Rabu, 29 April 2015

Bukan Terminal Perhentian

Harapan tanpa iman
adalah kekecewaan yang menunggu waktu
Kebahagiaan tanpa barokah
bagai bayang-bayang tanpa cahaya

Orang suci,
menjaga kesuciannya dengan pernikahan
menjaga pernikahannya dengan kesucian


MENIKAH adalah keindahan, kecuali bagi yang menganggapnya sebagai beban. Rumahtangga adalah kemuliaan, kecuali bagi yang memandangnya sebagai rutinitas tak bermakna. Menikah, da’wah, dan jihad adalah seiring sejalan, kecuali bagi orang-orang yang terkacaukan logika dan nalarnya. Menikah adalah bagian dari dua hal ini, kecuali bagi yang memandangnya sebagai buah yang dipetik atau rehat yang diambil setelah lama menjadi aktivis bujang.

Amat heran saya mendengar kata-kata yang dipakai sebagai alasan untuk menunda pernikahan. “Akhi,” dengan penuh lembut seorang ikhwan pernah berkata, “Saya kira antum berbicara tentang pernikahan bukan dengan orang yang tepat. Saya ingin menikah, insya Alloh nanti, setelah mengoptimalkan produktivitas da’wah saya. Ada banyak hal yang belum saya lakukan. Kontribusi da’wah saya masih terlalu kecil. Saya masih jauh dari kualifikasi pemuda yang digambarkan sebagai jundi da’wah. Apa kita nggak malu, bahwa yang kita bicarakan pernikahan, pernikahan, dan pernikahan? Lihatlah pemuda-pemuda seperti Usamah ibn Zaid yang menjadi penglima besar di usia 18 tahun. Lihatlah Mush’ab ibn ‘Umair yang di usia duapuluhan menjadi duta untuk membuka da’wah di Madinah. Lihatlah ‘Ali ibn Abi Tholib.”

Alloohu Akbar! Secara pribadi, saya terkagum pada ghiroh da’wah beliau yang setegar gunung dan sekukuh karang. Semoga Alloh menguatkannya selalu. Hanya saja, saya menganggap bahwa cara berpikir beliau ini berbahaya. Mungkin saya subjektif. Tetapi tersirat dalam kalimat beliau, seolah ada pertentangan antara produktivitas da’wah dengan pernikahan. Sepertinya, kalau sudah menikah maka kita tidak bisa meneladani Usamah, Mush’ab, dan ‘Ali. Sepertinya sesudah menikah. tidak termungkinkan untuk menjadi aktivis dengan kemuliaan sebagaimana ketika kita belum menikah. Seolah-olah, puncak prestasi da’wah selalu kita raih sebelum kita menikah.

Dalam pengamatan saya, cara berpikir ini bermula dari persepsi bahwa ‘menikah dengan seorang akhwat yang sholihah adalah buah dari da’wah.’ Pernikahan dipersepsikan sebagai salah satu terminal perhentian, tempat memetik manfaat. Pernikahan tidak dianggap sebagai bagian dari da’wah. Pernikahan tidak dianggap sebagai episode tempat dua orang saling menguatkan untuk lebih berkontribusi dan ‘berprestasi’ dalam da’wah. Seakan pernikahan adalah episode baru yang -kasarnya- menjadi tujuan dari da’wahnya selama ini. Sekali berarti sudah itu mati, kata Chairil Anwar.

Syukurlah, argumen yang beliau bangun sekaligus menolak cara berpikir beliau. Kok bisa? Iya. Beliau, ‘afwan, saya jadi sok tahu- kurang lengkap mengutip siroh sahabat. Sefaham kita, sebelum menjadi panglima di usia 18 tahun, Usamah ibn Zaid telah menikah dengan Fathimah binti Qois di usia 16 tahun. Sebelum menjadi duta ke Madinah, Mush’ab ibn ‘Umair al-Khoir telah menikah dengan Hamnah binti Jahsy. Dan sebelum mengambil peran-peran besar di sisi Rosululloh, ‘Ali ibn Abi Tholib Rodhiyalloohu ‘Anhu telah menjadi menantu beliau. Mereka telah berjibaku memimpin keluarga, sebelum sukses memimpin da’wah.

Nah, mari kita bersedih ketika pernikahan memutus keterlibatan saudara-saudara kita dari da’wah. Mari kita bersedih ketika pernikahan menumpulkan. Mari menitikkan air mata jika dengan menikah orang terhalang untuk menjadi Usamah, Mush’ab, dan ‘Ali. Mari kita menangis di hadapan Alloh jika pernikahan telah melenakan manusia dari tugas agung untuk berda’wah dan berjihad di jalan-Nya. Jika demikian, di manakah barokah yang sudah seharusnya kita raih?

‘Ala kulli haal, segalanya bermula dari bagaimana cara kita mempersepsi pernikahan. Pernikahan disebut sebagai separuh agama, karena ianya adalah masalah ‘aqidah. Masalah bagaimana kita berpersepsi terhadap Alloh, diri kita, dan pernikahan itu sendiri. Dan pernikahan juga disebut separuh agama, karena tanpa isteri di sisi, banyak perintah Alloh di dalam al-Qur’an belum akan terasa maknanya.

Misalnya, di dalam rangkaian perintah berpuasa, ada ayat ke-187 Surat al-Baqoroh yang berbunyi, “Uhilla lakum lailatash shiyaamir rofaatsu ilaa nisaaikum.” yang berarti, “Dihalalkan bagi kalian di malam-malam puasa untuk rofats kepada isteri-isteri kalian.” Nah, kalau belum menikah, kita belum bisa merasakan keagungan ayat ini. Dan itu artinya, pengamalan kita terhadap ayat-ayat tentang puasa masih belum utuh. Belum sempurna. Maklum, kita belum meraih separuh agama.

Semoga pemahaman ini menjadi awal dari bertambahnya barokah dalam pernikahan kita, terutama dalam sisi produktivitas amal dan jihad di jalan-Nya. Sungguh pernikahan adalah bagian dari dua hal ini, maka jangan pernah memandangnya sebagai buah yang akan kita petik dan rehat yang akan kita lakukan atas da’wah kita selama ini. Rehatlah nanti, ketika kaki kita melangkah dan memijak ke surga Alloh.[]

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar