Rabu, 29 April 2015

Matang

BISA jadi salah satu kata yang bisa mewakili kematangan adalah ar-Rusyd. Maka Luth ‘Alaihis Salaam pun mempertanyakan pada kaumnya ketika mereka bersikap seperti kanak-kanak dan dikuasai syahwat, “Alaisa fiikum rojuulur rosyiid; tiadakah di antara kalian seorangpun yang matang?” (Qs. Huud [11]: 78) Demikian pula Ibrohim. Alloh mengaruniakan padanya ar-Rusyd, kematangan, sejak awal cita besar da’wahnya. (Qs. al-Anbiyaa’ [21]: 51) Dan para Ashhabul Kahfi, dengan kesadaran bahwa mereka akan terpisah dari luasnya interaksi sosial yang seringkali menjadi sumber kematangan pun memohon pada Alloh karunia ar-Rusyd. (Qs. al-Kahfi [18]: 10)

Dari mereka, saya belajar bahwa kematangan setidaknya berawal dari cita-cita besar masa depan, pernikahan yang menjadi saluran sakinah mawaddah wa rohmah, dan luasnya interaksi sosial dengan masyarakat dari berbagai kalangan. Oh, ketika ada iklan, “Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan”, adakah hubungan antara usia dan kematangan? Lalu tentang uban?

Amin Maalouf, penulis Lebanon yang menyastra di Perancis itu punya sebuah novel yang meraih penghargaan Prix Goncourt 1993 dan Grand Prix des Lecteurs 1996. Judulnya Le Rocher de Tanios, Cadas Tanios. Kisahnya berlatar sebuah pedesaan Lebanon tahun 1830, masa ketika Le Grant Viceroy Muhammad Ali Pasha dari Mesir sedang giat berkampanye meluaskan pengaruhnya hingga Syam dan Hijjaz, ketika Perancis dan Inggris bersaing ketat atas kontrol Laut Tengah, dan ketika Padisha Sultan Mahmud II di Turki sedang mencoba merestrukturisasi kesultanan ‘Utsmaniyah yang mulai kedodoran, justru dengan model Barat.

Membacanya, kita dihanyutkan untuk memahami bahwa terkadang nasib seorang kecil seperti tokoh utama novel ini, ‘ditentukan’ oleh tangan-tangan yang tidak tampak dan kekuatan yang lebih besar. Dengan berbagai tekanan hidup dan masalah yang dihadapinya, Tanios, tokoh utama novel ini memiliki satu keunikan. Semua rambutnya telah memutih beruban sejak ia berusia sangat muda.

Uban. Tentu saja bukanlah mutlak tanda dari satu gejala jiwa yang ingin kita bicarakan di sini; kematangan. Karena saya pun, akibat kenakalan masa kecil, sudah punya uban sejak kelas IV SD. Kisahnya panjang. Tapi intinya, saya mengganggu ketenteraman makhluq Alloh yang bernama lebah, memporakporandakan rumahnya yang berukuran besar hingga mereka mengejar dan menyengati kepala saya. Bagian yang paling parah kena sengatan itu, hingga sekarang tak menumbuhkan rambut kecuali dalam warna putih. Uban.

Tetapi kadang saya bangga. Sebab ‘Abdul Mutholib, kakek Rosululloh itu dipanggil Saibah karena ia sudah beruban sejak kecil. Dan ada ungkapan menarik yang senantiasa kita kenang dari Nabi akhir zaman. “Sayabatnii Huudun wa akhawaatuhaa; telah membuatku beruban SuratHuud dan saudari-saudarinya.” Sebenarnya apa yang telah membuat beliau beruban?

“Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir bahwa mereka akan mengatakan: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan kekayaan atau datang bersama-sama dengan dia seorang malaikat?” Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Alloh Pemelihara segala sesuatu.” (Qs. Huud [11]: 12)

Dalam hal ini, tentu saja korelasinya positif. Uban beliau yang kata Ummu Salamah hanya sedikit di bagian pelipis itu adalah gambaran tentang sebuah renungan mendalam yang senantiasa beliau lakukan atas teguran Alloh. Dan teguran Alloh itu, tentang bagian-bagian da’wah vang rawan disampaikan sehingga membuat dada beliau menjadi sesak dan sempit.

Ah, lalu saya ingin berkaca tentang firman Alloh, “Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu.” Di tengah gempita da’wah yang semakin dekat menuju genggam daulah, bagaimana nasib pembicaraan tentang pernikahan dan pembentukan rumahtangga Islami yang digariskan sebagai tiang pancang kedua dalam rukun bai’at al-‘Amal?

Mungkin ada yang keberatan. Tetapi ijinkan saya bertanya tentang hal itu, ketika majalah Ummi bulan September 2006 menurunkan laporan tentang Tren HTS -Hubungan Tanpa Status- di antara para aktivis da’wah. Ketika pembicaraan tentang pernikahan disisihkan dengan alas an menghambat produktivitas kader da’wah, tetapi ternyata kemudian mereka mencarinya dari sumber-sumber yang men-shibghoh mereka bukan dengan kata ‘tanggungjawab’ seperti yang diajarkan da’wah, tapi ‘having fun’ seperti yang diajarkan syaithon. Ketika kemudian para Ustadz memberi taujih, meluruskan kesalahan, lalu jawaban telak mendarat, “Wah, sekarang mihwar-nya sudah beda, Ustadz!”

Yaa Robbiy…

Suatu saat, saya diminta pengurus remaja Masjid yang jama’ahnya anak-anak kos untuk membawakan satu tema, “Ketika Cinta Menyapa.” Entah mengapa waktu itu hati saya menjadi terasa sangat sakit. Bukan karena di forum diskusi, dua akhwat itu -yang juga adalah panitia- ‘menyerang’ saya secara personal dengan menunjukkan kelemahan tulisan dan penyampaian saya. Mudah-mudahan bukan. Karena masukan itu sungguh berharga. Tetapi, saya sakit ketika melihat perubahan wajah pada panitia ikhwan yang seperti tertampar, dan wajah para peserta yang baru sedikit faham tentang Islam menjadi ‘aneh’.

“Saya kemarin memang keberatan dan sernpat khawatir ketika teman-teman lain mengusulkan tema ini. Dan kekhawatiran saya terbukti ketika Akh Salim bicara tentang itu-itu saja. Padahal PR da’wah kita sungguh sangat banyak!”, begitu salah satu pernyataan yang saya rekam. Saya mengingat-ingat apa yang saya sampaikan sebelumnya. Oh iya, saya sedang bicara untuk mengubah cara berpikir hadirin, dari berpikir tentang menikmati indahnya masa muda dan cinta menjadi berpikir untuk mempersiapkan diri bagi keindahan yang lebih agung: pernikahan. Saya sedang coba mengajak mereka beralih dari “Bagaimana mendapatkan dia?” menjadi “Bagaimana saya mempersiapkan pernikahan dengan sukses sehingga mendapatkan yang lebih baik daripada dia dari sisi Allah?”

Komentar yang satu lebih jauh, “Generasi muda Islam terlalu banyak diajak memikirkan pernikahan sehingga mereka melupakan tugas-tugas besar peradaban. IPTEK kita tertinggal, korupsi kita terdepan, kesejahteraan masyarakat terbengkalai!”

Walloohu a’lam. Yang paling menyedihkan bagi saya tentu, pertama, kasihan sekali hadirin ‘Ammah yang baru saja antusias menyimak bangunan pola pikir baru. “Kok diskusinya nggak nyambung dengan tema?”, kata mereka.

Untuk yang ini reaksi saya tak terkendali pada akhwat itu. “Sebenarnya ya terserah kita mau berpikir tentang pernikahan sejak kapan. Apakah sejak sekolah, sehingga pola pikir kemandirian dan kedewasaan terbangun segera sehingga saat kuliah bisa berpikir tentang apa yang Anti sebutkan tadi, atau mau berpikir nikah saat menjadi nenek-nenek usia sudah 60 tahun! Terserah! Hanya saya sebagai laki-laki sekaligus kader da’wah lebih suka menikah dengan mereka yang penuh persiapan dan kesiapan sejak dini.” Saya menyesal atas kata-kata ini. Saya lihat roman mereka berdua memerah dan tertunduk, apalagi para hadirin yang lain tertawa, meski bukan untuk menertawakan mereka.

Yang kedua, tentang posisi mereka sebagai panitia dan sebagai kader da’wah. Di mana materi syuroo -yang katanya bahkan salah satu dari mereka adalah anggota Syuro kampus- itu ditinggalkan? Kepadanya ingin sekali saya berteriak, ‘Apa bedanya Anti dengan ‘Abdulloh ibn ‘Ubay ibn Salul yang merongrong para sahabat setelah kekalahan di Uhud, ‘Tuh kan, saya bilang juga apa? Lebih baik sesuai usul saya. Kita bertahan saja di dalam kota!’ Fiqh Da’wah Anti ditaruh di mana? Ketika syuro kemarin seharusnya semua perencanaan da’wah telah tuntas dibahas. Bukan untuk dinegasi dan dirusak skenarionya di forum, di medan perang da’wah kita!” Tapi lisan saya tercekat. Tidak mungkin saya sampaikan itu di forum yang dihadiri mad’u sejati.

Saya memprioritaskan untuk mencairkan suasana, “Sebenarnya, ya, saya bicara tentang pernikahan atau tidak, data di Dialog Jumat Republika kemarin, bahwa 70 % anak kelas IV-VI SD di Jakarta, Surabaya, dan Bandung sudah mengakses materi-materi pornografi tetap kan? Artinya bicara nikah masih relevan, karena kematangan biologis kita dipercepat, sementara kita dikuasai hawa nafsu. Pengin nikmatnya saja. Nah, pernikahan mengajarkan tanggungjawab, satu kata yang akan mengendalikan nafsu itu.”

Saya tidak tahu, sejak kapan saya agak memicing mata pada beberapa oknum aktivis da’wah kampus. Mungkin sejak saya diamanahi sebagai Sekretaris Deputi Pembinaan Keluarga, Bidang Pembinaan Kader DPW PKS DIY yang salah satunya membawahi Biro Proses untuk memfasilitasi pernikahan kader. Di situlah saya bertemu kenyataan, orang-orang yang sok ogah diajak membicarakan pernikahan -meski dengan alasan banyak hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan- seringkali bermasalah dalam proses pra maupun pascanikahnya.

Semoga, hanya sedikit.

Yah, pernikahan yang kita bicarakan dalam konteks da’wah tentu mencakup semua hal. Dari ranjang yang bertabur mawar hingga sajadah yang menebar wangi melati. Dari kebersamaan untuk membina cinta, hingga rindu yang mengetuk-ngetuk karena amanah da’wah menggariskan jarak. Dari rumah yang sesekali asri, di waktu lain berantakan, dan tetangga yang bergilir datang mengeluhkan dapurnya. Dari pribadi-pribadi yang sholih, hingga ia menjadi poros bagi sebuah masyarakat yang bersenyum dalam syari’at. Juga agar semangat memperbaiki negeri tidak berubah menjadi nafsu yang mengharuskan diri berkuasa, hingga lupa bahwa di kamar tidur anak-anak, pemimpin sejati negeri ini 30 tahun mendatang sedang menanti bimbingan seorang ayah dan seorang ibunda.

Ah, di situlah tarbiyahnya. []

Credit: “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media


Tidak ada komentar:

Posting Komentar