“Dulu, kita beranggapan
bahwa ummat ini,
sudah berada di
dasar sebuah jurang yang sangat dalam;
tiada Iagi kerusakan
lebih hebat yang akan menimpanya.
Tetapi justru dasar
yang dalam ini membuka mulutnya;
menjerumuskannya ke
dalam terowongan yang tak berujung.”
(Safar AI-Hawali,
Wa’du Kissinger)
Perang
Teluk pasca invasi Saddam Hussein ke Kuwait, mungkin adalah mushibah terbesar ummat
Islam setelah runtuhnya naungan Kesultanan ‘Utsmaniyah. Sejak saat itu, dicatat
oleh Safar Al-Hawali dalam bukunya, hegemoni AS di Timur Tengah seolah tak akan
tergeser selamanya. Jumlah pangkalan militernya meningkat pesat, infiltrasi budayanya
begitu kuat, ekonominya tak tertawar, dan pengaruh politiknya terasa dalam hembusan
nafas semua penguasa Teluk. Yang paling berbahaya; perang pemikiran terhadap gerakan
da’wah memasuki fase baru.
Satu
gejala paling menarik tampaknya justru harus kita ambil dari yang paling sederhana.
‘Abduh Zulfidar Akaha, penulis buku Siapa Teroris Siapa Khowarij, mencermati bahwa
gelar Asy- Syahid bagi tokoh da’wah agung semisal Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb,
dan ‘Abdullah ‘Azzam sebelum perang Teluk seakan adalah ijma’ tak terbantah. Gelar
itu baru dipermasalahkan setelah kehadiran Amerika secara massif di Teluk
sekitar tahun 1991. Ya, itu berarti juga setelah fatwa berimplikasi paling menyedihkan
dari Haiah Kibaril ‘Ulama di Saudi
Arabia; bolehnya isti’anah -meminta pertolongan kepada orang kafir-, sebagai
genderang dimulainya pecah belah para ‘ulama dan tribulasi baru bagi gerakan da’wah.
Tak
ada yang perlu disesali. Jika ada dua hal saja yang harus dilakukan oleh sebuah
gerakan, maka itu adalah mengguncang dan mengubah. Dan gerakan kontra-da’wah telah
melakukannya dengan start yang
cerdas: Perang Teluk. Gerakan da’wah pun telah menunjukkan survival intelligence yang sangat tinggi. Luar biasa. Tak hanya
bertahan, ia justru makin subur meski hama pun tak terelak kadang ikut tumbuh. Maka
musuh da’wah terpaksa harus membuat lagi satu grand design baru. Dengan start baru:
11 September 2001. Dan gerakan da’wah tak mati-mati.
Ya,
gerakan da’wah selama ini masih dalam fase ‘bertahan’. Kapan giliran baginya untuk
memegang kemudi lalu mengguncang dan mengubah? Dalam sejarah da’wah Rosululloh,
fase itu dimulai dengan kata-kata beliau di perang Khondaq, “Mulai sekarang, kitalah
yang akan menyerang mereka. Dan mereka takkan mampu menyerang kita lagi!” Tetapi
mengubah, apalagi mengguncang, sebagaimana dicontohkan Rosululloh, tidaklah menunggu
setelah Perang Khondaq. Mengguncang dan mengubah adalah ruh gerakan yang terus dinyalakan
selama perjuangan. Mengguncang dan mengubah harus terus dilakukan. Semua dalam proporsinya,
semua dalam kondisinya yang paling tepat dan mengena.
Ketika
Tsumamah ibn Utsal Al-Hanafi, pemimpin Yamamah masuk Islam, ia segera berangkat
ke Makkah untuk menunaikan ‘umroh sebagai seorang Muslim. Ketika ia memasuki Al-Harom,
orang-orang Quroisy bertanya, “Apakah engkau telah menjadi seorang Shobi’i, wahai
Tsumamah?” Ia menjawab sambil memegang ujung kain ihromnya, “Tidak, tetapi aku
mengikuti agama terbaik, agama Muhammad. Demi Alloh, mulai detik ini tak akan
ada satu pun bebijian Yamamah sampai kepada kalian; sebelum Rosululloh mengijinkannya.”
Inilah
guncangan ekonomi yang luar biasa bagi musuh da’wah. Ketika itu, sampai-sampai Abu
Sufyan ibn Harb, pemimpin Makkah, datang ke Madinah dengan kuda yang kurus kering
dan keadaan memprihatinkan. Ia memohon kepada Rosululloh, “Sungguh kami telah mulai
memakan kulit-kulit binatang dan akar-akar pohon. Apakah kau hendak membunuhi orang
dewasa kami dengan perang dan membunuhi anak-anak kami dengan kelaparan?”
Akhirnya, Rosululloh meminta Tsumamah menghentikan boikot ekonominya, meski
hampir semua Muhajirin masih mengenang dengan getir saat mereka diboikot 3
tahun lamanya di Syi’b Abi Tholib oleh musyrikin Quroisy.
Jauh
sebelum itu, saya ingin membandingkan dua peristiwa yang mirip bentuknya namun
berbeda misinya untuk menunjukkan contoh bagaimana Rosululloh mengguncang dan mengubah.
Dua peristiwa itu adalah hijroh ke Habasyah dan hijroh ke Madinah.
Bagi
yang begitu memberi perhatian pada Siroh akan tampak bahwa konteks hijroh ke Habasyah
memang sangat berbeda dengan hijroh ke Madinah. Benar, hijrah ke Madinah adalah
perintah Alloh yang umum kepada semua kaum muslimin Makkah, yang kuat maupun yang
tertindas, untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Bahkan Alloh mengancam mereka
yang tetap tinggal dl Makkah dalam kondisi tertindas dengan ‘adzab Jahannam.
Mengapa? Karena membiarkan diri terjajah tetap terjajah, rela tetap tertindas tanpa
upaya, adalah kezholiman besar. Apalagi kezholiman dengan tidak dapat
dilaksanakannya syari’at-syari’at Alloh secara bebas.
“Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri,
(kepada mereka) malaikat bertanya, “Dalam keadaan apakah kalian ini?”. Mereka menjawab,
“Kami adalah orang-orang yang tertindas di bumi”. Para malaikat berkata, “Bukankah
bumi Alloh itu luas sehinga kalian dapat berhijroh di bumi itu?”. Orang-orang itu
tempatnya adalah jahannam. Dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.
An-Nisa’: 97)
Tetapi
hijroh ke Habasyah? Di manakah Bilal? Di manakah ‘Ammar? Di manakah Khobbab? Di
manakah ‘Abdulloh ibn Mas’ud? Di manakah kaum miskin papa yang tertindas di
Makkah? Mengapa mereka tidak ikut berhijroh ke Habasyah? Bukankah seharusnya mereka
lari dari siksaan yang bertubi itu? Bukankah mereka yang seharusnya diungsikan agar
selamat dari kekejaman musuh da’wah? Bukankah kekurangan biaya adalah alasan yang
terlalu dipaksakan?
Dan
jawablah, mengapa yang berhijroh justru para bangsawan dan keluarga terhormat, yang
kuat, yang terjaga, yang kerabatnya siap memberikan perlindungan bagi mereka? Mengapa
yang berhijroh justru ‘Utsman ibn Affan Al-Umawi dan isterinya, Ja’far ibn Abu Tholib
Al-Hasyimi dan isterinya, Abu Salamah Al-Makhzumi, Ummu Salamah binti Abu ‘Umayyah,
Ummu Habibah binti Abu Sufyan ibn Harb, Hamnah binti Kholaf Al-Khuza’iyyah, dan
Laila binti Hitsmah (isteri dari Amir ibn Robi’ah)? Mengapa? Mengapa bukan Bilal
dan kawan-kawan yang setiap hari disiksa yang pergi berhijrah?
Ya.
Quroisy sangat menjunjung tinggi kekerabatan di antara kaumnya. Hijroh ke Habasyah
adalah -Allohu wa Rosuluhu A’lam-
upaya untuk mengguncang tata politik Makkah yang didasarkan atas sistem kekerabatan.
Hijrohnya Bilal dan kawan-kawan, secara politis, tidak akan membawa efek apa-apa,
karena utusan Quroisy hanya akan berkata kepada Najasyi, “Beberapa budak kami lari
ke negeri Anda. Ijinkan kami membawanya pulang!”. Dan Najasyi, takkan tertarik untuk
bertanya, “Apa yang membuat mereka lari?”. Lha
wong budak!
Tetapi
ketika yang berhijroh adalah Ja’far dari Bani Hasyim dan rekan-rekannya, Quroisy
terpaksa mengirim diplomat terbaiknya, ‘Amr ibn Al-’Ash yang juga terpaksa harus
berkata bahwa ada ajaran baru yang “...memisahkan keluarga dari kerabatnya, anak
dari ayahnya, isteri dari suaminya, budak dari tuannya...”. Maka kemudian, tertariklah
Najasyi untuk bertanya, “Ajaran macam apa ini?” Dan benar, ia pun memperhatikan
pendapat para ‘imigran gelap’ itu, karena mereka bukan sekedar budak dan golongan
kelas rendah di Makkah. Bahkan di antara mereka ada Ummu Habibah, putri dari Abu
Sufyan ibn Harb, pemimpin Makkah.
Subhanalloh,
inilah kecerdasan politik luar biasa dari RosulNya! Kecerdasan untuk mengguncang.
Lalu
hijroh ke Madinah? Inilah bedanya. Hijroh ke Madinah adalah hijroh yang mengubah.
Hingga ‘Umar ibn Al-Khoththob pun memilih hijroh sebagai awal penanggalan Islam.
Benar. Hijroh ini memang benar-benar mengubah. Bebarapa hal berikut inilah yang
mengawal perubahan-perubahan besar saat hijroh ke Madinah terjadi.
1. Sistem Muakhkhoh
Mula-mula, untuk membangun soliditas dan menghilangkan
sekat-sekat jiwa yang tersisa dari perkastaan jahiliyah, antara para Muhajirin sendiri
dilakukan pemersaudaraan, muakhkhoh.
Dalam suasana ‘sama-sama tak berpunya’ karena keluar dari Makkah tanpa membawa apapun
itulah, antara kaya dan miskin, bangsawan dan budak satu hati satu rasa. Dan
mereka dipersaudarakan. Hamzah ibn ‘Abdul Mutholib misalnya, dipersaudarakan pada
pembantu Rosululloh, Zaid ibn Haritsah.
Sesudah itu, dipersaudarakan pula orang-orang
Muhajirin dan Anshor. “Rosululloh,” kata Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, “lalu mempersaudarakan
antara kaum Muhajirin dan Anshor di rumah Anas ibn Malik. Kala itu mereka berjumlah
90 orang. Separo dari Muhajirin dan separo lagi dari Anshor. Beliau mempersaudarakan
mereka agar saling memberikan keteladanan dan saling mewarisi setelah kematian selain
jatah Dzawil Arhaam. Pewarisan ini berlangsung
hingga rurunnya Surat Al-Ahzab ayat 6.”
Syaikh Munir Al-Ghodhban mencatat, bahwa sistem
Muakhkhoh ini membawa dampak yang luas bagi kemajuan komunitas iman. Secara ekonomi
misalnya, orang-orang Anshor adalah pemilik binatang ternak dan pandai bercocok
tanam, sedang para Muhajirin umumnya lihai berniaga. Dalam kasus persaudaraan ‘Abdurrohman
ibn ‘Auf dan Sa’d ibn Ar-Robi’ memang masing-masing dengan keahliannya menjadi
orang yang kuat secara ekonomi di Madinah.
Ketika dengan kemurahan hati yang mengharukan
orang-orang Anshor berkata, “Ya Rosulalloh, bagilah semua kebun korma kami, untuk
kami dan saudara-saudara kami Muhajir ini”, Rosululloh tersenyum penuh penghargaan.
Tapi beliau tahu apa yang lebih baik mengingat orang Makkah tak berpengalaman mengolah
kebun, “Tidak. Biarlah kami bekerja di kebun-kebun kalian, dan nantinya kita
bagi buahnya.” Mereka menjawab, “Sami’naa
wa atho’naa...!”
2. Piagam Madinah dan Traktat Perdamaian
Tentu saja besar harapan Rosululloh bahwa
suatu saat kelak kebenaran akan tersibak dan semua orang Yahudi Madinah akan
masuk Islam. Mereka adalah ahli Kitab, yang kata Al-Qur’an akan mengenali Rosululloh
seperti mengenali anak-anak mereka sendiri. Namun toh kini itu belum terjadi, sementara
mereka punya kekuatan dan pengaruh luar biasa di Madinah. Mereka berjaya dalam ekonomi
ribawi dan administrasi hingga mampu membiayai pasukan perang. Memerangi mereka
rasanya cukup bodoh, tapi membiarkan juga menjadi serba salah. Maka piagam Madinah
dengan teks perjanjian yang kukuh pun dirumuskan dalam mengatur hubungan kepemimpinan
Rosululloh atas Muhajirin dan Anshor, dengan komunitas Yahudi dan kabilah-kabilah
pagan di sekitar Madinah.
Demikian juga untuk memfokuskan diri pada penguatan
internal negara Madinah yang baru berdiri itu, Rosululloh juga mengadakan perjanjian
damai dengan kekuatan-kekuatan dekat yang berpotensi mengganggu, yakni Bani Dhomroh,
Bani Mudlij, dan penduduk Daumatul Jandal.
3. Masjid
Masjid Nabawi kala itu, sejak dari pembangunannya
pun sudah dimaksudkan menjadi suatu titik perubahan. Napoleon mungkin berkata,
“Nakhoda yang baik berangkat tidur saat badai menerjang. Ia biarkan anak buahnya
bekerja keras menangani kemudi, temali kapal, dan luapan air dalam gelombang
yang mengguncang. Saat badai reda dia bangun dan mengucapkan selamat pada anak
buahnya”, tetapi Rosululloh turut bekerja memindahkan batu bata. Bahkan beliau bekerja
sambil bersyair yang membuat para shahabat menimpali, “La in qo’adnaa wan Nabiyyu ya’mal, ladzalika minnaal ‘amalul muzhollal!
Jika kita duduk dan Nabi bekerja, maka itulah perbuatan yang sesat kita!”
Ini masjid dengan kebanggaan identitas ketika
adzan berkumandang. Ini masjid yang membuat orang-orang miskin tenang melihat persediaan
gandum digantung di tiangnya. Ini masjid tempat ahlush shuffah tinggal. Ini masjid di mana delegasi utusan disambut
dan tawanan diikat di tiangnya. Bahkan masjid ini juga menjadi pusat kegiatan budaya
dan militer. Dari ‘Aisyah, dia berkata, “Sesungguhnya orang-orang Habsyi mengadakan
permainan untuk Rosululloh Shollalloohu ‘Alaihi
wa Sallam di masjid, lalu beliau memanggilku. Aku pun melihat tontonan itu dari
atas bahu beliau sampai puas.” (HR. Ahmad) []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar