmu di sisi Alloh jauh lebih mulia…,” keluh ‘Umar. Ini salah satu keluhan yang kurang beliau sukai, tapi dengan senyum termanis yang pernah disaksikan dunia, beliau jelaskan pada shohabat yang selalu bersemangat ini, “Apakah engkau tidak ridho mereka mendapat dunia sedang kita menyimpan akhirat, wahai Ibnul Khoththob?”

Beliau memang penguasa yang kekuasaannya tak kalah dengan Kisra dan Caesar, tentu beliau layak sejajar dengan mereka dalam fasilitas. Tapi yang beliau kuasai tak cuma wilayah, rakyat, dan tentara. Yang beliau taklukkan adalah hati, untuk diseru bersama dan berpadu, mengesakan Alloh, Ilah yang Satu.

Beliau adalah negosiator paling brilian, sengketa Hajar Aswad dan Hudaibiyah adalah sedikit kiprahnya. Beliau juga melakukan korespondensi yang berani dengan menyurati penguasa-penguasa di zamannya termasuk Kisra, Caesar, Najasyi, dan Muqoiqus.

Syaikh Shofiyurrohman juga menyebutkan dalam ar-Rohoqul Makhtum-nya bahwa beliau, “…Mengetahui logat masing-masing, berbicara dengan setiap kabilah Arab menurut logat masing-masing, berdialog dengan mereka menurut bahasa masing-masing. Ada kekuatan pola bahasa Badui yang cadas berhimpun pada dirinya, begitu pula kejernihan dan kejelasan cara bicara orang yang sudah beradab…”

Di balik kebesarannya, ada bayangan kebesaran lain yang nyata sempurna dalam hidup kesehariannya. Beliau adalah suami, ayah, tetangga, juga teman duduk dan rekan seperjalanan.

Beliau adalah suami yang sempat mengajak isteri balap lari. Atau meredakan kecemburuan sang isteri dengan memencet hidungnya. Beliau membiasakan panggilan Khumairo (yang kemerahan roman mukanya), ‘Aisy (‘Aisyah kecil) dan panggilan sayang lainnya di dalam rumah. Bahkan ia wafat dalam pelukan –sambil berciuman sampai air ludah menyatu- dengan isteri tercinta. Di sela masa sibuk memimpin kaum muslimin, beliau sempat menambal baju, membersihkan terompah, bahkan menggiling gandum dan memerah susu untuk santapannya.

Tidak kaku, begitu luwes pemimpin besar ini menjadi ayah yang menimang Ibrohim sang putera. “Lihatlah, ‘Aisy. Bukankah Ibrohim mirip denganku?” tanyanya suatu ketika. Saat Ibrohim dipanggil Alloh pun beliau, dalam posisi sebagai ayah yang penyayang, mengatakan, “Mengalir air mata bersedih hati, namun kami tak mengatakan yang Alloh murkai…, dan sungguh dengan kematianmu, wahai Ibrohim, kami begitu bersedih…” (HR. Muslim)

Tetangganya begitu tenteram, aman dari gangguan tangan dan lisan sebagaimana yang ia sabdakan. Bahkan unik, saat ia dimusuhi di Makkah, sampai saat ia hijroh, penduduk Makkah, musuh yang ingin membunuhnya pun masih percaya untuk menitipkan barang-barang miliknya pada beliau sehingga ‘Ali harus ditinggal untuk mengembalikannya. Al-Amin, gelar yang tak sekedar gelar…

Beliau adalah teman duduk yang mengasyikkan, candanya tak pernah berbumbu dusta. “Wahai pemilik dua telinga!” panggilan paling lucu di Arab yang membuat shohabat tergelak ini pernah beliau serukan pada az-Zubair. Penampilan beliau begitu sederhana, tak ingin berbeda dari shohabatnya. Tetapi tetap saja beliau selalu rapi, wangi, dan menyejukkan mata. Beliau tidak suka orang-orang berdiri menyambut kedatangannya, beliau yang paling awal menjenguk orang sakit, duduk bersama kaum miskin, dan memenuhi undangan budak sahaya.

Beliau juga temans eperjalanan yang menyenangkan. Ketika tiba saat menyembelih domba dan yang lain berkata, “Akulah yang akan mengulitinya”, “Akulah yang akan memasaknya”, maka beliau akan segera mencari celah untuk berperan, misalnya berkata, “Akulah yang akan mengumpulkan kayu bakarnya.”

Pemimpin besar ini, amat besar rasa malunya melebihi gadis dalam pingitan. Kalau dalam kepungan Ahzab para shohabat hanya mengganjal perutnya dengan satu batu, beliau mengganjal perutnya dengan dua batu. Tapi di saat itulah, di saat keadaan paling genting, ketika Madinah terjepit menunggu sapuan pasukan sekutu ‘Ahzab’, beliau adalah orang yang paling tenang dan menenangkan, bahkan memberikan motivasi dengan sesuatu yang ‘mustahil’ menurut pertimbangan akal.
Al-Barro’ ibn Adzib menceritakan hari-hari sulit dalam penggalian Khondaq, “Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal itu kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, “Bismillah…”, kemudian beliau menghantam tanah keras itu sekali hantam hingga muncul percikan api.

Allohu Akbar! Aku diberi kunci-kunci Syam. Demi Alloh, aku benar-benar melihat istananya yang bercat merah saat ini”. Lalu beliau menghantam bagian tanah keras yang lain, dan kembali bersabda, “Allohu Akbar! Aku diberi tanah Persia. Demi Alloh, aku dapat melihat istana Mada’in yang berwarna putih saat ini.” Dan yang ketiga kalinya beliau bersabda, “Allohu Akbar! Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Alloh, dari tempat ini aku bisa melihat pintu gerbang-pintu gerbang Shon’a!”

Begitulah… Kemuliaan tak pernah jemu mengiringi setiap langkah Rosululloh sejak sebelum nubuwwah. Lalu apa sebenarnya yang didustakan oleh kaum musyrikin dari beliau? At-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Ali bahwa Abu Jahl pernah mengatakan, “Wahai Muhammad, kami tidak mendustakan dirimu. Tapi kami mendustakan apa yang engkau bawa!”

“Mereka sebenarnya bukan mendustakanmu, tetapi orang-orang yang zholim itu mengingkari ayat-ayat Alloh.” (Qs. al-An’am: 33)

Tapi tak pelak, risalah tauhid yang dibawanya, risalah yang menjadi tentangan musyrikin jahiliyah ini, menyentuh sisi empatik kemanusiaan, sisi yang kemudian begitu menarik perhatian, memikat jiwa-jiwa yang lelah melihat kezholiman. Mereka telah menemukan seorang mulia, seorang mulia yang sangat menginginkan keimanan sebagai jalan keselamatan bagi mereka.

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rosul dari kalanganmu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Qs. at-Taubah: 128)

Tentu saja, beliau bisa mengayomi kaum lemah karena beliau merasakan penderitaan mereka. Tentu juga beliau bisa menyuruh orang-orang kaya berderma karena beliau pun melakukannya lebih dari mereka. Al-Amin, gelar tak sekedar gelar…

“Muhammad itu utusan Alloh. Dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang di antara sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Alloh dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat mereka dalam Taurot dan sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanamannya kuat lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Alloh hendak membuat jengkel hati orang-orang kafir. Alloh menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengajarkan amal sholih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Qs. al-Fath: 29)

Konstantinopel, ibukota kekaisaran Romawi Timur yang semula tenang, gempar oleh berita munculnya seorang Nabi di tengah Jazirah Arab. Nabi itu telah berani mengirim surat pada penguasa imperium, Heraclius Caesar berisi ajakan masuk agama ‘baru’. Surat itu dibawa oleh duta khusus, ‘Abdulloh ibn Hudzafah as-Sahmi. Saat itu, ketepatan Abu Sufyan ibn Harb yang masih musyrik, pemimpin Makkah, sekaligus pemimpin perlawanan terhadap da’wah sepeninggal Abu Jahl sedang berada di kota itu. Heraclius memanggilnya untuk ditanyai sebagai orang yang paling dekat kekerabatannya dengan Rosululloh. Satu kemuliaan akhlaq Abu Sufyan yang ditunjukkannya saat itu adalah kejujuran Abu Sufyan begitu terus terang dan jujur menjawab pertanyaan yang diajukan padanya.

Bagian akhir dari hadits Abu Sufyan yang panjang itu merangkum pembicaraannya dengan Heraclius. Kata Heraclius, “Aku sudah menanyakan kepadamu tentang nasabnya, lalu engkau katakan bahwa dia adalah orang yang terpandang di antara kalian. Memang begitulah para Rosul diutus pada suatu nasab dari kaumnya.

Aku sudah menanyakan kepadamu apakah pernah ada seseorang di antara kalian sebelumnya yang mengatakan seperti yang dikatakannya? Lalu engkau mengatakan tidak ada. Andaikan ada, tentu kukatakan bahwa memang ada orang yang meniru-niru perkataan yang pernah disampaikan sebelumnya.”

Heraclius berkata lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja? Engkau katakan tidak ada! Kalaupun ada di antara nenek moyangnya yang menjadi raja, tentu akan kukatakan bahwa memang ada di sana seseorang yang sedang mencari-cari kerajaan bapaknya!”

Heraclius kemudian mengatakan, “Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah kalian menuduhnya pembohong sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya? Kalian katakan tidak. Memang aku tahu, dia tidak mungkin berdusta terhadap manusia dan terhadap Alloh.

Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah yang mengikutinya orang-orang terpandang atau orang-orang yang lemah? Engkau katakan orang-orang lemahlah yang mengikutinya. Memang, begitulah pengikut para Rosul.

Aku sudah menanyakan kepadamu, adakah seseorang yang murtad dari agamanya karena benci kepada agamanya itu setelah memasukinya? Engkau katakan tidak ada. Begitulah kalau iman sudah merasuk ke dalam hati. Aku sudah menanyakan padamu, apakah ia pernah berkhianat? Engkau katakan tidak pernah. Memang begitulah para Rosul yang tak pernah berkhianat.

Aku menanyakan kepadamu tentang apa yang ia perintahkan. Engkau katakan, bahwa dia menyuruh kalian untuk menyembah Alloh, tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, dan melarang kalian menyembah berhala. Menyuruh kalian mendirikan sholat, bershodaqoh, dan menjaga kehormatan diri.

Jika yang engkau katakan ini benar, maka dia akan menguasai tempat kedua kakiku berpijak ini. Jauh-jauh sebelumnya, aku sudah menyadri bahwa orang seperti dia akan muncul, tapi aku tidak menduga bahwa ia akan muncul dari kalangan kalian. Andaikan aku bisa bebas bertemu dengannya, andaikan aku berdiri di hadapannya, tentu akan kubasuh kedua telapak kakinya.” (Muttafaq ‘Alaih, Bukhori 1/4, Muslim 2/98-99)

Sayang sekali, Heraclius khawatir kehilangan kekuasaan. Saat mengumpulkan para uskup untuk membahas surat Rosululloh, ia menawarkan agama ‘baru’ itu kepada hadirin. Tetapi tentangan sedemikian keras, semua uskup mengancam akan mencabut legitimasi kekuasaannya jika hal itu sampai terjadi. Ruangan menjadi begitu gaduh, sampai Abu Sufyan yang ada di luar pun mendengarnya. Tetapi dengan hipokrit, Heraclius lalu berkata, “Tenang semuanya. Aku hanya ingin tahu apakah kalian masih teguh memegangi agama Nashrani. Ternyata kalian masih setia seperti halnya diriku. Puji Tuhan.”

Terpadam api biara Majusi
Runtuhlah istana Kisra Parsi
Makkah diterangi cahaya putih
Tanda lahir Nabi anak yatim
(Raihan & Now See Heart: Nabi Anak Yatim)

Kepada semesta ia membawa Risalah al-Qur’an, Kalamulloh yang dinuzulkan berangsur sejak dari ‘bukit cahaya’, Jabal Nur. Di malam qodar yang mengungguli seribu bulan, menggemakan iqro’ menjadi tonggak peradaban, menyemaikan kata cinta, adil, setara, taat, merdeka, hak asasi, dan seterusnya.

Di balik selimut ia ditegur Surat al-Mudatstsir untuk berdiri dan memberi peringatan. Menjadi koreksi atas kerahiban yang memadamkan gairah hidup dalam pengaburan makna kesholihan suci serta penipuan atas nama Tuhan oleh para cerdik. Ia ajarkan kemuliaan perempuan yang begitu besar karena pengorbanan mereka sejak hamil sampai membesarkan generasi, menjadi mitra penenteram kehidupan laki-laki, dari galau dan gelisahnya, madrasah utama sebelum bangunan-bangunan tak bernyawa menjadi strata lanjut pendidikan buah hatinya.

Islam –risalah yang ia bawa-, mengejutkan dunia dengan mengajari bangsa buta huruf, yang miskin, penggembala kambing, yang hanya punya tetandusan. Dari kedekilan dan kedegilan menjadi bangsa yang bersih, suci, cerdas, dan mengajari dunia tentang kesetaraan, kemerdekaan, dan hidup dalam standar tinggi. Islam hadir, dengan setiap huruf Ilahiyahnya, memberikan kemuliaan pada jiwa, akal, ruh, darah, dan jasad manusia.

Ia tak hanya menggaung di angkasa jauh. Ia datang. Ia hadir. Ia menemui setiap insan Muslim di rumahnya, di dalam biliknya, mengajaknya bicara –hati ke hati- menuntunnya mengamal, merasai nikmatnya hidup di naungan ayat-ayat Alloh. Mereka menghayati betapa nikmatnya ketika ragam persoalan hidup yang senantiasa membuntukan akal dijawab Islam. Memuaskan. Mereka tersenyum. Tak perlu lagi bingung menduakan dunia dan akhirat. Mereka tertawa, tak lagi merancukan hak Alloh dan hak manusia. Mereka bersujud, mendekati Alloh di keheningan. Dan mereka membukakan tangan, mencari ridho-Nya di keramaian.

Mereka mentaat dalam hati yang hangat, ketika Alloh dan Rosul telah mengikat. Mereka berlari penuh motivasi, mengejar inovasi mengelola nikmat-nikmat Ilahi. Maka gemuruhlah Makkah dan Madinah oleh lantunan takbir dan talbiyah, ketika sunyi membungkam Roma dan Konstantinopel dalam kekakuan dogma. Maka hangatlah diskusi-diskusi di Bashroh dan Kufah, saat Genoa dan Venesia dihantui inkuisisi. Maka bersinarlah perpustakaan Kairo, ketika para dukun komat-kamit di kegelapan Lissabon. Maka gemerlaplah Baghdad oleh lantunan ayat di semarak malam, ketika Paris gulita sejak senja dalam takhayul dan mitos. Maka gemericiklah air mancur Damaskus dalam kesucian thoharoh ketika para ‘bangsawan’ di London menganggap mandi adalah aktivitas berbahaya. Maka berdengunglah ayat-ayat Alloh menjelang buka puasa dengan sajian kurma, serta buah segar di balkon-balkon pualam Cordoba dan Granada, saat Katedral di Wina dan Bern menutup makan malam dengan pudding darah babi.

Mereka menyelami lautan karunia Alloh dengan kejernihan tahmid, kebeningan syukur, dan kemurnian pengabdian. Mereka mengarungi titis-titis musibah dengan percik-percik sabar, kelembutan qona’ah, dan harmoni tawakkal. Bukankah kehidupan ini rasanya hanya nikmat dan musibah? Bukankah iman itu memang setengahnya adalah syukur, dan separonya adalah sabar? Bukankah dua-duanya menjadi terasa nikmat? Bukankah dua-duanya membuat Alloh, ridho-Nya, dan surga kian dekat?

Pendeknya, kata Leopold Weiss dalam The Road to Mecca, Islam memberikan rangsangan yang luar biasa dahsyat demi menyelesaikan kultural yang menyusun salah satu dari halaman-halaman sejarah paling membanggakan dalam tarikh ummat manusia. Dan, katanya, rangsangan itu diperoleh dengan mengatakan ‘ya’ pada akal, dan ‘tidak’ pada belenggu-belenggu. ‘Ya’ untuk tindakan, dan ‘tidak’ bagi kemalasan. ‘Ya’ bagi kehidupan agamis, dan ‘tidak’ untuk kerahiban. []

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar