BISA jadi salah
satu kata yang bisa mewakili kematangan adalah ar-Rusyd. Maka Luth ‘Alaihis
Salaam pun mempertanyakan pada kaumnya ketika mereka bersikap seperti kanak-kanak
dan dikuasai syahwat, “Alaisa fiikum rojuulur
rosyiid; tiadakah di antara kalian seorangpun yang matang?” (Qs. Huud [11]:
78) Demikian pula Ibrohim. Alloh mengaruniakan padanya ar-Rusyd, kematangan, sejak awal cita besar da’wahnya. (Qs.
al-Anbiyaa’ [21]: 51) Dan para Ashhabul Kahfi,
dengan kesadaran bahwa mereka akan terpisah dari luasnya interaksi sosial yang
seringkali menjadi sumber kematangan pun memohon pada Alloh karunia ar-Rusyd. (Qs. al-Kahfi [18]: 10)
Dari mereka, saya
belajar bahwa kematangan setidaknya berawal dari cita-cita besar masa depan, pernikahan
yang menjadi saluran sakinah mawaddah wa
rohmah, dan luasnya interaksi sosial dengan masyarakat dari berbagai
kalangan. Oh, ketika ada iklan, “Jadi tua itu pasti, jadi dewasa itu pilihan”,
adakah hubungan antara usia dan kematangan? Lalu tentang uban?
Amin Maalouf, penulis
Lebanon yang menyastra di Perancis itu punya sebuah novel yang meraih
penghargaan Prix Goncourt 1993 dan Grand Prix des Lecteurs 1996. Judulnya Le Rocher de Tanios, Cadas Tanios. Kisahnya
berlatar sebuah pedesaan Lebanon tahun 1830, masa ketika Le Grant Viceroy Muhammad Ali Pasha dari Mesir sedang giat
berkampanye meluaskan pengaruhnya hingga Syam dan Hijjaz, ketika Perancis dan Inggris
bersaing ketat atas kontrol Laut Tengah, dan ketika Padisha Sultan Mahmud II di Turki sedang mencoba merestrukturisasi
kesultanan ‘Utsmaniyah yang mulai kedodoran, justru dengan model Barat.
Membacanya, kita
dihanyutkan untuk memahami bahwa terkadang nasib seorang kecil seperti tokoh
utama novel ini, ‘ditentukan’ oleh tangan-tangan yang tidak tampak dan kekuatan
yang lebih besar. Dengan berbagai tekanan hidup dan masalah yang dihadapinya, Tanios,
tokoh utama novel ini memiliki satu keunikan. Semua rambutnya telah memutih beruban
sejak ia berusia sangat muda.
Uban. Tentu saja
bukanlah mutlak tanda dari satu gejala jiwa yang ingin kita bicarakan di sini;
kematangan. Karena saya pun, akibat kenakalan masa kecil, sudah punya uban
sejak kelas IV SD. Kisahnya panjang. Tapi intinya, saya mengganggu ketenteraman
makhluq Alloh yang bernama lebah, memporakporandakan rumahnya yang berukuran besar
hingga mereka mengejar dan menyengati kepala saya. Bagian yang paling parah
kena sengatan itu, hingga sekarang tak menumbuhkan rambut kecuali dalam warna
putih. Uban.
Tetapi kadang saya
bangga. Sebab ‘Abdul Mutholib, kakek Rosululloh itu dipanggil Saibah karena ia
sudah beruban sejak kecil. Dan ada ungkapan menarik yang senantiasa kita kenang
dari Nabi akhir zaman. “Sayabatnii Huudun
wa akhawaatuhaa; telah membuatku beruban SuratHuud dan saudari-saudarinya.”
Sebenarnya apa yang telah membuat beliau beruban?
“Maka boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian
dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karena khawatir bahwa
mereka akan mengatakan: “Mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan
kekayaan atau datang bersama-sama dengan dia seorang malaikat?” Sesungguhnya kamu
hanyalah seorang pemberi peringatan dan Alloh Pemelihara segala sesuatu.” (Qs. Huud [11]: 12)
Dalam hal ini,
tentu saja korelasinya positif. Uban beliau yang kata Ummu Salamah hanya
sedikit di bagian pelipis itu adalah gambaran tentang sebuah renungan mendalam
yang senantiasa beliau lakukan atas teguran Alloh. Dan teguran Alloh itu,
tentang bagian-bagian da’wah vang rawan disampaikan sehingga membuat dada
beliau menjadi sesak dan sempit.
Ah, lalu saya
ingin berkaca tentang firman Alloh, “Maka
boleh jadi kamu hendak meninggalkan sebahagian dari apa yang diwahyukan kepadamu.”
Di tengah gempita da’wah yang semakin dekat menuju genggam daulah, bagaimana
nasib pembicaraan tentang pernikahan dan pembentukan rumahtangga Islami yang
digariskan sebagai tiang pancang kedua dalam rukun bai’at al-‘Amal?
Mungkin ada yang
keberatan. Tetapi ijinkan saya bertanya tentang hal itu, ketika majalah Ummi
bulan September 2006 menurunkan laporan tentang Tren HTS -Hubungan Tanpa
Status- di antara para aktivis da’wah. Ketika pembicaraan tentang pernikahan
disisihkan dengan alas an menghambat produktivitas kader da’wah, tetapi
ternyata kemudian mereka mencarinya dari sumber-sumber yang men-shibghoh mereka bukan dengan kata ‘tanggungjawab’
seperti yang diajarkan da’wah, tapi ‘having fun’ seperti yang diajarkan syaithon.
Ketika kemudian para Ustadz memberi taujih, meluruskan kesalahan, lalu jawaban
telak mendarat, “Wah, sekarang mihwar-nya
sudah beda, Ustadz!”
Yaa Robbiy…
Suatu saat, saya
diminta pengurus remaja Masjid yang jama’ahnya anak-anak kos untuk membawakan
satu tema, “Ketika Cinta Menyapa.” Entah mengapa waktu itu hati saya menjadi
terasa sangat sakit. Bukan karena di forum diskusi, dua akhwat itu -yang juga
adalah panitia- ‘menyerang’ saya secara personal dengan menunjukkan kelemahan
tulisan dan penyampaian saya. Mudah-mudahan bukan. Karena masukan itu sungguh
berharga. Tetapi, saya sakit ketika melihat perubahan wajah pada panitia ikhwan
yang seperti tertampar, dan wajah para peserta yang baru sedikit faham tentang
Islam menjadi ‘aneh’.
“Saya kemarin
memang keberatan dan sernpat khawatir ketika teman-teman lain mengusulkan tema
ini. Dan kekhawatiran saya terbukti ketika Akh Salim bicara tentang itu-itu
saja. Padahal PR da’wah kita sungguh sangat banyak!”, begitu salah satu
pernyataan yang saya rekam. Saya mengingat-ingat apa yang saya sampaikan
sebelumnya. Oh iya, saya sedang bicara untuk mengubah cara berpikir hadirin,
dari berpikir tentang menikmati indahnya masa muda dan cinta menjadi berpikir
untuk mempersiapkan diri bagi keindahan yang lebih agung: pernikahan. Saya sedang
coba mengajak mereka beralih dari “Bagaimana mendapatkan dia?” menjadi “Bagaimana
saya mempersiapkan pernikahan dengan sukses sehingga mendapatkan yang lebih
baik daripada dia dari sisi Allah?”
Komentar yang satu
lebih jauh, “Generasi muda Islam terlalu banyak diajak memikirkan pernikahan
sehingga mereka melupakan tugas-tugas besar peradaban. IPTEK kita tertinggal,
korupsi kita terdepan, kesejahteraan masyarakat terbengkalai!”
Walloohu a’lam. Yang paling menyedihkan bagi saya tentu,
pertama, kasihan sekali hadirin ‘Ammah yang baru saja antusias menyimak bangunan
pola pikir baru. “Kok diskusinya nggak nyambung dengan tema?”, kata mereka.
Untuk yang ini
reaksi saya tak terkendali pada akhwat itu. “Sebenarnya ya terserah kita mau
berpikir tentang pernikahan sejak kapan. Apakah sejak sekolah, sehingga pola
pikir kemandirian dan kedewasaan terbangun segera sehingga saat kuliah bisa
berpikir tentang apa yang Anti
sebutkan tadi, atau mau berpikir nikah saat menjadi nenek-nenek usia sudah 60
tahun! Terserah! Hanya saya sebagai laki-laki sekaligus kader da’wah lebih suka
menikah dengan mereka yang penuh persiapan dan kesiapan sejak dini.” Saya
menyesal atas kata-kata ini. Saya lihat roman mereka berdua memerah dan
tertunduk, apalagi para hadirin yang lain tertawa, meski bukan untuk
menertawakan mereka.
Yang kedua, tentang posisi mereka sebagai panitia
dan sebagai kader da’wah. Di mana materi syuroo
-yang katanya bahkan salah satu dari mereka adalah anggota Syuro kampus- itu
ditinggalkan? Kepadanya ingin sekali saya berteriak, ‘Apa bedanya Anti dengan ‘Abdulloh ibn ‘Ubay ibn
Salul yang merongrong para sahabat setelah kekalahan di Uhud, ‘Tuh kan, saya
bilang juga apa? Lebih baik sesuai usul saya. Kita bertahan saja di dalam kota!’
Fiqh Da’wah Anti ditaruh di mana?
Ketika syuro kemarin seharusnya semua perencanaan da’wah telah tuntas dibahas.
Bukan untuk dinegasi dan dirusak skenarionya di forum, di medan perang da’wah
kita!” Tapi lisan saya tercekat. Tidak mungkin saya sampaikan itu di forum yang
dihadiri mad’u sejati.
Saya
memprioritaskan untuk mencairkan suasana, “Sebenarnya, ya, saya bicara tentang
pernikahan atau tidak, data di Dialog Jumat Republika kemarin, bahwa 70 % anak
kelas IV-VI SD di Jakarta, Surabaya, dan Bandung sudah mengakses materi-materi
pornografi tetap kan? Artinya bicara nikah masih relevan, karena kematangan
biologis kita dipercepat, sementara kita dikuasai hawa nafsu. Pengin nikmatnya
saja. Nah, pernikahan mengajarkan tanggungjawab, satu kata yang akan mengendalikan
nafsu itu.”
Saya tidak tahu,
sejak kapan saya agak memicing mata pada beberapa oknum aktivis da’wah kampus.
Mungkin sejak saya diamanahi sebagai Sekretaris Deputi Pembinaan Keluarga,
Bidang Pembinaan Kader DPW PKS DIY yang salah satunya membawahi Biro Proses
untuk memfasilitasi pernikahan kader. Di situlah saya bertemu kenyataan,
orang-orang yang sok ogah diajak membicarakan pernikahan -meski dengan alasan
banyak hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan- seringkali bermasalah
dalam proses pra maupun pascanikahnya.
Semoga, hanya
sedikit.
Yah, pernikahan
yang kita bicarakan dalam konteks da’wah tentu mencakup semua hal. Dari ranjang
yang bertabur mawar hingga sajadah yang menebar wangi melati. Dari kebersamaan
untuk membina cinta, hingga rindu yang mengetuk-ngetuk karena amanah da’wah menggariskan
jarak. Dari rumah yang sesekali asri, di waktu lain berantakan, dan tetangga
yang bergilir datang mengeluhkan dapurnya. Dari pribadi-pribadi yang sholih,
hingga ia menjadi poros bagi sebuah masyarakat yang bersenyum dalam syari’at.
Juga agar semangat memperbaiki negeri tidak berubah menjadi nafsu yang
mengharuskan diri berkuasa, hingga lupa bahwa di kamar tidur anak-anak,
pemimpin sejati negeri ini 30 tahun mendatang sedang menanti bimbingan seorang ayah
dan seorang ibunda.
Ah,
di situlah tarbiyahnya. []
Credit: “Saksikan
bahwa Aku Seorang Muslim”; Salim A. Fillah; Pro-U Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar